Bedjo Untung: “Masalahnya di Jaksa Agung”
- Soal Mandeknya Penyelesaian Kasus “Genosida 1965-66”
Pada hari Kamis (10/1/2019) Komnas HAM menggelar konferensi pers di Media Center kantornya di kawasan Menteng, Jalan Latuharhary Jakarta. Kelima komisioner ada di pertemuan yang diagendakan bagi awak media itu. Ada Ketua Komnas HAM Taufan Ahmad Damanik, didampingi para komisioner Amiruddin, Moh. Choirul Anam, Beka Ulung Hapsara, Sandrayati Moniaga.
Barangkali paska pelantikan komisioner baru dan di awal pergantian tahun ini, Komnas HAM merasa perlu menjelaskan kepada masyarakat luas; mengapa langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tak mengalami kemajuan yang signifikan.
Ada 7 dari 9 kasus pelanggaran HAM berat yang berkas perkaranya kembali dan diajukan lagi, sebagaimana release Komnas HAM, yang tak memiliki kemajuan signifikan secara substansi, hukum, status dan prosedur lanjut berupa penyidikan.
Kesembilan kasus itu adalah: Peristiwa 1965-1966, Talangsari Lampung 1998, Penembakan Misterius 1982-1985, Trisakti Semanggi I–II, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior dan Wamena, Simpang KAA 3 Mei 1999 Aceh, Rumah Geudong dan kasus Pos Sattis lainnya di Aceh.
Menyikapi mandeknya penyelesaian kasus-kasus ini, menurut Komnas HAM, tak ada lagi alasan bagi Jaksa Agung untuk tak menindaklanjutinya ke tahap penyidikan.
“Tidak ada alasan lagi bagi Jaksa Agung untuk kemudian menunda proses ini ke langkah penyidikan atau bahkan ke pengadilan,” ujar komisioner Beka Ulung Hapsara.
Menurutnya, tugas Komnas HAM, dalam hal ini penyelidikan, telah selesai sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung berwenang melakukan penyidikan dalam menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.
Soal Genosida 1965-1966
Ihwal mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini, tak pelak, membuat Ketua YPKP 65 Bedjo Untung yang ikut hadir di konpers itu sangat kecewa. Bisa dimaklumi. Karena diantara 9 kasus yang berkasnya cuma bolak-balik dari Komnas HAM ke Jaksa Agung dan sebaliknya, kasus atau “peristiwa 1965-1966” (Baca: Genosida 1965/66_Red) adalah yang paling lama stagnasinya.
Bedjo Untung setuju bahwa penyelesaian kasus “Genosida 1965-66” bukan semata untuk kepentingan para korban dan penyintas tragedi kemanusiaan ini; yang rata-rata telah berusia lanjut dan bahkan banyak yang sudah mati. Lebih dari itu, penyelesaian kasus ini mesti diletakkan di atas kepentingan bangsa dan negara. Tetapi juga bukan atas kepentingan para terduga pelaku kejahatan yang ingin melanggengkan impunitasnya.
“Sudah banyak temuan-temuan novum baru yang bisa dijadikan dasar dan dukungan bagi memajukan penyelesaian kasus 1965-66”, terang Bedjo Untung usai mengikuti konpers di Komnas HAM.
Pemajuan tahap penyelesaian itu bisa berupa penyelidikan ulang Komnas HAM, penerbitan Keppres Rehabilitasi Umum bagi para korban. Atau melanjutkan upaya rekonsiliasi non-yudisial dengan tanpa menegasikan penyelesaian secara yudisial. Karena memang banyak temuan bukti-bukti baru.
“Banyak sekali bukti baru, dari deklasifikasi arsip rahasia AS, dokumen genocide-file temuan Jess Melvin. Yang paling lengkap bukti-bukti, saksi pelakunya adalah soal kamp konsentrasi Pulau Buru”, tambahnya.
“Terakhir, temuan lokasi kuburan massal para korban Tragedi 1965/66 yang jumlahnya sampai akhir 2018 telah mencapai lebih 300 titik”, tegas Bedjo Untung.
Masalahnya, bukan hanya Komnas HAM yang menganggap tugasnya telah selesai. Tetapi, dan ini yang utama, apakah Jaksa Agung konsisten dan benar-benar membuktikan komitmennya bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sehingga memastikan kejadian serupa tak kembali terulang di masa datang… [hum]
Your comment?