Mereka Menghormati Saya Sebagai Indonesia
Oleh Martin Aleida
Tak mudah untuk memenangkan hati seseorang yang terdampar selama setengah abad di daratan luas dan jauh. Apalagi dalam pertemuan pertama. Nasib baik terkadang datang tanpa mengetuk pintu. Memenuhi keinginan saya untuk mewawancarainya, Sugiyono mengajak berjalan kaki dalam rintik hujan musim rontok menuju sebuah café sederhana di tengah kota Praha.
Sebuah meja kayu memisahkan kami. Tapi, tak terasa jarak yang begitu jauh dan masa setengah abad yang dia habiskan di negara yang bukan tumpah darahnya menjadi pemisah untuk mengenang masa mudanya yang keras namun romantis. Juga tidak menjadi penghalang untuk mengisahkan bagaimana dia bertahan pada prinsip kejujuran hidup dari seorang pemuda dari keluarga yang kurang mampu yang dia bawa sejak meninggalkan Indonesia.
Matanya tetap hitam. Kulitnya masih saja coklat keperunggu-perungguan walau sudah diguyur salju yang tak terukur seberapa tebal. Lenturnya lidah Jawa tetap melekat pada setiap ucapannya.
Terkadang dia dengan ramah memanggil saya “Bung,” juga “Mas.” Membuat saya merasa seperti kongkow sambil nongkrong di warung di sebuah kota kecil di Jawa. Kata-katanya mengalir tanpa kendali. Juga matanya. Tatapan yang mengisyaratkan ketulusan tanpa ada yang harus disembunyikan sebagai seorang yang terbuang dari Indonesia, membuat saya merasa nyaman dalam percakapan selama hampir satu jam dengannya.
“Saya berangkat ke Cekoslowakia 10 September 1963. Melalui screening dan macam-macam sebagaimana layaknya orang yang mau sekolah ke luar negeri waktu itu. Lewat Perguruan Tinggi Ilmu Pendidikan (PTIP). Saya baru bisa ke luar negeri setelah lima tahun lulus sekolah menengah atas. Saya tak punya deking. Saya tak ada jalan untuk KKN seperti sekarang ini di Indonesia. Yang punya deking, yang KKN, bisa langsung ke luar negeri. Saya terlebih dulu harus kuliah dengan membiayai diri sendiri. Sampai tingkat tiga, saya sudah tahan lagi, karena uang susah, pekerjaan juga susah. Tetapi, saya aktif di dalam badan sosial,” katanya memulai.
Dia giat sebagai anggota Palang Merah Indonesia (PMI) yang diketuai Gubernur Jakarta Raya, Dr. Sumarno.
“Pak Sumarno itu kemudian sudah seperti orangtua saya. Waktu itu, kalau ada rapat saya yang paling muda. Usia saya sekitar 22 tahun. Pada suatu ketika saya dipanggil Pak Sumarno.”
“Lu ikut-ikut kita, apa gak sekolah?”
Saya jawab, saya baru keluar, Pak, nggak tahan.
“Sudah, besok kamu mendaftar saja ke Universitas Indonesia,” katanya. “Duitnya dari mana?”
“Saya yang bayarin.”
Mengembalikan kenangan pada masa mudanya, Sugiyono sangat memuji sikap Sumarno. Untuk tawaran sang gubernur itu, dia mengucapkan terima kasih, namun masih saja berkilah:
“Saya tak bisa Pak.”
“Wah kamu bodoh sekali, dibayarin sekolah kok gak mau,” begitu reaksi Gubernur Sumarno.
Lantas Sugiyono menjelaskan kepada sang gubernur:
“Soalnya saya tak mau hutang budi seumur hidup pada Bapak. Itu ‘kan berat. Kalau saya bisa sendiri, saya maunya sendiri.”
Barangkali, Sumarno terperanjat mendengar sikap yang kedengaran aneh itu.
“Ketiban pulung kok gak mau,” mungkin begitulah kata hati sang gubernur.
