Tragedi 1965 dan Peristiwa Madiun 1948
Oleh: Yunantyo Adi
Pengantar Redaksi:
Wacana rekonsiliasi dalam Simposium Nasional “Bedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” yang diinisiasi pemerintah untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66; telah memunculkan respons luas bahkan cenderung bias. Salah satunya adalah upaya mengait-kaitkan Tragedi 65 dengan Peristiwa 1948, seolah untuk menemukan pijakan legitimasi kenapa Tragedi 65 pun terjadi; dengan segala resiko turunan yang mengekorinya.
Reaksi -mengkorelasikan dua kasus berdeda- demikian lebih mirip merupakan sebuah kepanikan pihak tertentu, terutama dalam hal ini para purnawirawan AD yang pada gilirannya menggelar sebuah “simposiun nasional tandingan”.
Tulisan Yunantyo Adi berikut ini diharapkan dapat membantu melihat lebih obyektif dalam mempelajari sejarah bangsa dan mendudukkan persoalan -yang dibiaskan- itu secara adil; seadil-adilnya
***
Saya sejak awal memang menolak membawa-bawa masalah Peristiwa Madiun 1948 dalam pembicaraan Peristiwa 1965. Saya tidak bermaksud menutupi peristiwa kekejaman-kekejaman yang terjadi pada tahun 1948; sama sekali bukan.
Tetapi begini, kita ini membincang Peristiwa 1965 tanpa Pertistiwa 1948 itu sudah amat sulit, dan membincang Peristiwa 1948 tanpa Peristiwa 1965 itu pun sesungguhnya sudah amat sulit. Pun ruang dan waktu antara kedua peristiwa itu juga terpaut relatif jauh, dengan situasi nasional dan internasional yang lumayan berbeda.
Anda berada di dalam partai apa pun, entah PKI, PSII, Partai Masyumi, PDI, PDIP, Golkar, apapun lah, sepanjang hampir 20 tahun, diri Anda di dalam partai pasti akan mengalami masalah dan posisi internal maupun eksternal yg jauh berlainan.
Yang kita maksud mereka para korban kekerasan tahun 1965-1966, adalah orang2 yang tak tersangkut tindakan kriminal G30S tetap menjadi korban aksi kekerasan alat-alat negara, dan mereka juga bukan pelaku-pelaku kriminal dari kekerasan Madiun 1948. Adalah tidak adil, jika ada warga PKI yang memang pelaku kriminal di tahun 1948; kesalahannya ditimpakan kepada seluruh warga PKI, apalagi kok ditimpakan kepada seluruh warga PKI di tahun 1965-1966.
Menghukum para pelaku kriminal semestinya menghukum pelakunya saja, bukan dengan cara membunuh tikus dalam satu rumah dengan bom.
Apa yang digembar-gemborkan di sini adalah, seakan Peristiwa 1948 itu adalah kejadian warga PKI membunuhi kiai-kiai. Dan itu mau ditarik kesimpulan sebagai pembenar atas kekerasan 1965. Seakan Peristiwa 1948 sesederhana itu, mereka menyuguhkan teks-teks sejarah dengan menutupi usaha-usaha rekonsiliasi antara keluarga-keluarga kiai dengan eks PKI. Juga menutupi kekejaman alat-alat negara dalam membantai warga PKI kala itu, serta menghapuskan pernah adanya penyelesaian Peristiwa 1948 secara negara pada tahun 1949.
Itulah narasi Orde Baru. Dua orang kelahi di jalan saja kita bisa dengar banyak versinya, bagaimana mungkin Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 kita mau-maunya dibodohi hanya boleh mendengar satu versi: versi OrBa dengan purnawirawan TNI AD.
Ada perlakuan tidak adil dalam memberlakukan narasi sejarah di sini, yaitu hanya memberlakukan narasi Orde Baru dalam Peristiwa 1948, untuk menjegal upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi atas Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965-1966.
