Warli : Murid SD Menjadi TAPOL – Kesaksian Tragedi ‘1965’
cover foto Sketsa Mars Noersmono dari buku Bertahan Hidup di Pulau Buru (Memoar dan 75 sketsa Mars Noersmono) – ultimus 2017
Tahun 1965 ia baru berumur 13 tahun masih duduk di bangku Kelas 6 SD (Sekolah Dasar) Desa Muncang Kecamatan Bodeh Kabupaten Pemalang bagian timur yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pekalongan. Belum tamat sekolah.
Ketika itu, si pemuda Warli sudah ada di dalam kelas kira-kira jam 9 pagi, tiba-tiba ada 2 orang polisi dari resort Sragi menanyakan kepada ibu guru tentang seseorang murid yang bernama Warli Wardoyo.
Bu Guru menjawab, “Ada…….”
Kemudian polisi bilang,
“Le, kamu saya ajak ke kantor polisi Sragi, ya. Nanti kalau sudah selesai akan saya antar kembali pulang ke sini karena saya ambil di sini maka akan saya kembalikan lagi ke tempat ini …. “
Ternyata, bukannya dikembalikan ke sekolah seperti yang dijanjikan petugas polisi, namun selama 14 tahun Pak Warli harus menjadi Tapol dari penjara yang satu ke penjara yang lain: Pekalongan-Nusa Kambangan-Pulau Buru.
Warli kemudian dinaikkan ke sebuah kendaraan jeep prutul.
Tahu-tahu, setelah melewati kantor polisi Sragi, jeep tidak berhenti di situ melainkan terus bablas ke kantor polisi Batang.
Di dalam kantor polisi Batang ia melihat ada kira-kira 50 orang yang sudah tua-tua, bapak-bapak dalam keadaan kepalanya berdarah-darah, babak-belur. Nampaknya bekas penyiksaan.
Selama 1 minggu ia berada di kantor polisi Batang.
Tiba-tiba ada 4 buah iring-iringan truk dari Pabrik Gula Sragi yang kemudian digunakan untuk mengangkut 50 tahanan, dan dirinya.
Ia kemudian di lemparkan ke atas truk.
Truk menuju ke penjara Cikalsari Pekalongan.
Warli tidak mengerti alasan kenapa ia ikut ditahan dan dibawa ke penjara. Ia baru tahu setelah mendengar beberapa keterangan yang disampaikan para bapak-bapak yang ikut ditahan itu.
Warli muda memang suka ikut main gamelan ketika pentas penari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Rupanya ia ditahan karena ikut rombongan pemain gamelan pentas Lekra. Warli suka nabuh gamelan khususnya gendang. Rupanya ia difitnah, gara-gara bisa tabuh gendang ia dianggap anggota Lekra.
Warli tanya, “Apakah main gamelan itu menyalahi hukum sehingga saya harus ditahan?”
Katanya, Lekra itu PKI.
Di Penjara Kelas I Pekalongan, 3 hari pertama jatah makan penjara cukup baik, makan nasi menggunakan ompreng, tapi setelah itu, nasi diganti dengan 2 pringkil gaplek (gatot), itu pun diberi hanya sekali dalam sehari. Jadi, dalam sehari semalam perut hanya diisi 2 potong gaplek itu. Bayangkan, siapa yang bisa bertahan untuk hidup?
Selama 2 bulan para tahanan makan gaplek 2 pringkil, kemudian diganti dengan jagung yang sudah rusak, kotor penuh dengan binatang kecoak, sehingga rebusan jagung itu mirip bubur kotor.Tapi, mau apa lagi? Karena dalam keadaan lapar, ya dimakan juga.
Air minum tidak disediakan. Para tahanan terpaksa minum air bekas rebusan jagung yang kotor itu.
Tidak disediakan cangkir atau pun muk. Para Tapol terpaksa gunakan kaos baju yang dicelup ke bak air kemudian kaos diperas, airnya diminum.
Tidur tidak gunakan alas lantai, tak ada tikar. Bantal gunakan pecahan batu bata.
Tentu saja banyak yang menderita sakit dan tiap hari tiap sel ada yang mati, 2-3 orang. Tiap pagi ada petugas “Tamping” tahanan kriminil yang ditugasi korve memeriksa dan mengangkut yang mati. Mati karena sakit dan kelaparan.