Menurut Sugiyono, ketika itu dia mengatakan,
“Kalau Bapak mau menolong saya, begini Pak. Jakarta punya jatah dua student untuk dikirim ke luar negeri.”
“Wah, betul juga kamu, ya..”
“Pak, tolong berikanlah rekomendasi untuk saya mengisi jatah salah satu dari dua orang student itu. Dengan begitu saya tidak berhutang budi kepada Bapak, tetapi berhutang budi kepada negara. Berhutang budi kepada negara saya mau. Kepada pribadi, maaf, tidak mau. Tetapi, saya berterima kasih kepada Bapak yang mau membatu saya.”
“Ya, kalau begitu nanti saya bikin suratnya. Mau ke mana?”
Waktu itu Sugiyono memilih ke Jepang. Ketika tahun 1963 itu, katanya, gencar pelajar yang ingin belajar ke sana.
Begitulah, menurut Sugiyono, Gubernur Sumarno menulis surat rekomendasi. Dia berangkat dan diterima di PTIP. Beres semua. Namun, tunggu-punya-tunggu dia belum juga bisa berangkat. Pada waktu ada rapat PMI, Sumarno melihat dia dan kontan bertanya:
“Kok kamu masih di sini, mestinya ‘kan sudah di Tokyo.”
“Saya tak tahu, Pak. Pokoknya tak bisa berangkat.”
Akhirnya, demikian kenang Sugiyono, Gubernur Sumarno menelepon seseorang di PTIP. Dia bilang,
“Ini kuda saya kok gak bisa berangkat? Kamu sudah saya kasi rumah, kok gak mau membantu anak itu?”
Keluar dari kamar kerjanya, sang gubernur kebetulan berpapasan dengan Sugiyono dan merangkulnya.
“Sudah nak, nerimo saja. Ke Jepang tahun ini jatahnya cuma lima. Dan rekomendasi untuk semua mereka yang ke Jepang itu dari Bung Karno hehehe … Yang ngirim itu Bung Karno, presiden, saya cuma gubernur, jadi terang kalah. Kamu bagaimana?”
“Saya mau usaha sendiri. Jalan sendiri. Orangtua saya tak mampu membiayai. Tapi, saya akan terus mencari kesempatan supaya bisa sekolah lagi.”
“Mau ke mana?”
“Bantulah Pak, dengan menulis rekomendasi untuk dikirim ke Soviet,” jawab Sugiyono.
Menurut dia, pada masa itu pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berangkat ke Uni Soviet juga banyak.
“Jangan ke sana. Serem ke sana. Sudah banyak yang ke Soviet.”
“Ke mana Pak? Kalau saya ke mana saja mau, asal berutang budi kepada negara dan tidak pada pribadi.”
“Ke Jerman Timur.”
“Ya, Pak, ke Jerman Timur, saya dengar di sana juga bagus.”
“Ke Ceko saja, nak.”
“Pokoknya ke mana saja. Asal saya bisa sekolah.”
“Saya pernah ke Cekoslowakia, sistem pendidikannya juga bagus.”
Setibanya di Praha bidang apa yang Bung pelajari?
Saya sampai di Praha tahun 1963. Setelah selama setahun belajar bahasa Ceko, saya mulai kuliah. Keinginan saya belajar international relations, hubungan internasional. Tetapi, mata pelajaran itu pada waktu itu tidak dibuka. Supaya saya tidak keluyuran, saya dimasukkan ke sekolah tinggi ekonomi. Di sana banyak anak Indonesia. Kuliah di situ sekedar batu loncatan, Nanti, kalau hubungan internasional sudah dibuka maka saya pindah ke jurusan itu.
Ternyata tahun kedua juga tidak dibuka. Kedutaan Besar RI meminta saya untuk menentukan mau kuliah apa? Singkat cerita, saya diterima di Charles Unversity, di Praha sini. Jurusan saya adalah pedagogi dan psikologi anak.
Tahun 1965 terjadi huru-hara. Dua minggu kemudian, kami para mahasiswa discreening satu-satu di kedutaan. Pertanyaannya cuma satu: Apakah Saudara setuju dengan Orde Baru atau tidak?