Ini merupakan cara yang sama di era Orde Baru dulu, narasi 1965 yang disuguhkan ke masyarakat dan generasi penerus adalah narasi Orde Baru hingga sekarang generasi penerus menjadi korban dari narasi itu. Padahal Peristiwa 1948 itu kejadian yang rumit, yang tidak mungkin diambil kesimpulan dari sudut pandang mana pun, kata sejarawan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan”.
Kalau soal kekejaman, jelas kekejaman terhadap warga PKI sebagai pihak yang kalah dalam kasus Madiun 1948 jauh lebih banyak. Kalau mau jujur (baca “Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar Peristiwa Madiun”). Para tawanan yang sudah tak bersenjata dihabisi, diciduk dan dieksekusi malam-malam; tanpa proses hukum!
Tentang kekejaman ini tentulah hal yang rumit. Sebagai contoh, yg dihadirkan adalah monumen-monumen kekejaman warga PKI terhadap lawan-lawan politiknya di Jatim. Tetapi kekejaman terhadap warga PKI (oleh militer dan non-militer) justru mau ditutup-tutupi seakan tidak pernah ada. Kalau pun nampak ada maka dianggap suatu kewajaran setimpal.
Tindakan itu adalah rekayasa pembodohan nasional terhadap generasi muda. Kekejaman terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 tidak dibolehkan dibuat monumen-monumen, misalnya kuburan massal warga PKI di Kabupaten Karanganyar dan lainnya, di penjara-penjara Magelang, Ambarawa dan lainnya, penyiksaan massal di Magetan dan lainnya; karena mereka di pihak yang kalah.
Kuburan-kuburan massal warga PKI yang dibantai pada tahun 1965-66 tak dibolehkan dibuat monumen sejak Orde Baru. Kenapa kekejaman terhadap warga eks PKI ditutup-tutupi?
Penyelenggara Simposium Anti PKI menampilkan foto penggalian kuburan massal dan identifikasi kerangka Amir Sjarifoeddin dkk dan diklaim sebagai foto korban kekejaman PKI. Manipulasi sejarah seperti demikian ini merupakan manipulasi sejarah tradisi OrBa [Broer Martin_red]
Dalam Simposium Nasional “tandingan” yang digelar kalangan Purnawirawan TNI-AD di Balai Kartini (1-2/6/2016) Jakarta baru-baru ini juga tak pernah membahas kekejaman aparat negara terhadap warga PKI dalam kasus Madiun 1948. Tentu saja, yang mereka mereka gembar-gemborkan tentang kekejaman PKInya saja. Semua ini tentu ada tujuannya, dari gembar gembor propaganda itu.
Hal sederhana, foto kekejaman terhadap warga PKI di Magetan dalam Simposium Purnawirawan TNI-AD itu ditampilkan dengan caption foto yang terbalik, seakan itu kekejaman PKI terhadap lawan politiknya. Belakangan diketahui bahwa gambar foto yang diklaim merupakan dokumentasi kekejian PKI di Madiun, ternyata itu foto penggalian kuburan massal identifikasi kerangka Amir Sjarifoeddin dkk.
“Memeriksa foto saja sudah tidak becus, bagaimana mungkin Anda mau menggabungkan pembicaraan kasus 1965 kasus 1948 dalam satu lembaran negara?”
Tangis Roeslan Abdoelghani stelah diminta menyaksikan pembunuhan massal terhadap warga eks PKI dalam kasus Madiun 1948 di sebuah sekolah (Roeslan Abdoelghani Tokoh Segala Zaman, 2002), mau ditutup-tutupi; kenapa?
Fakta sejarah bahwa Panglima Besar Jendral Soedirman setelah menyaksikan sendiri kekejaman dalam pembantaian terhadap warga PKI dalam rentang bulan November 1948 juga mau ditutup-tutupi; kenapa?
