Kekerasan Pasca Gestok 65: Dari Politik Kepada Seks
Pengantar Redaksi:
Ada pomeo muncul dari diskusi para peneliti, sejarawan muda dan aktivis HAM yang fokus berupaya menyingkap tabir kelam Tragedi 65 Indonesia. Bahwa “kekuasaan itu tak lain merupakan konstruksi politik yang dibangun di atas kuburan”. Boleh jadi, pomeo ini lebih mendekati kebenaran daripada kebohongan sejarah manipulatif yang diwariskan rezim Orba pada masa kejumawaannya.
Bukan saja karena makin banyak ditemukan bukti-bukti kuburan massal orang-orang yang dituding PKI dan difitnah memberontak, lalu dibunuhi dengan cara-cara brutal tak masuk akal di luar prosedur pengadilan.
Berikut ini memang bukan hasil penelitian para ahli. Tetapi murni penuturan dari korbannya sendiri. Redaksi sangat memahami betapa sulitnya bertutur tentang peristiwa yang dilakoninya. Tetapi sepahit apa pun, realitas “iqra” seperti ini, realitas kekerasan Gestok 65, terutama pada kurun Oktober-November-Desember 1965; dan masa-masa setelahnya memang harus dibaca..
***
Di Pemalang dan Pekalongan, yang namanya Geger Gestok 65 tidak hanya berupa penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan Tapol saja. Perampasan milik, pembunuhan dan pembuangan manusia semen-mena terjadi juga seperti banyak daerah lainnya. Pihak militer dalam satu operasi pembasmian anti komunis ini, makin terkuak kebrutalannya karena fakta membuktikan bahwa yang ditangkap, dijebloskan penjara, dibuang di pengasingan; bukan Cuma orang PKI. Tapi pendukung politik Soekarno yang menentang imperialisme Barat juga jadi korban. Hasil penyelidikan projusticia Komnas HAM pada tahun 2012 pun telah menyatakan bahwa tentara melakukan pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965.
Apes bagi ibu-ibu yang suaminya jadi ditapolkan, ditahan di penjara terkena pula getahnya. Dan bahkan gadis-gadis remaja mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh aparatus militer; seperti perkosaan, kekerasan dan pelecehan seksual lainnya. Ada pula yang ditelanjangi dengan dalih mencari gambar Paluarit yang konon ada diterakan di seputar kemaluan.
Masa itu banyak pula para gadis remaja aktif dalam kegiatan kesenian di organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) ikut menjadi korban perkosaan. Padahal, dalam kaitan konstelasi politik elit, mereka tidak tahu-menahu; selain hanya belajar menari, menyanyi lagu-lagu rakyat serta adab berkesenian lainnya.
Bertutur 40 Bidadari Pemalang
Oktober 1965 menurut penuturan seorang gadis remaja –namanya disamarkan- Warti (waktu itu berumur 17 tahun) adalah awal masa kehancuran kaum perempuan daerahnya. Gadis manis dari desa Bukur, Bojong, Pekalongan; setiap malam dijemput oleh aparat dan dibawa paksa ke tempat tertentu dengan mata tertutup. Di lokasi itu kemudian diperkosa oleh 4-5 tentara secara bergiliran. Melawan dan meronta sekuat apa pun pada akhirnya tak berdaya. meskipun kesakitan; terlebih karena diancam akan dimasukkan sel penjara.
Korban Warti ini juga mendengar rintihan kesakitan suara gadis lain dari ruang yang berbeda, sehingga bukan tidak mungkin gadis itu juga sama nasibnya; diperkosa di ruangan sebelah. Kejadian perkosaan seperti ini dialami Warti hingga sekitar 2 bulan lamanya.
Gadis lain yang menjadi korban kebiadaban nafsu seperti ini adalah Wartini (15 tahun), juga bukan nama sebenarnya; asal desa Karangtalok Ampelgading, Pemalang. Selama sepekan gadis Wartini diperkosa 4 oknum secara bergiliran pula; bahkan ini semua justru terjadi di dalam rumah orangtuanya. Lebih menyakitkan lagi, setelah sepekan kejadian berulang tiap hari; Wartini dijebloskan sel penjara Pemalang.
Perkosaan berhenti setelah gadis Wartini masuk sel penjara? Tidak. Kembang desa Karangtalok ini dikeluarkan dari sel tiap malam, tetapi masih untuk diperkosa bergiliran oleh petugas penjara di sebuah ruangan Lapas; kemudian dijebloskan lagi ke dalam sel. Perlakuan seperti ini berlangsung berulang-ulang selama 2 tahun Wartini dipenjara tanpa proses hukum, sebelum kemudian dibebaskan.
Masih ada gadis desa Karangtalok lainnya yang mengalami “nasib” sama. Namanya Wartinah (disamarkan); umur 20 tahun. Mengalami perkosaan pertama oleh 5 orang petugas, 3 diantaranya bahkan membawa senjata. Perkosaan terjadi di rumah Wartinah sendiri, sekitar jam 14-an; dibawah ancaman tembak jika menolak. Sakit? Tentu tak terbayangkan. Lebih sakit lagi karena kejadian ini berulang pula hingga 2 bulan lamanya.
Seorang gadis molek lainnya berasal dari pedukuhan Kepuh, bagian desa Wonogiri, Ampelgading, Pemalang. Namanya Wartiningsih (21 tahun), juga disamarkan namanya. Nasibnya sama, diperkosa bergiliran, di rumah korban. Pelakunya 3 orang petugas, kadang lebih dari sekali tiap-tiap datang; selama sekitar 2 bulan.
Gadis lainnya Wartiningrum (bukan nama asli) berusia 20 tahun masa itu. Satu pedukuhan dengan Wartiningsih; Kepuh, Wonogiri, Ampelgading Pemalang. Pelakunya 4 orang, juga dengan ancaman akan dibunuh jika menolak. Berulang-ulang pula selama 2 bulan lamanya, prakiraan waktunya juga sama; sekitar jam 14-an siang bahkan hampir setiap hari perkosaan dilakukan di rumahnya. Tak putus sebagai korban perkosaan, masih dikenai “wajib lapor” ke Puterpra (Koramil). Ditambah keharusan kerjapaksa tanpa upah selama 6 bulan masa “wajib lapor” itu.
Begitu banyakkah perempuan menjadi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya? Ternyata ini hanya sebagian kecil dan hanya dari tuturan langsung korban sendiri yang mulai mau terbuka menceritakan “aib” di Pemalang dan Pekalongan pada sekitar tahun 1965-1966. Perwakilan YPKP 65 sendiri mencatat setidaknya ada 40-an perempuan jadi korban kekerasan seksual pasca Gestok 65; itu hanya untuk Kecamatan Ampelgading saja..
[sdm]
Your comment?