Kepada yang melalukan screening balik saya bertanya: Apa itu Orde Baru? Saya tak tahu Orde Baru itu apa, kok saya harus menentukan setuju atau tidak. Saya tidak bisa menerima Orde Baru. Kabarnya masih simpang siur. Yang ada dalam laporan media adalah terjadinya pembunuhan di sana-sini. Malah ada berita yang melaporkan ada orang lewat, dia dituduh PKI, lantas ditembak. Dan macam-macam. Saya tidak setuju dengan rezim yang tidak menghormati hak-hak asasi manusia yang pokok.
“Kalau begitu Saudara komunis,” tuduh yang melakukan screening.
“Saya setan-belang, tai-kucing, itu bukan urusan Saudara,” saya bilang. “Saya ini dididik oleh orangtua saya supaya hidup dengan jujur. Saya orang kampung. Biar menderita dalam hidup, tapi kalau jujur akan diterima oleh Allah. Begitulah ajaran orangtua saya sejak saya dari kampung. Saya dididik di kepanduan. Dan tidak ada ajaran untuk melakukan kekerasan terhadap siapa pun juga.”
“Kalau begitu Saudara harus pulang!”
“Loh Saudara itu logikanya bagaimana? Saya harus pulang ke Indonesia di mana ada orang lewat di jalan dituduh PKI, karena yang menuduh menginginkan istrinya yang cantik, dan orang itu ditembak. Kalau saya pulang maka saya bisa didor berkali-kali dong?”
“Kalau begitu visa Saudara tak bisa diperpanjang.”
“Saya tahu resikonya dan saya siap menerimanya.”
Apa resiko yang menghadang Bung?
Saya mengambil sikap seperti tu karena saya tahu jalan dan tujuan saya adalah benar. Yang setuju dengan Orde Baru tak ada masalah. Kita yang tak setuju minta suaka politik secara keseluruhan. Ya, di negara komunis Ceko ini permintaan suaka politik kami ya diterima. Kita dilindungi. Kurang apa?! Dikasi rumah. Setelah selesai sekolah dikasi pekerjaan. Tapi, istri harus cari sendiri-sendiri ya… hehehe.
Kita diurus oleh Palang Merah Ceko. Setelah selesai sekolah, kita dapat pekerjaan. Saya diterima bekerja sebagai ahli pedagogi. Dan saya punya keahlian dalam dua bidang lagi. Setelah selesai sekolah, dan saya tak bisa kembali ke Indonesia, saya lanjutkan lagi pendidikan mengenai kultur politik dan media massa.
Jadi, saya punya empat kejuruan. Sikap awal saya yang hanya mau berhutang kepada negara, tetapi setelah saya punya keterampilan dan pengalaman hidup, ternyata tak bisa saya manfaatkan untuk memberikan sumbangan kepada negara kepada siapa saya berhutang budi. Itu yang terus membuat saya merasa sedih sekali. Saya tetap merasa berhutang budi kepada Indonesia, karena itu apa saja yang membangkitkan gairah mengenai Indonesia saya berikan bantuan.
Jadi, di sini saya membantu kegiatan-kegiatan di KBRI. Juga kepada orang-orang Indonesia yang datang ke sini. Saya ikut membangun hubungan baik Indonesia dengan Ceko. Selain itu, saya juga mengajar bahasa dan budaya Indonesia di Charles University di Praha ini. Saya jadi dosen.
Dan, kalau ada orang Ceko yang mau belajar bahasa Indonesia, mereka berguru pada saya secara pribadi. Gratis. Saya tidak mau dibayar. Kita belajar di mana saja. Di cafe sambil minum. Minuman saya mereka yang bayar, dan itu sajalah imbalan untuk saya. Prinsip saya, siapa saja yang punya interest pada Indonesia akan saya bantu. Saratnya saya tidak mau dibayar, bayarin sajalah birnya, atau kopinya, ketika kita sedang belajar.
Permintaan saya kepada orang-orang Ceko yang ingin mempelajari Bahasa Indonesia cuma satu, supaya kita menjadi sahabat dan persahabatan kita kekal, itu yang lebih berarti daripada uang.
