Ziarah Sunyi ke Makam Ramli
“tak boleh lagi kembali ke jalan senyap
setengah abad yang bisu
sudah lebih lampaui waktu”
[Jalan Senyap, dari Antologi Puisi “Kayusula”, Aris Panji Ws; 2017]
Saat masih berada di bandara Soetta, kami diberitahu bahwa kalau sudah sampai di Kualanamu Medan, tim investigasi YPKP 65 akan dijemput oleh rombongan keluarga korban 65 di sana. Adi Rukun akan ada dalam rombongan yang menyambut itu. Kami senang mendengarnya, karena adik kandung Ramli yang jadi korban pada pembantaian massal 1965 oleh Orba itu kini dalam baik-baik saja.
Di mata kami, Adi Rukun adalah pemuda pemberani. Film dokumenter The Look of Silence besutan sutradara Joshua Oppenheimer cukup wutuh menjelaskan hal besar yang usai dilakukannya. Adi Rukun menyibak sendiri tabir beku yang membelenggu kisah tragedi abangnya yang merupakan bagian dari tragedi bangsanya. Keberaniannya menemui para pembunuh yang menghabisi hidup abangnya dan mengorek pengakuan langsung algojo Orba memang amat layak diapresiasi.
Itu sebabnya film bergenre dokumenter ini menyabet award di berbagai negara. Termasuk 5 awards sekaligus pada Festival Venesia Italy. Setelah cukup lama tak mengetahui kabar beritanya, kami diberitahu bahwa Adi Rukun tetap di Medan dan menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Sedikit gangguan penerbangan saat pesawat memasuki zona dengan cuaca buruk dan badai awan tak memanjangkan waktu tempuh lebih dari 2 jam 20 menit jalur angkasa ke Medan dari Jakarta. Kami tiba di Kualanamu untuk segera merasai gerahnya udara siang itu dan benar, Adi Rukun ada diantara rombongan korban dan relawan yang menjemput di luar pintu kedatangan.
Sugeng Rawuh di Desa Kolam
Kijang tua bercat kelabu coklat tanpa pendingin, penuh dengan muatan manusia di seluruh bagian kabinnya, meninggalkan bandara Kualanamu dan meluncur melewati terik tengah hari ke Desa Kolam. Adi Rukun ada diantara 4 penjemput lain di kabin belakang. Kami berkomunikasi melalui ponsel untuk memastikan tak keliru arah menuju desa merah. Dan mendapat kabar bahwa belasan korban penyintas tragedi 65 Desa Kolam itu telah menunggu di sana.
Kesima pertama begitu memasuki desa yang pernah “dibumihanguskan” rejim Orba di masa mengawali kediktatoran militer, adalah tulisan pada gapura yang menandai gerbang masuk Desa Kolam di Deli Serdang.
“Sugeng Rawoh.. Desa Kolam”, bunyi tulisan itu.
Namun kami terus saja melintasinya meski tak bisa menyembunyikan rasa penasaran. Baru lah pak Herman dan para tetua penjemput kami beri penjelasan cukup. Hampir seluruh penduduk Desa Kolam yang jadi korban tragedi kemanusiaan 65 itu memang warga keturunan Jawa, yang didatangkan pemerintah kolonial ke basis-basis perkebunan Sumatera.
Secara umum migrasi tenaga produktif ini merupakan sumber daya yang dimobilisasi guna menghidupkan bisnis korporasi perkebunan kolonial, dan lazim disebut sebagai Koeli Kontrak. Mobilisasi petani Jawa terutama ke seputar wilayah Deli Serdang terjadi antara tahun 1930-1935 dan masa setelahnya. Para Koeli Kontrak ini oleh berbagai sebab tak kembali ke tanah kelahiran dan bahkan hingga beranak-pinak melahirkan anak-anak Jawadeli yang secara umum dibilang Pujakesuma (Putra Jawa kelahiran Sumatera)
Pada masa lalu Deli Serdang memang dikenal sebagai penghasil tembakau terbaik, selain komoditas lain seperti kopi, juga dikenal sebagai basis perkebunan karet dan kelapa sawit.
Makam Ramli di Hutan Sawit
Sepanjang perjalanan nyaris tak putus melihat jajaran sawit di tepinya, bahkan saat masuk lebih ke dalam, melintasi desa-desa dimana banyak warga penduduknya adalah “jawadeli” (keturunan Jawa kelahiran Deli) atau Pujakesuma. Juga saat tim memasuki Desa Mata Pao di bilangan Teluk Mengkudu wilayah Serdang Bedagai Sumatera Utara. Jalan sunyi bergelombang tanpa lapisan aspal memaksa mobil Adi Rukun yang kami tumpangi merangkak pelan.
Di kanan kiri adalah bentangan kebun sawit yang luasnya mencapai 37.800 hektare, terpetak dalam blok-blok yang dibatasi jalan tanah. Sepanjang 2 Km pertama merupakan zona “replanting” sawit yang entah untuk ke berapa kalinya hutan sawit ini diremajakan, seiring pembaharuan HGU perkebunan pt. Socfindo; korporasi asal Belgia yang memulai investasinya pasca 1965. Penguasaan lahan begini luas hingga mencapai puluhan ribu hektar jelas bukan tanpa konflik agraria sejak awal penetrasi kapitalnya.