Setelah menyaksikan pembantaian terhadap warga PKI itu, di penghujung November 1948 Soedirman pulang ke rumah, ia syok dan mengeluh pada istri, dan menurut anaknya yang bernama Muhammad Teguh Bambang (2012), Soedirman mengalami tekanan batin, habis mandi tergolek lemas, sampai-sampai menjalani perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih (Tim Tempo, Soedirman, Seorang Panglima, Seorang Martir, 2012, hal 26).
Jadi untuk apa Anda para purnawirawan jenderal dan konco-konconya ini menutupi kekejaman terhadap warga PKI dalam kasus Madiun 1948 yang sedemikian kejinya itu?
Kalau soal pemberontakan, katanya PKI memberontak dalam kasus Madiun 1948; Benarkah itu?
Ini juga soal rumit. Kenyataannya sebelum PM Hatta dan Jendral Nasution menyerbu Madiun, Letkol Soeharto sendiri (kelak Presiden RI), melakukan penyelidikan di Madiun atas perintah Jenderal Soedirman, dan ia menyimpulkan PKI tidak memberontak dan tidak ada kekejaman-kekejaman di Madiun (Harry Poeze, Madiun 1848, hal 206).
Pakar militer Prof Salim Said mengungkapkan, Soedirman sendiri menganggap kasus Madiun adalah perkelahian antar laskar yang bisa dilerai. Namun karena perintah Hatta, Soedirman terpaksa ikut menyerbu. Kenapa fakta ini juga mau ditutup-tutupi?
Banyak hal harus diselidiki tentang Peristiwa Madiun 1948. Kita tidak boleh tunduk pada narasi Orde Baru belaka. Apalagi kok mau tunduk pasa narasi buku-buku sekolah pada era Orba karya intelektual murahan itu.
Sekali lagi, membincang Madiun 1948 tanpa membincang kasus 1965, dan membincang masalah 1965 tanpa kasus 1948 adalah sama-sama hal rumit.
Bagaimana mungkin Anda bisa seenak perutnya sendiri mau menggabungkan narasi Madiun 1948 dalam narasi 1965 hanya berdasar narasi purnawirawan militer lulusan Orde Baru itu?
Anda pula yangmengatakan bahwa, kita selalu berurusan dengan PKI, PKI memberontak. Bukan, salah itu.
Bagaimana kalau saya balik begini: bangsa ini menjadi berurusan dengan PKI dan bukan partai lain adalah karena kehendak Amerika dan Inggris, dan faksi TNI tertentu yang menjadi kaki tangan Amerika-Inggris itulah yang selalu menghancurkan PKI dengan cara apa pun ia bisa tempuh. Mau pembuktian? Mari kita sama-sama buktikan keterlibatan agen-agen Amerika-Inggris ini secara jernih, silahkan Saudara kumpulkan sejarawan dan intelektual duduk satu meja dengan Anda, dan kita membicarakan itu. Dalam kasus Madiun 1948, tentu Anda ingat adanya Doktrin Truman sebagai upaya Amerika menghancurkan kaum merah di seluruh dunia. Dalam kasus 1965 Anda tentu ingat Perang Dingin dan permainan CIA dan kanca2 Inggrisnya. Kita di Tanah Air menjadi wayang-wayang yang di adu domba, dan purnawirawan TNI baru saja mempertontonkan diri sebagai domba-domba yang tersesat dengan cara menyelenggarakan simposium. Sudah domba, tersesat pula.
Jadi bagaimana? Jadi saya tetap pada pendapat saya, bahwa pembicaraan soal Madiun 1948 dan Peristiwa 1965 harus dibicarakan secara terpisah. Karena masing-masing mengalami kerumitan-kerumitan sendiri dalam ruang dan waktu serta konteks yg berbeda. Tetapi ada kesamaan memang, semua itu tak lepas dari andil Amerika dan tentara maupun sarjana lulusan-lulusan Barat yang ambil peran dalam usaha-usaha penghancuran persatuan Nasakom. Juga tak lepas dari adu domba agen-agen Barat itu pada rakyat sehingga terjadi konflik horizontal yang meluas, dan adu cepat saling bunuh. Sebagai contoh, anak-anak muda Lakspedam NU dalam penelitian mereka di Blitar menemukan fakta bahwa militer memprovokasi warga kampung NU dengan cara memberi daftar kiai yang seolah mau dibunuh warga PKI, dan kemudian ke kampung warga PKI untuk memberi daftar warga BTI yang seolah mau dibunuh kiai/santri; sehingga terjadi adu cepat saling bunuh. Karena kampung kiai/santri yang diberi daftar lebih dulu, mereka menyerbu duluan ke kampung warga PKI. Hal semacam ini biasa terjadi di tahun 1965-1966, juga biasa terjadi di tahun 1948.