Di Ceko ini saya dikenal sebagai orang yang mengenal baik Indonesia. Sebagai seorang yang senior, saya banyak bergaul dengan anak-anak muda. Saya tidak terkungkung oleh senioritas. Saya dan mereka saling menghormati. Saya punya banyak kenalan anak muda. Ada yang dari Amerika, dari New Caledonia, Papua, Indonesia dan lain-lain. Saya dipanggil “Kakek” oleh mereka.
Sudah berapa kali berkunjung ke Indonesia?
Pertama pada tahun 1998, waktu Suharto masih bercokol, tapi sudah sekarat. Saat itu yang menjadi duta besar Indonesia untuk Ceko teman kami. Dulu dia sekolah di sini. Tobing, marganya. Dia berani menanggung kami. Kepada departemen luar negeri di Jakarta dia bilang saya kenal orang-orang itu semua. Mereka bukan penjahat. Mereka, kualitasnya, mungkin jauh lebih baik dari mereka yang dulu cuma ikut-ikutan saja. Berilah mereka kesempatan untuk menengok keluarga. Mereka sudah tua-tua.
Bung sendirian?
Ya, sendirian. Kalau saya ajak istri tentu bisa repot. Waktu itu ‘kan tiga puluh lima tahun saya tak bisa pulang. Kalau saya ketemu keluarga, fokus perhatian mereka pastilah kepada saya. Yang lain, yang ikut saya, jadi tidak diperhatikan. Kasihan. Malah jadi tidak nyaman. Begitu ceritanya.
Kemana saja?
Saya mengelilingi seluruh Jawa. Kemudian ke Bali.
Apa yang Bung rasakan?
Kebayoran di Jakarta yang dulu besar, sekarang kok terasa kecil. Banyak kendaraan nggak karu-karuan. Rumah saya yang di Kebayoran sudah tak saya kenal. Rimbun. Terus bertemu dengan keponakan-keponakan yang saya tidak kenal. Mereka belum lahir ketika saya sudah di sini. Tiga puluh lima tahun yang lalu! Berkunjung ke Indonesia saya namakan menengok, bukan pulang. Kalau pulang untuk seterusnya. Sudah tujuh kali saya menengok. Terakhir 2014, waktu lebaran.
Saya sudah pensiun. Umur saya 77 tahun. Jadi sudah hampir 17 tahun pensiun. Saya sudah tak bekerja. Pekerjaan saya sekarang mengurusi keluarga. Anak dua orang lelaki, menantu dua perempuan. Istri satu perempuan hehehe …
Dengan menantu berbahasa apa?
Ceko.
Dengan istri?
Bahasa Ceko. Dia orang Ceko. Sebelum berkeluarga kepingin beristri dengan orang Indonesia. Cewek-cewek Indonesia ‘kan sedikit di Ceko. Saya kalah saingan dengan yang lain
Berapa mahasiswa Indonesia di Ceko waktu ?
Sekitar 200. Wanitanya enam.
Tanah air itu apa?
Tanah air? Indonesia tetap tanah airku. Biar digebukin saya tetap wong jowo. Saya tetap Indonesia. Soalnya bukan di mana Anda hidup, tetapi bagaimana Anda hidup. Untuk apa Anda hidup. Ada orang yang di tanah air sendiri, tetapi tidak merasa seperti bertanah air. Ngumpet-ngumpet. Dan mereka berpikir kalau di luar negeri itu enak. Tidak begitu.
Pada hakekatnya hidup itu bersama keluarga, mengabdi pada keluarga. Kalau itu saja dijalankan sudah baik. Saya punya dua anak. Kalau mereka tidak menjadi penjahat, tidak nyuri, tidak terlibat narkoba itu sudah baik. Apa pun jalan yang mereka tempuh boleh, asal jalan yang baik.
Dan, di mana pun mereka bekerja sesuai dengan kemampuan mereka, sudah cukup untuk memenuhi harapan saya pada mereka. Orangtua tentu senang kalau hidup mereka sukses. Mendidik anak untuk menjadi seperti itu pun sudah susah sekali, Bung!
