Pelarian di Hutan Pegunungan Meratus | Bagian Pertama

Oleh: Misbach Tamrin |
Di atas ketinggian punggung salah satu tebing pegunungan Meratus yang melandai ini, saya duduk bersendiri, sambil menatap pandang yang jauh. Angin berhembus perlahan, menggoyang dedaunan semak di sisi saya. Lima orang kawan bersama saya sedang merebahkan diri, masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Di kejauhan, sepanjang anatomi tubuh pegunungan yang tampak seolah menggelinjang bagai seorang ibu sedang terbaring menyusui anaknya. Dengan warna kebiruan yang melangut, samar-samar tepian gelombang garis diatasnya, seakan sedang bercumbu berkecupan dengan awan-awan putih yang berarak.
Saya menghela nafas dengan hirupan udara yang terasa masih segar di sore itu. “Kenapa, kini kami berada disini?”, seakan berbisik dengan perlahan suara pertanyaan mengetuk pikiran dalam benak saya. Di kawasan sebuah hutan pedalaman Hulu Sungai Utara, bagian daerah Kalsel. Mungkin ini salah satu hutan perawan, tak pernah terjamah orang lain sebelumnya. Kami menyusup kemari, tak peduli melalui di antara belukar belantara bersemak onak dan duri.
Selama sudah beberapa hari, kami menjelajahi hutan ini. Hanya karena untuk menghindari penangkapan dari aparat penguasa. Masuk hutan belantara yang tak bisa ditandai dalam peta di atlas. Tapi kami sadar, ini berarti, bahwa kami sudah berada dalam status pelarian politik lokal. Kami mengira mereka pasti mencari dan memburu. Ketika mereka tahu kami telah menghilang dari rumah dimana kami tinggal. Berapa orang kawan-kawan kami yang sudah masuk tahanan, dalam istilah penguasa “diamankan”. Kami tak tahu persis…
Matahari sore semakin turun condong ke barat. Dari sini, memang menganga ruang terbuka, sehingga pemandangan masih cukup terang. Walaupun di sekitar kami tinggal, sebuah gua yang terlindung pohon dan semak, kian dinaungi bayang kegelapan.
Selama dalam perjalanan pelarian. Merambah jalan-jalan setapak yang kebanyakan sudah kabur ditutupi semak. Kami berupaya menghindari berpapasan dengan orang atau siapapun. Masing-masing tampilan sosok kami disamarkan dengan kamuflase selaku kaum tani. Kebetulan di antara kelompok kami, terdapat petani beneran yang sedikit tahu tentang lingkungan hutan disini.
Saya teringat akan Jum’at pagi, 1 Oktober 1965. Ketika saya kebetulan bertugas memonitor setiap warta berita nasional dari Jakarta, di kantor penerbitan harian “Gelora Trisakti” di Banjarmasin. Dari sanalah tersiarnya berita kejutan yang cukup mengagetkan saya. Berarti, suatu cetusan kabar yang menjadi biang sebab dari pelbagai akibat yang terjadi kemudian. Termasuk sebagai jawaban yang paling jitu atas pertanyaan : “Kenapa kami sekarang harus berada disini?”
Ledakan berita yang begitu menghangatkan dan mengguncangkan pagi Jum’at yang masih dingin itu, puncaknya berbunyi : “Komandan Tjakrabirawa Letkol Untung telah berhasil menyelamatkan Revolusi Indonesia dan Presiden Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal”. Tampaknya sebagai kabar yang maju alias progresif revolusioner. Tapi naluri saya terasa digelayuti harap-harap cemas.
Jika ini suatu pertanda perubahan kekuasaan ke arah semakin kiri. Koq, saya merasa tidak yakin dan percaya. Walaupun sebelumnya situasi politik memang semakin memanas. Tapi dadakan berita yang tersiar di pagi hari itu, benar-benar di luar prediksi kami. Sehingga seharian Jum’at itu, disamping terus memonitor situasi. Kami sibuk membenahi sesuatunya untuk menghadapi keadaan darurat yang pasti akan semakin gawat.
Ketika sekitar tengah hari, kami mendengar lewat radio, bahwa Dewan Revolusi telah terbentuk. Terdiri dari tokoh-tokoh militer dan sipil. Ditambah dengan pengumuman kenaikan dan penurunan pangkat militer. Sampai malam sekitar jam 21.00 WIB terjadi perubahan drastis. Jenderal Suharto tampil lewat RRI mengumumkan, bahwa melalui komando tangannya, Angkatan Darat (AD) telah kembali memegang kendali kekuasaan. Serta telah memberitahukan tentang terjadinya penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh oknum kelompok pimpinan Untung.
Hari sudah semakin gelap. Matahari senja kian turun merendah, seakan bersiap melindungkan diri di balik punggung pegunungan Meratus.
Beberapa teman ada yang secara merayap menuruni jalan setapak menuju ke bawah. Di antara batu-batu cadas yang kami anggap selaku tangga untuk mencapai sungai kecil yang tak jauh dari gua tempat kami menyembunyikan diri dengan aman.
Di sana mereka mandi seadanya, sambil mengambil air wudhu. Mungkin selama ini, mereka tak selalu taat menunaikan sholat lima waktu, karena kesibukan kerja yang sangat rutin. Tapi, di sini, di tengah hutan dalam sebuah gua yang cukup seram ini. Njali mereka berubah menjadi surut hampir mendekati titik nol. Kembali menyerahkan diri untuk bersandar kepada kekuatan “Yang Maha Kuasa”. Selaku pelindung dari segala ancaman bahaya.
Dan matahari harapan yang masih bisa mereka usung untuk mempertaruhkan nasib hidup tersisa kedepan. tenggelam di balik saat-saat magrib…
***
Your comment?