Bedjo Untung di Forum HAM Asia
GWANGJU – Untuk ketiga kalinya Ketua Umum YPKP 65 berkunjung ke Korea Selatan memenuhi undangan penyelenggara dan kalangan aktivis HAM di negeri ginseng itu. Kali ini kehadiran Bedjo Untung pun didaulat menjadi pembicara pada sebuah event yang digelar untuk mengenang Gerakan Demokratisasi Gwangju 18 Mei 1980.
Gerakan ini lazim disebut ‘Pemberontakan Gwangju 5.18’ yang dalam idiom setempat ditandai sebagai ”5.18 Gwangju Minjuhwa Undong” ini merupakan perlawanan rakyat Korea Selatan dalam menentang dominasi rezim junta militer pimpinan Mayjen Chun Doo-hwan; pasca terbunuhnya presiden Park Chunghee pada tahun 1979 yang memicu kekecewaan meluas di kalangan rakyat.
Rakyat Korea yang pada dua periode kepemimpinan Park Chung-hee (antara 24 Maret 1962 – 26 Oktober 1979) sebelumnya, telah mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan politik, pada intinya menghendaki kebebasan demokrasi sipil sepenuh-penuhnya. Namun rezim militeristik kala itu dinilai merasa belum cukup meski telah berkuasa selama 2 periode pemerintahannya.
Pemberontakan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat pun kemudian dilancarkan pada 18 Mei 1980 dan berlangsung hingga 27 Mei 1980 di Gwangju, salah satu kota di Jeolla Selatan, Korea Selatan; yang menjadi pusat aksi-aksi demokratik. Rentang peristiwa yang terjadi antara 18-27 Mei 1980 ini dimemorialisasi sebagai gerakan demokratisasi rakyat. Suatu perjuangan 9 hari bagi kebebasan demokrasi yang membawa banyak korban dari warga sipil terbunuh dan hilang; karena direpresi fihak militer.
Namun di mata rakyat Korea yang berulang-ulang mengalaminya, tindakan kekerasan militeristik ini tak luput menyisakan trauma mendalam, terutama, di kalangan para korban dan penyintas. Tragedi seperti ini, dalam berbagai aspek yang melatarinya, mirip dengan tragedi yang terjadi di Indonesia pada 1965-66. Bahkan juga dengan tragedi lainnya seperti terjadi di Talangsari, Tanjung Priok, Tragedi Mei 98, Papua Barat dan tempat-tempat lainnya.
Solidaritas Asia
Ketua YPKP 65 dari Indonesia menjadi pembicara pada event regional dan menandai kunjungan ketiganya di negara yang pernah dikoyak perang saudara. Bedjo Untung banyak memaparkan pengalamannya sebagai korban dari keganasan rezim militer Indonesia di masa lalu; rezime yang melancarkan kudeta berdarah dan mengenyahkan kedaulatan sipil dalam kekuasaan 32 tahun berikutnya.
Pengalaman empirik mantan aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) kala itu, yang diburu, ditangkap, disiksa, dipenjara dan diwajibkan kerjapaksa sebagai tahanan politik Orba, amat relevan dengan pengalaman traumatik rakyat Gwangju yang direpresi junta militer. Paparan Bedjo Untung diperkuat dengan paparan banyak temuan para peneliti sejarah Tragedi 65, termasuk temuan jejak kuburan massal para korban, serta bukti-bukti arsip rahasia yang menunjukkan keterlibatan negara seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat.
Cepat atau lambat, kebohongan akan tersingkap dan kebenaran akan menjadi landasan membangun keadilan yang berkelanjutan. . Meski kenyataan sejarah kelam ini masih juga diingkari kebenarannya di Indonesia namun latar dan narasi tragiknya secara substansi telah menjadi perekat sosial para korban dan penyintas tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di kedua negara. [hum]
Your comment?