Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan
Kesaksian Endang Kustantinah usia 8 tahun murid SD Kragilan, Boyolali, kelas 2 pada 1965 *
Ibu Endang Kustantinah kini berusia 59 tahun, tinggal di Tangerang, Banten. Bekerja sebagai tenaga pengajar pada sebuah sekolah negeri. Sejak peristiwa 1965 ia harus mengungsi, meninggalkan tempat kelahirannya karena teror di desanya. Bertahun-tahun ia tidak bisa menceriterakan kisah yang ia alaminya. Trauma berat setiap kali megenang ayahnya yang hilang.
Derai air mata dan isak selalu menyertainya setiap kali ia mengisahkan kembali pengalaman tragedi kemanusiaan 1965.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah seperti hari-hari biasa. Namun berbeda, keadaan desa sungguh lengang, Tidak banyak teman-teman sekolahku yang datang. Pintu sekolah masih tertutup. Guru mau pun penjaga sekolah tidak nampak. Aku ingin segera masuk pelataran sekolah, masuk ke ruang kelas dan menaruh tas mau pun buku di laci bangku untuk kemudian bermain bersama teman-temanku di halaman sambil menunggu kelas dimulai.
Setelah aku tunggu beberapa jam, tidak juga sekolah dibuka. Aku menjadi curiga, ada apa ini? Aku menjadi yakin bahwa memang sekolah pagi itu ditutup karena tidak ada guru yang berani ke luar rumah. Ada juga satu atau dua orang yang lewat, umumnya orang yang hendak menjual sayuran ke pasar. Seorang bakul (pedagang ) yang melewati sekolah itu berkata kepadaku, “ nDuk, sekarang sekolah libur, lebih baik pulang saja.”
Aku bergegas pulang, akan kukatakan ke pada ibu bahwa sekolah libur hari ni. Dan aku akan segera bisa membantu ibu menyapu lantai, menyapu halaman,atau pun bermain dengan adikku yang masih kecil.
Namun, apa yang terjadi, ketika aku memasuki tikungan jalan kecil yang akan menuju ke rumahku, aku dihadang oleh sekelompok orang yang tidak aku kenal, mereka datang dari desa lain, berwajah garang, sambil mengacungkan golok, pentungan kayu, linggis, clurit, kelewang, bambu runcing, dan benda-benda/ senjata tajam lainnya. Aku berlarian menghindar dan mencari jalan lain menuju ke rumahku. Ke mana pun aku lari kujumpai kerumunan orang beringas, mereka mengeroyok orang, memukulinya dan malahan ada yang menenteng penggalan kepala. Darah berceceran di sepanjang jalan. Aku lebih merasa takut lagi karena di setiap sudut jalan ada penggalan kepala yang berlumuran darah dicocokkan pada potongan bambu runcing.
“ Bunuh orang-orang PKI, tangkap hidup atau mati” teriak kerumunan massa berulang-ulang.
Aku menjadi miris, takut sekali karena yang dimaksud orang-orang PKI adalah antara lain ayahku sendiri dan teman-teman ayahku.
Ketika itu ayahku menduduki jabatan penting di daerah Boyolali, yaitu sebagai anggota DPRD. Di desanya ia menjabat sebagai sekretaris desa atau carik desa, juga sebagai ketua PPDI (Persatuan Pamong Desa Indonesia).
Sebagai seorang pamong desa dan juga sebagai orang yang banyak bekerja untuk kesejahteraan warga desanya, ayahku yang bernama Siswowitono (47 tahun) selalu dikunjungi warganya dan selalu dihormati. Malahan, pada suatu hari ada seorang petani dari dusun Cepogo di lereng gunung Merapi datang untuk mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Siswowitono karena berkat perjuangan beliau sang petani akhirnya mendapat tanah garapan dari tanah bekas perkebunan karet yang ditinggalkan Belanda.
Aku tidak mengerti, dosa dan salah apa orang-orang yang dituduh PKI ini, sampai-sampai harus dibunuh, dipukuli, dipotong lehernya, dikejar-kejar. Masih mending kalau hanya dipotong telinganya. Seseorang yang aku kenali, ia bernama Supomo, ketika itu ia sebagai anggota Pemuda Rakyat, umurnya kira-kira 24 tahun. Ia dipotong telinganya sampai darahnya berceceran di jalanan. Ia sekarang masih hidup, menghabiskan sisa umurnya dengan bertani, tinggal di desa Teras, Kabupaten Boyolali.
Aku menyaksikan sendiri puluhan orang laki-laki dalam keadaan tangan diikat dengan tali goni, ada yang kedua tangannya diikat dibagian belakang badannya, ada pula yang diikat dalam posisi tangan di depan perutnya, mereka membungkuk sambil mengerang kesakitan, “ Duh…. duh…… duh…. aduh……. duh…… ddduhhh…..” karena sekujur tubuh dan kepalanya berlumuran darah. Baju dan celananya robek-robek sebagai akibat diseret-seret, malahan ada yang telanjang dada dan bercelana kolor saja. Mereka digiring menuju ke kantor kelurahan sambil dicambuki layaknya kambing
Aku tidak tahan melihat pemandangan yang memilukan itu. Aku segera lari secepat-cepatnya, takut kalau-kalau aku juga akan ditangkap, terus lari, dan lari. Sampai di rumah aku segera masuk dan menemui ibu. Kudapati ibu sedang mendekap adikku perempuan si bungsu yang masih kecil.
