Forum 65 Temui Wantimpres di Istana
JAKARTA – Kesenyapan kabar seputar rencana rekonsiliasi nasional yang digagas negara dalam upaya penuntasan kasus kejahatan HAM yang terjadi pada 1965-66; kembali dipertanyakan para korban.
Forum 65 yang merupakan wadah bersama berbagai organisasi korban tragedi nasional 1965/66 itu kembali mempertanyakan ihwal rekonsiliasi. Kali pertama ini Forum 65 atas inisiasi YPKP’65 yang menyurati Jokowi untuk bisa menghadap, akhirnya hanya diterima dua anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Koordinator Forum 65 Bonnie Setiawan menyertai 30-an perwakilan penyintas dan korban bertemu Sidarto Danusubroto dan Sri Adiningsih (25/8) di ruang rapat lantai 2 Kantor Wantimpres di kompleks istana Bina Graha.
Dalam paparan pembukanya, Sidarto Danusubroto mengemukakan bagaimana issue HAM, terutama yang berkaitan dengan Tragedi 1965, telah menjadi komoditas politik separti misalnya dalam pencapresan; tak terkecuali semasa naiknya rejim SBY. Sidarto yang juga mantan Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ini merilis bagaimana KKR yang 90% substansinya merupakan usulan pemerintah; pada akhirnya dibekukan Mahkamah Agung.
Pihaknya tak patah arang untuk membangun komitmen dan mendorong terlaksananya rekonsiliasi nasional meski terkendala banyak hal. Rekonsiliasi yang mensyaratkan pengungkapan kebenaran subtantif yang merupakan roh dari rekonsiliasi itu sendiri.
Desakan Rekonsiliasi
“Intinya, kami ingin mengetahui bagaimana kelanjutan rekonsiliasi”, desaknya singkat. Ia menambahkan para korban Tragedi 65 sangat menunggu kelanjutan rekonsiliasi paska digelarnya simposium nasional Bedah Tragedi 1965. Setelah simposium yang memunculkan “kegaduhan” para mantan jenderal AD yang kemudian menggelar simposium tandingan, lalu dikeluarkannya putusan final IPT’65 Den Haag dan terakhir pidato kenegaraan Presiden (16/8); yang tidak secara eksplisit menjelaskan progress penuntasan kejahatan HAM masa lalu.
“Hari ini kami meminta penjelasan kelanjutannya”, desak Bonnie.
Bedjo Untung (YPKP’65) juga mendesak Watimpres agar menyampaikan kepada Presiden untuk menindaklanjuti apa yang telah menjadi putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Presiden harus berani terbitkan Keppres sebagai cantolan hukumnya”, usul Bedjo Untung. Ia mencontohkan kasus dari Kabupaten Kebumen dimana ada 188 orang korban Tragedi 1965 yang telah memenangkan gugatan hukum terhadap Keppres No. 28 Tahun 1975. Keppres era Soeharto yang mengatur klasifikasi keterlibatan PKI ini, disamping merupakan dalih kebohongan sejarah, juga sudah tidak relevan lagi hari ini. Keppres 28/1975 ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Bedjo Untung juga mengingatkan masih adanya diskriminasi, teror dan intimidasi terhadap para penyintas dan korban Tragedi 1965.
“Semua ini harus diakhiri dan Presiden memiliki kewenangan penuh untuk segera melaksanakan rekonsiliasi nasional”, pungkasnya.
Organisasi korban Tragedi 1965 lainnya yang ikut dalam pertemuan dengan Wantimpres ini adalah LPR-KROB, PRI, Belok Kiri Fest, Ingat’65, Barisan Soekarno, SBK’65, YPKP-HAM, LPKP’65 [hum]
Your comment?