Ziarah Makam Mendiang Asmoe [1]
Praktik #Genosida1965_66 pasca Gestok yang dengan cepat merambat ke daerah –terutama- Jawa Tengah, bukan lah cerita hitam-putih dari mereka yang kalah. Ini bukan perkara kalah menang berpolitik, yang oleh beberapa fihak disebut sebagai resiko ikutannya. Karena apa? Karena berdemokrasi, yang paling elektoral sekalipun, itu bukan semata berhitung capaian kalah-menang. Tetapi ada aspek moralitas yang menilai bagaimana dan dengan cara apa semuanya diraih.
Tabir Genosida 1965 yang belakangan makin terkuak oleh banyak penelitian ilmiah sebagai kudeta militer1 adalah praktik pembasmian massal yang terbukti merupakan kejahatan kemanusiaan yang dirancang dan dilaksanakan untuk menghabisi kekuatan politik tertentu. Rupanya sinyalemen seperti ini pun, bagi kalangan yang dekat dengan kekuasaan telah diprediksi bakal terjadi.
Dua hari sebelum G30S meletus, beberapa tokoh penting gerakan tani nasional kala itu pergi keluar meninggalkan ibukota. Kisah menghilangnya Asmoe (baca: Asmu_Red) Tjiptodarsono dalam konteks waktu, baru diketahui jauh setelah peristiwanya sendiri terlewatkan. Begitu pun tokoh sektoral penting lainnya, seperti MS Thaib.
Di makam desa Kuntji Sidareja Cilacap barat laut, setelah melampaui beberapa dasawarsa, barulah didapati kubur yang berisi 3 kerangka jenazah orang penting dalam sejarah bangsa. Ketiga jenazah yang tinggal belulang ini adalah mantan lurah Sana (Kades Kunci, Sidareja) dan Letnan M. Chaeri (dipanggil Heri), seorang Bintara Onder Distrik Militer (BODM) setingkat Koramil di Sidareja.
Sedangkan orang ketiga yang kerangka jenazahnya berada dalam kubur yang sama, diyakini sebagai jasad mendiang Asmoe TD, sang Ketua Umum BTI (Barisan Tani Indonesia) yang dibantai berbarengan dengan kedua kolega pergerakannya. Ketiganya dibunuh tanpa proses hukum oleh rezim jagal orba pada akhir November 1965.
Kisah belasan tahun lampau seputar temuan awal dari kuburan ketiga tokoh penting ini tak mudah diketahui, karena semua narasi yang tak sejalan dengan selera kuasa fasisme orba; memang disenyapkan dengan stigma. Tetapi kebenaran itu, cepat atau lambat, akan selalu menemukan jalan sejarah dan cara bertuturnya sendiri; di kemudian hari.
Sedangkan di tempat lama, di liang kubur dekat perbatasan desa Karangreja Majenang; selama berpuluh-puluh tahun makam yang berisi ketiga tokoh penting ini dijaga keberadaannya oleh kearifan setempat. Ada beberapa cerita tutur warga kampung yang turut menguatkan keberadaannya.
Bahkan, ketika keluarga bermaksud memboyong isi makam untuk dikubur kembali di tempat yang baru di makam Kuntji Sidareja; beberapa warga berkeberatan dan memohon agar makam yang berisi ketiga kerangka jenazah itu tak usah diexhumasi. Keberadaannya telah menempati bagian khusus dari sejarah kampung lama itu.
Di kawasan yang berdekatan dengan perbatasan sisi barat Jawa Tengah ini memang didapati beberapa lokasi pembantaian dan kuburan massal orang-orang yang oleh teori demokrasi elektoral disebut sebagai yang “kalah percaturan” dalam sejarah. Faktanya, di kawasan ini didapati berbagai kasus perampasan asset agraria pasca Gestok 1965.2
Perjalanan 2 jam dari Banyumas ke Sidareja sendiri pun melewati kawasan Lumbir yang dikenal adanya Gunung Sengkala, perbukitan dengan lereng dan jurang yang menyimpan kisah horor tentang pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituding komunis pada masa itu. Kisah mayat-mayat yang terserak begitu saja di kanan-kiri jalan serta kelokan, menjadi cerita dari mulut ke mulut seusai pembantaian.
***
Pembunuhan terjadi dimana-mana
Senin, 8 November 1965 ketiga orang yang berkawan masih bisa ditemui di perbatasan antara desa Karanggedang di Sidareja dengan desa Sidadap Majenang. Ketiganya baru berpindah secara diam-diam dari “kampung merah” desa Penyarang. Lurah Sana pejabat lurah desa Kunci, Kapten Chaeri (populer dipanggil pak Heri_Red) dan Asmu yang kurang dikenali jatidirinya di kampung itu. Bahkan oleh kaum tani yang merupakan penduduk mayoritas perdesaan di wilayah Sidareja dan Majenang.
Juga saat ketiga orang ini harus tinggal di kampung lain, desa Karangreja. Oleh memburuknya situasi, mereka dipaksa harus ekstra hati-hati, operasi Gestok 1965 yang dilancarkan tentara telah mulai memakan korbannya; penduduk kampung merah.
Sehari sebelumnya di desa Penyarang, Aliredja dibunuh sekelompok orang yang eksekutornya berada diantara gerombolan ini dan bersenjata api. Alireja dibunuh dengan cara ditembak tanpa ada perlawanan apalagi pengadilan. Kejadiannya berlangsung amat cepat pada Minggu 7 November 1965 pagi hari, saat pemilik nama kecil Sarta ini buang air kecil di sisi rumah yang ditinggali bersama istri dan kelima anaknya.
