Kelesuan Komnas HAM dan Politik Nawacita
Ollenk | 01/31/2017, 04:53
Pemerintah menyelenggarakan simposium nasional membedah tragedi 1965 yang dipelopori oleh Kemenko Polhukam dan Lemhanas RI di Hotel Arya Duta Jakarta Pusat (18-19/4/2016). Acara dihadari oleh para pejabat Negara, keluarga korban, keluarga pelaku, ormas dan LSM. Tujuan simposium berupaya menemukan titik temu keduanya, antara korban dan pelaku dalam rangka rekonsiliasi nasional dan saling melupakan masa lalu.
Pelanggaran HAM berat bukan hanya kasus 65-66 yang membutuhkan penyelesaian dari Negara, tetapi beberapa kasus lainnya seperti kasus Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan paksa, kasus Wasior-Wamena dan lain-lain.
Semua kasus diatas merupakan aib HAM Indonesia di mata dunia internasional sehingga dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif-holistik dan bukan parsial-sektoral.
Kelesuan Komnas HAM
Komnas HAM merupakan kelembagaan Negara yang dibentuk untuk menangani persoalan HAM. Pengkajian, penelitian, pemantauan, mediasi dan desiminasi isu HAM menjadi tugas utama disamping fungsi penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM baik berkategori ringan maupun berat.
Sayangnya, jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, periode 2012-2017 Komnas HAM kinerjanya semakin menurun dan kiprahnya semakin tak terasa. Bukan soal legitimasi hukum, tetapi lebih pada legitimasi sosial terhadap peran dan kinerja Komnas HAM yang tidak maksimal dalam perjuangan HAM.
Kisruh sejak awal periode soal rebutan jabatan dan fasilitas Negara, respon atas kasus HAM yang lamban, silang pendapat dan kepentingan antar anggota, serta konsistensi dan pemahaman HAM yang meragukan membuat lembaga ini lebih sibuk mengurus internal dibanding menyelesaian kasus HAM.
Kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu, nyaris tak terdengar disuarakan pada periode ini, padahal Jokowi-JK membuka ruang melalui konsep Nawacita dan visi misinya untuk ditindak-lanjuti dan diberi input soal penanganan dan penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Pertemuan Komnas HAM dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada 9 Desember 2016 menjelang hari HAM sedunia sekedar lips service tanpa konsep dan pola penyelesaian kasus-kasus HAM. Seharusnya, Komnas HAM berani menawarkan konsep penyelesaian serta membangun komitmen bersama untuk mengawal kasus-kasus tersebut hingga masuk ke sidang pengadilan.
Saat ini, telah dibentuk Pansel untuk menjaring calon komisioner baru mengganti komisioner saat ini. Jadwal pendaftaran dibuka sejak 22 Desember 2016 dan ditutup pada 22 Februari 2017. Pendaftar baru dua orang membuat Pansel kelimpungan mencari peminat calon komisioner Komnas HAM (24/1), Pansel akhirnya harus jemput bola dan meminta masukan dari pelbagai pihak, tokoh dan aktivis HAM agar mendaftarkan diri.
Potret kelesuan pendaftar calon komisioner Komnas HAM bukan karena para pegiat dan pejuang HAM berkurang, tetapi lebih pada citra Komnas HAM yang dianggap tumpul memperjuangan HAM dan keriuhan didalamnya. Sementara ditempat lain, para aktivis HAM membentuk lembaga perjuangan baru dan menyuarakan HAM secara lantang, padu dan konsisten.
Kondisi Komnas HAM sekarang, boleh saja diduga sengaja diciptakan agar kasus-kasus masa lalu tak lagi diurus, itu berarti Komnas HAM telah disusupi orang-orang yang memiliki kepentingan politik dan melemahkan dari dalam hingga pertengkaran hebat sesama komisoner tak terhindarkan.
Lebih memiriskan, senin lalu (30/1), Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat “menggadaikan” Komnas HAM bersekongkol dengan penguasa menyelesaikan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) diselesaikan secara non-judisial, padahal hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti menyimpulkan memenuhi bukti-bukti awal sebagai pelanggaran HAM berat.
Keluarga korban TSS tentu akan melakukan protes keras atas pernyataan Komnas HAM yang sangat melukai hati korban dan keluarganya yang selama 10 tahun dengan aksi kamisan menuntut keadilan dan para terduga pelaku segera dibawa ke ruang pengadilan. Bukan soal Kejagung tidak kooperatfi, tapi apakah Presiden Jokowi mau memenuhi janji politiknya atau lebih memilih para penikmat impunitas yang mengelilinginya sekarang ini.
Komnas HAM jika ingin dilirik, harus kembali ke Khittahnya sebagai lembaga perjuangan HAM dan pembelaan HAM sejati. Bukan lembaga akomodasi kepentingan kelompok masyarakat atau ormas yang akan didudukan didalamnya, sementara komitmen dan konsistensi penegakan dan perjuangan HAM-nya meragukan.
Janji Politik Nawacita
Salah satu Nawacita Jokowi-JK adalah melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam visi-misi Jokowi-JK sebaga calon Presiden dan Wakil Presiden pada pilpres 2014 dinyatakan bahwa, “…akan menyelesaiakan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965”.
Keterpilihan Jokowi-JK, tidak bisa dilepaskan dari janji politik yang tertuang dalam visi misi terkait dengan penuntasan pelanggaran HAM sehingga para pegiat dan pembela HAM pun juga memberi dukungan politik pada pilpres lalu.
Dalam pandangan saya, salah satu kegagalan penegakan hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yaitu adanya orang-orang tertentu yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dimasa lampau ikut serta dalam jajaran elit pemerintahan dan pengambilan keputusan politik negara.
Hal ini tentu sangat paradoks, siapa akan menghukum siapa, siapa bertanggung jawab apa, dan semakin melanggengkan impunitas sementara disisi lain mengaku Negara hukum.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat tak memerlukan lagi simposium atau seminar-seminar karena hasil penyelidikan kasus tersebut sudah dilakukan Komnas HAM. Sekarang, yang butuhkan adalah ketegasan dan komitmen Jokowi-JK untuk menuntaskannya dengan memerintahkan kepada Jaksa Agung agar segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM.
Bolak-balik berkas kasus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung hanya disebabkan ketidak-mauan (unwilling) politik pemerintah dan kurangnya komitmen dalam penuntasan pelanggaran HAM berat. Bukan soal prosedur dan formil hukum yang selama ini menjadi alasan Kejaksaan Agung, tetapi ketegasan dan kemaun politik pemegang kekuasaan tertinggi yaitu Presiden.
Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat baik melalui mekanisme judisial maupun non-judisial serta mengakhiri praktik impunitas.
Pemerintah harus mencegah terulangnya pelanggaran HAM dengan memperkuat peran kelembagaan HAM khususnya Komnas HAM melalui revisi UU, serta menjadikan HAM sebagai panduan utama dalam pemerintahan dan penegakan hukum, khususnya bagi alat-alat kekerasan Negara, TNI dan Polri.
Your comment?