Jangan salah bahwa sejarah mencatat bangsa kita segera move on pascaperistiwa Madiun 1948. Secara kenegaraan parlemen masa itu (KNIP) membahas kasus Madiun 1948, dan disadari telah sama-sama terjadi kekejaman satu sama lain, masing2 yang bertikai jatuh korban dalam jumlah besar dan mengenaskan. Setelah melalui debat alot, parlemen memutuskan untuk bekerja sama kembali dan tidak saling gugat. Pemerintah RI sendiri membuktikan dirinya untuk tidak menggugat terhadap lawannya di Madiun, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 September 1949 yang diteken Menkeh Soesanto Tirtoprodjo.
Sewajarnya, versi perihal Madiun 1948 dibebaskan beredar, bukan malah hanya versi Orba saja yang diedarkan. Di era Soekarno, kata Soemarsono dalam Revolusi Agustus (2008), PKI bebas mengemukakan versinya walau PKI di pihak yang kalah. Nah, kalau kita mau membahas Madiun 1948, mestinya Simposium Purn TNI berani mengemukakan versi PKI, seperti Simposium Nasional Tragedi 1965 tgl 18-19 April 2016 yg mengundang semua elemen (termasuk warga eks PKI maupun TNI dan lain2, persoalan Menhan dan unsur TNI lainnya tak hadir bukan salah panitia).
Peristiwa 1948 telah ada penyelesaian negara. Peristiwa G30S 1965 telah ditangani scr yudisial oleh negara du Mahmilub. Bagaimana dg kekejaman korban 1965 yg bukan pelaku G30S?
Tidaklah pantas membawa-bawa Peristiwa Madiun 1948 dengan versi yang amburadul, untuk kepentingan memprovokasi dan menebar kebencian.
Kita harusnya belajar pada warga NU, anak-anak muda NU, yang move on dan mengajarkan rekonsiliasi kultural atas peristiwa masa lalu; baik di Blitar maupun di tempat-tempat lainnya. Kita juga hrs belajar pd Ketua Pemuda Pancasila Sulteng Rusdy Mastura yang waktu jadi wali kota Palu melakukan rehabilitasi dan rekonsiliasi pd korban 1965 secara kenegaraan (kepemerintahan daerah). Juga kita mestinya tak lupa pada apa yang dilakukan Dahlan Iskan (CEO Jawapos) yang merekonsiliasi para pihak yang bertikai dalam kasus Madiun 1948 di Magetan, Jatim. Juga kita mestinya belajar pada mahasiswa, anak2-anak muda dan Pemda di Semarang yang membuatkan makam layak bagi korban di kuburan massal.
Sewajarnya kita belajar pada hal-hal yang sejuk atas peristiwa kekerasan di masa lalu, bukan malah mempermainkan data untuk memprovokasi dan memainkan kekerasan lanjutan, membubarkan diskusi-diskusi bertema sejarah maupun HAM, dan sebagainya.
Ketika negara berkehendak mengupayakan pengungkapan sejarah, rehabilitasi, reparasi, dan rekonsiliasi atas kekerasan alat-alat negara di masa lalu; tak sewajarnya Anda malah menebarkan fitnah kebencian, mengobarkan api peperangan dan kerusakan sosial.
Sekian, terima kasih.
Semarang, 5 Juni 2016.
Yunantyo Adi, Pegiat HAM, tinggal di Semarang
Your comment?