Petugas tamping memeriksa sel satu per satu dan menyeret tapol yang mati, dimasukkan ke “songkro” gerobak dorong roda dua. Tiap pagi tak kurang dari 70 mayat tapol diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan. Di kemudian hari tempat pembuangan itu diketahui di tepi pantai laut Jawa di utara Pekalongan. Tempat ini sudah berubah menjadi area perumahan.
Warli di dalam penjara Pekalongan selama 5 bulan kemudian dibawa ke kantor CPM (Corps Polisi Militer). Di sini ia diperiksa, diinterogasi, ditanya hal kepemilikan senjata, hal lubang buaya dan sumurnya serta pasukan bambu runcing.
Pak Warli sama sekali nggak tahu, dan tidak tahu apa itu sumur Lubang Buaya serta tidak pernah simpan senjata.
Dalam setiap pertanyaan selalu disertai pukulan oleh sang militer interogator yang bengis.
Interogasi terhadap Warli berlangsung selama 3 hari 3 malam. Pemeriksaan dilakukan pada malam hari.
Selesai dari CPM, Warli dipindahkan ke Penjara Kelas 2 Loji Pekalongan, kemudian ia dipekerjakan secara paksa di desa Karang Sari, kecamatan Karang Anyar. Kerja angkut batu-batu besar kemudian dipecah untuk pengaspalan jalan raya di daerah Pekalongan. Semuanya tanpa diberi upah selama 3 bulan.
Sesudah itu, Warli dipekerjakan di Pabrik Gula Sragi, membersihkan got dari pabrik Sragi sampai ke Mojo Asem selama 1 bulan.
Kemudian kerja paksa di Bendungan Kali Wadas, angkut batu, pasir dan membuat bronjong tanggul waduk. Ada tuduhan menggelikan-ini propaganda khas Orde Baru- Tanggul Waduk Kali Wadas jebol itu karena ulah sabotase PKI. Padahal, itu murni karena curah hujan yang tinggi, tanggul waduk jebol karena tidak kuat menampung debit air.
Kerja paksa berpindah-pindah dari desa ke desa itu selama 5 tahun tanpa mendapat upah dan penuh dengan intimidasi tentara.
Pada 10 Agustus 1970 Warli bersama 75 tahanan yang muda-muda dan memiliki phisik cukup kuat termasuk dalam daftar untuk dibuang ke Pulau Buru.
Iring-iringan truk mengangkut tahanan dari Penjara Kelas 2 Loji Pekalongan menuju Penjara Nusa Kambangan dengan pengawalan super ketat oleh tentara.
Setelah menyeberang akhirnya Warli dan teman-teman Tapol akhirnya disekap selama 40 hari, ditutup rapat di sel penjara Limus Buntu Nusa Kambangan sebelum akhirnya dibuang ke Pulau Buru Maluku di ujung timur Indonesia.
Tujuh hari tujuh malam kapal pengangkut Tapol terombang-ambing oleh badai lautan samudera Indonesia, di Laut Banda dengan ombak yang besar sehingga banyak tapol yang muntah karena mabuk.
Akhirnya diasingkan ke Pulau Buru, membabat hutan, menebang kayu, kerja bertani di bawah todongan senjata Peleton Pengawal Pattimura. Setiap kali ada kesalahan atau bahkan tak membuat kesalahan pun, sang Tonwal memberikan hukuman, pemukulan dan memperlakukan Tapol sebagai barang mainan, tertawaan. Sungguh merupakan penghinaan.
Pak Warli akhirnya bebas setelah ditahan selama 9 tahun di Pulau Buru, ditambah 5 tahun di Pekalongan dan Nusa Kambangan, total 14 tahun.
Belum berakhir di situ.
Di desa aslinya di Pekalongan ia masih harus disuruh “mel” atau apel sekali dalam seminggu di Kodim.
Kini, Pak Warli di sisa hidupnya aktif lanjutkan profesinya sebagai penabuh gamelan dan menjadi dalang untuk menyambung hidupnya- meskipun ia sadar penguasa militer melarangnya untuk mendalang namun ia tak ambil pusing, ia perlu hidup.
Semangat hidup pantang menyerah Pak Warli menginspirasi generasi penerus..
Kisah nyata ini ditulis berdasar wawancara Pak Sudarno Ketua YPKP65 Pekalongan dengan Pak Warli. (Bedjo Untung)
Your comment?