Istrinya, Yu Nok, janda pejuang yang dinikahinya pada 1948 hanya bisa memandangi kepergian gerombolan pembunuh sang suami yang ngeloyor ke selatan, menuju kecamatan. Sejurus kemudian nyawa lelaki kelahiran 1929 ini tak tertolong lagi. Ketua BTI desa Penyarang yang tak pernah tahu apalagi terlibat makar ini pun tewas di rumahnya dan dikuburkan di makam desa.
Pada masa yang sama, kepala desa Penyarang, Harjo Suparto juga tewas dengan cara yang sama; dieksekusi tanpa proses pengadilan. Perburuan dan pembunuhan orang saat itu memang telah meluas terjadi di berbagai desa.
Pasca Gestok 1965 diketahui warga desa Penyarang yang hilang dan yang diketahui ditembak mati di desa itu berjumlah 17 orang. Alireja dan Harjo Suparto termasuk 2 orang diantaranya yang dieksekusi di hutan jati tak jauh dari perbatasan desa.
***
Sejak 28 September 1965, Asmoe meninggalkan Jakarta. Dia menuju Jawa Tengah dan memilih tinggal di desa Penyarang. Meski kurang dikenal di kampung Majenang itu, ini semua memang disengaja karena kali ini misinya berbeda. Agar selain hanya sedikit diketahui hanya sebatas orang yang datang dari Jakarta, juga agar bisa mengamankan keberadaannya.
Selain itu juga agar tak terlampau jauh dari sanatorium Baturaden, bumi kelahiran dan tempat kontrol kesehatannya.
Satu-satunya orang yang paling mengetahui keberadaannya adalah D.A. Santoso; kolega dekat yang menjabat bupati Cilacap periode 1959-1965.
Kedekatan Asmoe dengan Bupati Cilacap itu lantaran peran Ketua BTI Alireja yang mengundangnya saat peresmian gedung Sekolah Rakyat Penyarang yang pertama dibangun di kabupaten Cilacap pada era post-kolonial.
Asmoe tak mengetahui apa yang terjadi pada 30 September 1965, yang disebut-sebut sebagai gerakan kudeta G30S, meski kejadian penculikan dan pembunuhan 7 perwira TNI itu sebenarnya terjadi pada 1 Oktober lepas dinihari. Hanya butuh jeda sehari untuk mengumumkan hasil penyelidikan yang mengalamatkan semua tudingan makar kepada PKI sebagai pelaku tunggal.
Sejak itu lah petinggi, anggota, pendukung dan simpatisan partai ini diburu.
Operasi perburuan anggota dan simpatisan PKI di Cilacap, menyasar Jawa Tengah sebagai alamat pertama. Daerah perbatasan seperti Cirebon, Kuningan, Brebes, Bumiayu, Majenang, Sidareja; Cilacap Barat dan Banyumas menjadi daerah operasi pertama.
Operasi militer dimulai dengan membentuk komando pasukan gabungan untuk operasi penumpasan PKI, dengan terlebih dulu melakukan perekrutan warga sipil atau ormas seperti NU, Ansor dan Banser, Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan sejumlah ormas lain.
Untuk wilayah Cilacap Barat, ditunjuklah Rubidi Mangunsudarmo –yang meski tak berlatar tentara- tapi ia kader PNI dan menguasai medan; menjadi Wakil Komandan Pasukan Gabungan Operasi Penumpasan Gerombolan PKI di Kawasan Cilacap Barat. Paramiliter rekrutan ini pun dilatih dan dipersenjatai.3
___
1 https://tirto.id/g30smiliter-bagaimana-soeharto-mendalangi-pembantaian-1965-cSAq diakses 1 Oktober 2019
2 Lihat
3 Lihat https://ypkp1965.org/blog/2016/10/10/saga-rubidi-mangun-sudarmo-orang-pejagan-protes-beli-ikan-tapi-di-dalam-perut-ada-jari/
Leave a Reply
#Popular in this month
Popular
-
1Wawancara Dengan Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen : Soeharto Memang PKI!
-
2Surat dari Adi Rukun
-
3Catatan Rahasia Sebelum Munculnya G30S [Secret]
-
4Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM Tentang Peristiwa 1965 – 1966
-
5Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan
-
6Bedjo Untung: “Masalahnya di Jaksa Agung”
-
7Rocky Gerung: “Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada”
-
8Bedjo Untung di Forum HAM Asia
-
9Commemoration of the “Orba” Prison in Tangerang*
-
10Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peristiwa Madiun
-
Korban pembersihan anti-komunis Indonesia memenang...
Bedjo Untung memenangkan pengakuan di Korea Selatan untuk pencarian... read more »
-
Afro-Asiaisme di Akademi Indonesia
Wildan Sena Utama | 10 Februari Empat tahun lalu, Carolien Stolte... read more »
-
Komitmen penegakan hukum dan HAM dipertanyakan
Temuan 346 lokasi kuburan massal korban tragedi 1965-66 dilaporkan YPKP... read more »
-
Seputar Proklamasi Kemerdekaan Kita
Kesaksian Soemarsono “…Ada cerita tentang Proklamasi... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [3]
Oleh: Andreas JW Gagal Menyelamatkan Bung Amir Di tengah-tengah kerja... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [1]
Oleh: Andreas JW Mengenal Alimin Kira-kira awal 1946, pimpinan Jawatan... read more »
-
Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peris...
Oleh: Martin L Dinihari 19 September 1948, Brigade 29 yang... read more »
-
Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
Nur Janti | 21 Aperil 2018; 14.00 wib Para perempuan Yogyakarta... read more »
Your comment?