Dari Penyintas Tragedi 65 ke Penyembuhan Trauma [1]
Adalah Sudarno, penyintas tragedi 1965 dari Kajen yang jadi penyembuh bagi korban dan penyintas lainnya. Ia dikenal luas, terutama di kalangan mantan tahanan politik (eks Tapol) di wilayah Pekalongan Jawa Tengah. Pada 1979, selesai ia dibebaskan dari 9 tahun menghuni “inrehab” (kamp kerja paksa_Red) Pulau Buru, eks Tapol dari Unit 7 ‘Wanasurya’ ini surfive dengan menjadi terapist akupunktur; keahlian yang ia dapat dan ia pelajari selama dipenjara di pulau pengasingan Maluku Selatan.
Pada tahun 1980, setahun setelah pembebasannya dari Pulau Buru, Sudarno menikahi Trusmiyati, putri seorang tapol militer bernama Warham yang juga sempat dijebloskan ke penjara selama 12 tahun. Dari perkawinan ini, ia mempunyai 4 orang anak dan 11 cucu.
***
Sudarno dilahirkan di Kajen, 17 Maret 1943, sebagai anak kedua pasangan Sumarto dan Rasumi. Sumarto, ayahnya, adalah pejuang sejak era kolonial Hindia-Belanda, berlanjut pada era fasisme Jepang hingga masa revolusi Kemerdekaan RI 1945. Setelah Indonesia merdeka, sang ayah yang tak sempat menunggui saat kelahiran anak keduanya, resmi memasuki dinas kemiliteran di Brebes sebagai prajurit “Banteng Loreng”, satuan lain dari ‘Banteng Raiders’ di kesatuan Angkatan Darat.
Selain berdinas di “Banteng Loreng”, sang ayah yang asli Kajen memiliki sebuah pabrik gondorukem (resina colophonium) di Kebonagung, Kajen. Gondorukem adalah produk olahan dari getah hasil sadapan pada batang tusam (Pinus) yang memang banyak tumbuh di hutan perkebunan Kajen. Pabrik yang didirikan bernama Firma “Panca Jaya” adalah perusahaan patungan dengan pengusaha etnis Tionghwa yang biasa dipanggil Bun Liong. Sedangkan bidang tanah sekira 1.500 meter persegi luasnya, yang dijadikan lokasi pabrik merupakan hasil kerjasama dengan Suyono kolega ayahnya.
Pada akhir Oktober 1965, pabrik yang bahan dan hasil olahannya memang mudah terbakar ini, ikut hangus dibakar massa dalam waktu sekejap menyusul Geger Gestok yang menstigma orangtua Sudarno sebagai anggota PKI. Rumah keluarganya di dukuh Bandungan Kulon Kelurahan Kajen pun telah hangus mendahului pabrik pengolahan gondorukem yang musnah dibakar oleh keberingasan massa yang sama.“Pembakaran rumah didahului dengan bunyi letusan senjata sebagai aba-aba komandonya”, kenang Sudarno yang menuturkan kisahnya di halaman rumah keluarga yang dibakar massa.
Beruntung, ia dan kedua orangtuanya, kakak perempuan dengan suami dan anaknya, berhasil lari meloloskan diri dari persekusi. Meskipun tokh pada akhirnya tertangkap juga. Dan sejak penangkapan itu, adik dari Sukartinah yang kala itu masih berstatus sebagai PNS pada Kantor Camat Lebakbarang ini pun diberhentikan dari kerja dinasnya, dijebloskan ke sel penjara sebagai tahanan politik (tapol) tanpa pernah melalui proses pengadilan.
Dibawa Malam ke “Gudang Garam”
Kajen, 7 November 1965. Seminggu telah berlalu dari insiden pembakaran rumah keluarga dan pabrik gondorukem milik ayahnya, Sudarno keluar dari sembunyinya di rumah sebuah keluarga Muhamadiyah yang bersedia menampungnya. Lokasi rumah ini tak jauh dari Kantor Wedana Kajen.
Seminggu belakangan ia memang bersembunyi di rumah keluarga itu, menghindari amuk massa yang beringas. Di suatu sore ia berjalan bersama wanita, anak dari keluarga Muhamadiyah yang menampungnya itu. Saat Sudarno tengah melintasi jalanan depan kantor polisi, seorang petugas jaga bernama Mukasani melihat dan memanggilnya.
“Pak Darno, kesini pak…”, panggil polisi itu.
“O ya pak…”, sahutnya.
Dan Sudarno yang mengenali Mukasani pun mendekat, tanpa bercuriga karena si petugas bersikap seperti biasa saja. Teman wanitanya diminta tinggal di seberang jalan, sementara ia berjalan mendekati pos polisi.
Sudarno adalah pegawai yang merangkap sukarelawan Dwikora dan pelatih bagi banyak sukarelawan Pemuda Rakyat yang sebenarnya juga ada dari Pemuda Muhammadiyah, dan bahkan Hansip serta Pemuda Nasakom lainnya.
“Pak Darno, ini ditunggu pak Dandis..”, kata si polisi. Dandis adalah Komandan Distrik di wilayah itu “Nanti malam mau diajak patroli bersama, karena di desa Kalijoyo ada wayang”, sambungnya.
“O iya pak.. Siap.”, sahut Sudarno
“Sini duduk dulu pak, sebentar..”, pinta polisi itu.
Pegawai kecamatan yang juga pelatih sukarelawan ini pun masuk pos dan duduk disana. Tak lama kemudian datang lah seorang intel polisi Durahman yang langsung berbisik perlahan pada polisi yang bertugas jaga.
“Pak Darno dicatat di buku..”, ucapnya lirih.