Socfindo adalah salah satu korporasi perkebunan multi-nasional, selain pt Losum (London Sumatra) yang lebih dulu memekarkan sayap bisnis perkebunan sawit Sumatera. Yang terakhir ini lebih dikenal karena konflik agraria era 1960-an. Sebelum meletus Tragedi 1965 lahan perkebunan, terutama di Serdang Bedagai itu sudah dikuasai keluarga petani[1]. Namun pasca G30S dimana operasi militer gencar dilancarkan atas nama pembasmian PKI, pemerintah mendatangi desa sebagaimana kasus Sei Rampah, dan merazia serta menyita seluruh dokumen yang dimiliki petani penggarap, termasuk sertifikat dan surat keterangan kepemilikan tanah lainnya. Ada ratusan surat akte tanah hilang.
Atas nama pemberangusan PKI itu juga diikuti perampasan asset-asset petani dan bagi siapa pun yang menentang pemberangusan itu akan distigma sebagai komunis yang berarti petaka melanda. Lalu tahun 2012, para petani mengajukan berkas surat-surat kepemilikan lahan perkebunan. Berkas sudah serahkan ke Kepala Desa Sei Rampah, termasuk surat ahli waris. Kepala desa mengeluarkan surat keterangan baru kepemilikan lahan seluas 44 hektar itu sebagiannya.[2]
“Namun hidup kami terus diusik. Ancaman, perusakan tanaman dan rumah terus terjadi. Polisi diam dan menutup mata. Kemana kami mencari keadilan?”, kisah saksi pejuang agraria mengenang.
Itu kisah masa lalu, memang, tapi kasus [perampasan asset_Red] ini menjelaskan fakta lapangan akan adanya kepentingan kekuasaan yang menunggangi genosida politik dalam Tragedi 1965. Kepentingan politik penguasaan semua asset dan sumberdaya oleh klas pemodal, dengan bilamana perlu, penggunaan kekerasan bersenjata sebagai mesin pembunuh massal. Dan itu kenyataan yang terjadi di sana.
Langkah Adi Rukun menapaki jalan tanah berpasir mirip butiran silica di sela pohon sawit tua yang ditanam berjajar dalam formasi yang dalam idiom jawadeli disebut gambir sekerek. Tak ada tandan sawit di sela pangkal pelepah, rupanya replanting belum merambah blok di sini. Sepanjang jalan menuju lokasi pun hanya terlihat 2 tandan ditaruh di tepi jalan menunggu diangkat menuju pabrik pengolahan.
“Ini makam abangku, si Ramli itu..”, tunjuk Adi Rukun dengan suara lirih.
Makam Ramli nampak resik sekali, seperti lewat seberapa waktu baru dibersihkan, entah oleh siapa. Nisannya pun bersih dari debu. Hanya tengara nama mendiang Ramli tertera dalam jejak gravuur yang tipis-tipis saja hurufnya. Dan kami serta-merta berdoa di sisi nisan itu..
Ramli Satu Hari Tiga Siksaan
Di sela ziarah sunyi di makam Ramli, adik kandung mendiang korban kebrutalan persekusi Orba menuturkan kembali kisah tragis abangnya. Adi Rukun, sang adik membongkar sendiri kotak pandora yang mengunci kisah perjalanan tragis di hari terakhir yang menyudahi hidup Ramli di tangan gerombolan komando aksi. Adi bertekad memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang berpuluh-puluh tahun menyelimuti kehidupan para korban. Dan ia menemui satu persatu algojo yang menghabisi abangnya.
Menurut pengakuan pemimpin persekusi yang disebut sebagai komando aksi ketika itu, Ramli sudah dalam keadaan terluka parah setelah penyiksaan pertama yang dilakukan sebelumnya. Usus Ramli terburai keluar melewati perutnya yang bedah; bahu pemuda itu juga terbelah luka.
Komando aksi adalah gerombolan terorganisir terdiri dari para preman dan orang-orang yang direkrut sebagai milisi sipil bayaran. Diakui maupun tidak, di belakangnya tak lain adalah satuan tentara. Ramli diambil dari rumahnya oleh komando aksi ini dan diseret masuk ke dalam jeep Willys yang disiapkan untuk tujuan melaksanakan pembunuhan.
Di dalam kabin Willys itu, untuk kedua kalinya Ramli dieksekusi dengan cara dicincang-cincang menggunakan sajam. Pada saat mana para perperator mengira Ramli telah mati, lalu jasad diamnya dibawa untuk dibuang ke sungai dekat tepekong menuju arah ke Tebingtinggi kota[3].
“Semula jasad Ramli akan dibuang ke Sei Ular, seperti teman-teman Ramli lainnya”, tutur Adi menirukan pengakuan algojo pembunuh abang kandungnya. “Tetapi keburu siang, mereka khawatir orang banyak akan melihatnya”, sambungnya. Akhirnya diputuskan jasad Ramli dibuang di sungai terdekat di tepekong itu.
Ternyata Ramli belum ketemu ajalnya saat tubuhnya tercebur air yang berarus. Pada sekira jam 8 pagi itu, dengan sisa tenaga yang ada dia berusaha keluar dari badan sungai. Ramli menepi dan dengan cara merangkak-rangkak untuk bisa mencapai tepian. Sialnya, masih ada beberapa orang lainnya dari komando aksi menunggui di sana.
Kembali Ramli ditangkap. Kali ini, masih menggunakan jeep Willys yang sama; ia dibawa menyingkir memasuki hutan kebun sawit. Di areal perkebunan sawit yang sunyi inilah, Ramli dieksekusi terakhir kali dengan cara dipotong habis alat vitalnya.
Ramli tewas setelah melampaui 3 kali siksaan berat di hari terakhirnya. Dan di hutan sawit itu pula jasadnya dikuburkan…
____
Your comment?