Kehidupan Bung baik, masyarakat Indonesia masih menderita segala macam penyakit. Bagaimana Bung menggambarkan diri sendiri di tengah keadaan seperti itu?
Indonesia itu seperti gadis cantik. Yang menginginkannya banyak. Menjadi rebutan. Tetapi, mereka mengacau Indonesia karena mereka takut kalau negeri itu maju.
Menurut saya, persoalan di Indonesia itu bisa diselesaikan secara simpel. Menurut saya. Cuma dua hal yang dibutuhkan. Teknologi tinggi dan disiplin. Itu saja. Orang Indonesia itu pintar-pintar, jiwanya baik. Tetapi, tidak memiliki teknologi yang tinggi dan disiplin. Kalau yang dua itu dimiliki, hebat! Korupsi, termasuk dalam kategori disiplin. Buang sampah seenaknya, itu disiplin.
Sejak zaman Sukarno sudah dicanangkan revolusi mental. Tetapi, CIA tidak menghendaki hal itu. Kalau mental Indonesia sudah tinggi, susah untuk dikuasai. Karena itu mereka punya program sendiri. Itulah sebabnya Suharto yang mereka pilih. Ketika pecah G30S tak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Terselubung.
Waktu G30S terjadi Bung di mana? Apa perasaan Bung?
Pada waktu itu kita kumpul di KBRI, nyanyi nyanyi, sebagaimana pemuda layaknya pada masa itu. Untuk merah-putih! Untuk Indonesia! Tak ada permusuhan. Tidak ada apa-apa. Pada 30 September pagi kita berada di sebuah hotel, sedang makan pagi di lantai bawah. Di koran dilaporkan ada pembunuhan terhadap jenderal-jenderal. Kacau. Orang yang screening saya kemudian, satu meja dengan saya.
Sebelumnya dia memanggil saya “Mas Yono, Mas Yono.”
Waktu screening di panggil saya “Saudara.” Saya juga panggil dia” Saudara.”
Setelah selesai screening, kepada yang screening itu saya bilang,
“Boleh saya mengatakan sesuatu? Jangan pikir saya dendam sama you, bahwa saya marah pada you. Tidak! Saya merasa kasihan pada you karena Saudara itu hanyalah alat untuk menjalankan bleid yang kuasa, yang harus Saudara jalankan. Saudara diperintah oleh yang berkuasa. Saudara jadi alat dan korban mereka. Tetapi, saya percaya Saudara berseberangan dengan hati nurani sendiri. Jadi, tak usah merasa saya mendendam. Saya tidak bisa menerima sistem yang Saudara harus jalankan.
Yang screening itu berlinang air mata. Sebenarnya orang-orang seperti yang melalukan screening itu tahu bahwa hati kecilnya tidak bisa menerima keadaan. Karena mereka sadar mana yang benar mana yang tidak.
Bung jadi anggota organisasi apa ketika di Indonesia?
Pemuda Rakyat! Di Magelang. Sebagai seorang pemuda saya getol berorganisasi. Pemuda Rakyat kiprahnya bagus. Dengan iktikad ingin menyumbangkan tenaga dan pikirian untuk memajukan masyarakat, saya memilih organisasi itu.
Dari 200 mahasiswa yang ada di sini pada waktu itu, ada yang dari golongan lain?
Terang saja ada. Karena yang dikirim ke sini ada yang dari pemerintah. Ada juga yang dari partai. Saya tidak tahu apa ada yang dari Nahdlatul Ulama atau PNI. Saya tidak tahu. Tapi yang terang dari Partai Komunis Indonesia ada. Dan, jelas semangat NASAKOM tercermin dari keberadaan mahasiswa di sini pada waktu itu.
Yang tidak pulang itu kriterianya melawan Orde Baru atau tidak. Bukan apakah mereka bergabung dalam organisasi ini-itu ketika berangkat dari Indonesia. Yang tidak mau tanda tangan mendukung Orde Baru itu macam-macam. Kalau mau jujur, ada juga yang sekolahnya tidak benar. Orang seperti ini menentang Suharto supaya tetap tinggal di sini. Ada juga yang ikut-ikutan. Saya sendiri sadar pada pilihan saya, dan tahu akibatnya.