Tak urung Sudarno dengar juga dan ia kemudian nyeletuk..
“Pak, apakah saya akan ditahan?”, tanyanya.
“Ah, tidak pak.. Cuma sebentar mau dimintai keterangan oleh pak Dandim”, jawab polisi.
Diingatnya sore itu ia berjalan dengan anak dari keluarga dimana ia berdiam menghindari persekusi massa sejak pekan sebelumnya. Ia pun meminta si wanita yang menungguinya di sebrang jalan, agar pulang dan mengabarkan ihwal ajakan Dandim yang disampaikan polisi sore itu. Setelah itu ia kembali ke arah pos polisi. Maghrib telah tiba dan berlalu disana. Polisi memberi ia nasi megono bungkus dengan kerupuk namun ia tak mau makan pemberian itu hingga waktu isya berlalu.
Alih-alih diajak berpatroli bersama, ternyata pada malam hari itulah Sudarno dikirim ke “Gudang Garam”, tempat pengap tanpa ventilasi dimana telah banyak tapol di dalamnya. Gudang garam ini kemudian lebih dikenal orang sebagai kamp transito Tapol di Kajen. Para tapol “disekap” di gudang ini sebelum di screening melalui interogasi disertai siksa dengan pola tuduhan sama; terlibat G30S. Fase penuh siksa ini berlangsung di Penjara 1 Cikalsari untuk kemudian tapol diklasifikasi entah berdasarkan kriteria bagaimana.
Fase screening ini akan menentukan apakah seorang Tapol Pekalongan akan dikirim ke Penjara 2 Loji, pengasingan Nusakambangan atau pembuangan Pulau Buru; ataupun opsi lainnya dieksekusi setelah itu. Kematian seseorang Tapol pun bisa ditentukan sekehendaknya tanpa pembuktian pengadilan. Adapun eksekusinya sendiri bisa dilakukan melalui berbagai cara. Namun selain itu, banyak pula Tapol yang mati karena siksaan, kelaparan maupun serangan penyakit selama dalam tahanan.
Sukarelawan Dwikora
Selain sebagai anak dari keluarga pejuang, Sudarno adalah sukarelawan Dwikora dari unsur pegawai negeri yang banyak memberi pelatihan pada para pemuda, termasuk anggota Pemuda Rakyat pada seputar tahun 1964. Pada masa sebelum Geger Gestok 65 itu semua berjalan baik-baik saja dan penugasannya sebagai pelatih itu pun atas perintah dari dinasnya. Pada 1964, Soekarno, presiden RI memang tengah melancarkan aksi konfrontasi dengan Malaysia sebagai reaksi atas pembentukan Federasi Malaysia.
Pembentukan negara Federasi Malaysia ini atas dukungan Amerika merupakan penyatuan bagian-bagian dari Semenanjung Malaya yang meliputi Brunei, Sabah dan Sarawak, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan jiran Malaysia.
Jadilah Sudarno memberi banyak pelatihan kepada Pemuda Rakyat. Dan ini cukup menjadi dalih bagi militer orde baru untuk menangkap orang-orang seperti Sudarno dan lainnya setelah lebih dulu menghanguskan rumah dan pabrik milik keluarganya.
Dibawa Kapal ke Pulau Buru
Dari hasil screening Sudarno diklasifikasi sebagai Tapol-B, penggolongan bagi orang-orang yang bakal dibuang ke Pulau Buru. Tetapi ia tak yakin dengan klasifikasi yang memang amat tak jelas standar penggolongannya. Selain bisa berubah golongan sewaktu-waktu, konon, klasifikasi ditentukan oleh seberapa besar peran dan seberapa jauh keterlibatan si Tapol dalam kudeta G30S. Padahal tak ada satu pun Tapol Kajen, termasuk Sudarno, pergi ke Jakarta atau kemana pun untuk ambil bagian dalam pemberontakan kepada negara sebagaimana dituduhkan polisi dan tentara.
Kebohongan seperti ini bukan tak punya ekses buruk erkepanjangan, bahkan terkesan memang sengaja dipola sebagai tuduhan umum yang membabi-buta. Pada masa sreening untuk menentukan nasib seorang Tapol -antara dibui, dibuang atau dibunuh- terbuka peluang untuk negosiasi dan bertransaksi. Tapol yang memiliki sejumlah uang bisa menyogok untuk tak digolongkan ke dalam kelompok B atau A; dibuang atau dibunuh. Beberara yang miris jika harus dibuang atau dibunuh, nekad menjual harta, ternak atau sawah miliknya untuk menyogok tentara.
Bagi Sudarno dan ayahnya yang sudah lebih dulu mendekami penjara, bisa saja bertransaksi; meski itu pun tak dilakukannya. Tapi beberapa temannya yang tak tamat sekolah rendah, bekerja sebagai petani buruh atau bahkan hanya seorang penggembala itik milik orang kaya di desanya; bisa masuk Golongan II. Dan orang yang disebut BTI bernama Jono Waru, harus ikut dibuang Pulau Buru. Jono, dan banyak Tapol lainnya, tak tahu-menahu soal G30S dengan segala macam tudingan memberontak terhadap negara.
Pada 10 Agutus 1970, Sudarno bersama 75 dari jumlah 199 tahanan politik asal Pekalongan diangkut kapal laut ke pembuangan Pulau Buru, setelah 40 hari sebelumnya menempati penjara Limus Buntu di Nusakambangan. Perjalanan laut selama sepekan ini mendaratkan gelombang pengiriman berikut ratusan Tapol lainnya di pelabuhan Namlea. Dan Sudarno menempati Unit 7 “Wanasurya” di pulau pembuangan tapol itu. [hum]
Your comment?