Menentang itu tidak gampang, jika tidak punya pendirian yang jelas dan teguh. Anggota partai, orang berkedudukan tinggi, kalau tak punya nyali, akan mudah menyerah.
Saya tidak bisa membantu keluarga saya yang berada di Indonesia. Apa yang mau dikirim, di sini saja pas-pasan. Tetapi, keluarga saya menghormati saya karena saya bersikap. Namanya manusia, kalau tengah malam terbangun, pikirannya ‘kan bisa macam-macam juga. Tapi tidak, saya harus konsekuen dengan pilihan saya untuk menolak. Jujur itu sulit meskipun terhadap diri sendiri.
Bung ingin hidup terus di sini atau mati di sini?
Mati dan hidup itu bukan urusan saya, Mas.
Kalau Bung boleh memilih ….
Saya tidak bisa memilih. Saya ditentukan oleh Tuhan. Tuhan yang menentukan. Mungkin saya mati di Amerika, yang adalah sesuatu yang tidak saya inginkan. Saya tidak takut mati, yang saya takutkan sekarat. Sekarat saya takut, tetapi mati tidak. Semua orang akan mati kok!
Bagaimana Bung menghadapi masa tua?
Jalan saya? Di sini tidak seperti di Indonesia. Di sana orang tua diurusi keluarganya. Hidup di Indonesia sifatnya guyub. Ada tradisi. Kalau saya pragmatis saja. Kalau sudah jadi jompo saya tidak mau jadi beban buat keluarga saya.
Apa yang ingin Bung lakukan?
Saya ingin ditempatkan di rumah jompo. Keluarga mau nengok atau tidak terserah mereka. Kalau saya diurus oleh mereka, mereka bisa tidak kerja jadinya nanti. Cuma, kalau di Indonesia terkadang sikap pragmatis seperti itu bisa diangggap durhaka.
Pandangan Bung tentang Indonesia sekarang?
Susah mengurus penduduk yang 250 juta. Mengurus keluarga saya yang empat orang saja susah. Lagipula, susahnya di Indonesia, kalau ada yang berbuat baik, malah dijegal-jegal. Kalau perlu diinjak-injak juga. Ya, saya di sini ‘kan cuma membual. Apa yang saya katakan dua hal pokok tentang teknologi tinggi dan disiplin yang diperlukan Indonesia untuk maju itu belum tentu benar.
Bagaimana mempertahankan kesehatan?
Cara saya yalah memegang prinsip bahwa kesehatan saya sayalah yang bertanggungjawab. Bukan orang lain. Pola makan harus dijaga. Disiplin. Kalau tak boleh makan nasi, jangan makan nasi. Kalau harus makan obat ya makan obat. Kita harus bergerak dan bergerak di tempat yang sehat. Terus menetap di kota tidak baik, karena hal itu masuk dalam kategori tidak bergerak. Kita harus bergerak. Kita bisa bergerak dengan berkebun. Saya punya dua kebun. Tidak jauh di luar kota. Naik mobil ya sekitar tujuh menit. Kebun itu saya miliki, dibeli. Saya tanam macam-macam. Ada peach ada tomat. Luasnya 20 kali 20 meter. Ada rumah-rumahan. Yang satu lagi kita beli dari tetangga yang memang mau menjual. Anak saya dua, laki-laki. Jadi, kalau mewariskan masing-masing mereka dapat satu. Kami sudah bersepakat kalau kami, saya dan istri, sudah jompo, kebun yang ketiga itu akan kami jual.
Apakah kedua putra tertarik pada masalah politik di Indonesia?
Ketika Suharto berkuasa, anak-anak saya masih kecil-kecil, jadi nuansa politik tentang Indonesia pada diri mereka tidak ada. Mereka jauh dari keindonesiaan. Sampai sekarang mereka belum pernah ke Indonesia, dan mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka menghormati saya sebagai Bapak, menghormati saya sebagai orang Indonesia. Kalau ada panggilan jiwa, ya, mereka akan ke sana. Istri pernah ke sana sekali. Sesudah itu tak mau lagi karena kepanasan. Tahun 2000 dia ke sana, juga sampai ke Bali. Dia guru, jadi sikapnya kritis, melihat begitu banyak motor … Di Denpasar dia kena diare. Lupa air keran tidak bisa diminum. Di sini bisa langsung diminum. Di sini air kran lebih baik dari air Aqua. Saya minum air keran di sini. Istri saya bisa berbahasa Indonesia. Dia guru bahasa Jerman. Tetapi, sudah pensiun. Saya 77 dia sembilan tahun lebih muda. Saya sampai di Ceko 10 September 1963, 10 September 1969 saya dan istri sudah mulai jalan bareng. Kita kumpul kebo dua tahun. Pada 10 September 1971 kita menikah. Jadi, 10 September itu semacam hari yang sangat berarti bagi kami. Pacaran 10 September menikah 10 September.
Bagaimana mengatakan, “Aku mencintaimu” dalam bahasa Ceko?
[Ja ce mamba. Begitulah yang kudengar, tetapi saya enggan meminta Sugiyono menuliskannya.]
Waktu berkenalan pertama kali, Bung mengatakan itu kepada gadis yang kemudian menjadi istri?
Itu tak perlu dikatakan. Lihatlah, sejak 1969 sampai sekarang kami sudah hidup bersama. Tiga puluh tujuh tahun! Perkawinan antar-bangsa bukan tidak mungkin. Contohnya saya. Masalahnya harus rela menekan ego, saling menghargai, saling memahami.
Kalau boleh, saya ingin mengatakan sesuatu tentang agama sebagai pedoman hidup. Agama itu diturunkan di masyarakat yang bobrok. Dia diperlukan untuk tatanan hidup yang baik. Agama itu bermacam-macam dan semuanya bermaksud baik. Di sini, saya bergaul dengan baik dengan orang Kristen, dengan yang Islam. Dengan komunitas Indonesia yang beragama Kristen di sini saya berbaur dengan baik, ikut menghadiri upacara Natal. Kalau Lebaran tentu saja saya ikut. Ada pengajian saya turut. Saya yang justeru menjadi inisiator Galungan di sini. Kemarin saya kumpulkan orang Tionghoa dan saya selenggarakan Imlek. Orang Tionghoa dari Indonesia banyak di sini. Dulu, waktu akan berlangsung Galungan saya hubungi orang Bali. Bagaimana kalau bikin Galungan, sanggup? Tanya saya. Sanggup! Saya hubungi KBRI, mereka siap membantu. Waktu ada Imlek, KBRI juga saya hubungi. ‘Kan di Indonesia Imlek dirayakan sebagai hari libur nasional, mengapa di sini tidak. KBRI juga membantu, termasuk dana.
Tak salah. Sugiyono kelihatannya adalah orang yang senang bertemu dengan orang yang datang dari Indonesia, kepada siapa dia ingin dan betah berbagi pengalaman hidup. Dan, jika yang mendengarkan kisahnya tergerak, air mukanya nampak ceria, sebagaimana seseorang yang sudah tuntas membayarkan utang. Utang kepada negara dan tanah tumpah darahnya. Dia mengajak saya berjalan ke sebuah jembatan yang menjadi tujuan kaum pelancong dari seluruh dunia kalau sudah tiba di Praha yang molek ini. Di tengah jembatan itu, dari mana museum Franz Kafka terhampar di tepi sana, berdiri patung perunggu wanita dengan dada suci terbuka. Kedua sumber susu yang membesarkan generasi-ke-generasi itu tampak licau mengkilap lantaran sentuhan zaman yang selalu haus.
“Bung,” katanya sambil meraih tangan saya. “Belailah dadanya, kenanglah saya, supaya Bung datang lagi ke mari.”
https://www.facebook.com/martin.aleida/posts/1489631214397316
Your comment?