Aku menangis sambil menanyakan : Bu, di mana ayah ? Bu, di luar sana banyak teman-teman ayah dikeroyok, dipukuli. Bu, di mana, di mana , di mana ayah?
Memang, ayahku sudah beberapa hari ini tidak ada di rumah. Ada yang memberitahukan bahwa ayah sudah ditahan di Kantor Kodim Boyolali, tapi ada yang mengatakan bahwa Siswowitono memang memenuhi panggilan aparat militer untuk menyerahkan diri, atau bisa jadi ayahku menghindar atau pun bersembunyi di suatu tempat dari amuk massa. Pendek kata, aku, ibu atau pun adikku tidak mengetahui di mana ayahku. Ini membuat hatiku juga hati ibu selalu khawatir, jangan-jangan kejadian buruk menimpa ayahku. Hal inilah yang membuatku selalu menanyakan nasib ayahku ke pada ibuku. Kakak-kakakku juga tidak ada di rumah. Mereka sudah mengungsi beberapa hari yang lalu, bersembunyi dan menyelamatkan diri dari gerombolan orang-orang yang haus darah yang ingin membunuh dan menangkapi orang-orang atau pun keluarga yang diduga sebagai anggota PKI.
Hari itu, rumahku terhindar dari amukan massa yang ingin menangkap ayahku. Mungkin mereka sudah tahu kalau bapakku dan kakak-kakakku sudah pergi entah ke mana.
Sampai pada suatu hari, kira-kira seminggu sejak kejadian yang aku ceriterakan di atas, tepatnya kira-kira minggu ke tiga pada bulan Oktober 1965 ayahku pulang. Ketika itu menjelang Maghrib. Hari sudah gelap sehingga orang tidak mengetahui kepulangan ayahku. Naluri kerinduan seorang anak perempuan yang masih memerlukan belaian kasih sayang ayahnya. Aku terisak menangis dan bersyukur ayahku selamat. Aku seolah lega karena ayahku tidak bernasib buruk seperti teman-teman ayahku yang disiksa, dipukuli, diseret, dicambuki, dipotong telinga mau pun dipenggal lehernya. Oh, sungguh mengerikan bila mengingat peristiwa seminggu yang lalu..
Akan tetapi, kegembiraan ini tidak lama, hanya sesaat saja. Tepatnya kira-kira sehabis Isa terjadilah peristiwa yang sangat memilukan atas keluarga kami.
Segerombolan massa beringas, dengan membawa senjata tajam mau pun pentungan, linggis, tombak, kelewang, golok yang seminggu lalu melakukan tindakan pembunuhan, penyiksaan terhadap orang-orang yang diduga anggota atau pun simpatisan PKI datang mengepung rumahku. Mereka meneriakkan, “Tangkap PKI. Bunuh. Jangan sampai lolos “ Mereka datang dalam jumlah yang lebih besar kira-kira limapuluhan orang.. Suara linggis yang dipukul-pukulkan ke tembok sangat jelas terdengar. Mereka rupanya akan mendobrak pintu rumahku. Ayahku dengan tenang membukakan pintu. Dua orang aparat militer bersenjata diikuti gerombolan pemuda terus masuk dan menghambur ke dalam rumah dan mengacak-acak, mengobrak-abrik segala isi rumahku, menjarah-rayah segala harta benda yang ada di dalamnya. Padi, beras, pakaian dan barang-barang berharga lainnya mereka ambil tanpa menyadari bahwa tindakan mereka itu adalah tindakan melawan hukum. Tidak tanggung-tanggung, sampai telur ayam di sarang yang sedang dierami juga digasak bersama ayamnya.. Nasi dan bakulnya juga disikat.
Tanpa memberi waktu untuk berpamitan kepada ibuku mau pun aku dan adikku, sang tentara membentak sang ayah untuk segera digiring entah ke mana. “ Cepat ke luar, ikut aku”.
Dari kejauhan aku masih mendengar kata-kata ayahku, yang merupakan pesan buat ibu, aku, adikku dan kakak-kakakku. “ Jaga baik anak-anak “. Aku tidak menyangka bahwa kata-kata singkat yang diucapkan ayahku itu merupakan pesan terakhir buatku, ibuku, adikku dan juga kakak-kakakku, karena semenjak saat itu, aku tidak pernah bertemu lagi. Sungguh aku menyesal, mengapa aku tidak mencium dan menggenggam erat-erat tangannya, sekiranya aku tahu bahwa saat itu adalah pertemuan yang terakhir.
Ibuku pucat menyaksikan kejadian yang baru saja dialaminya itu. Di kemudian hari ketika melukiskan betapa menakutkan peristiwa itu, ia mengatakan, “ Saat itu, sekiranya daging tubuhku diiris-iris, tidak akan mengeluarkan darah, karena saking takutku, miris melihat gerombolan orang yang beringas yang ingin membunuh sesamanya”.
Semenjak itu aku dan adikku juga ibuku terpaksa mengungsi ke tempat sanak famili yang bisa menjadi tumpangan untuk menyelamatkan diri. Dan aku harus keluar dari kota tempat kelahiranku Boyolali untuk mencari nafkah buat diriku dan juga bertahan hidup. Aku pindah dari kota yang satu ke kota yang lain, dan akhirnya aku ke Tangerang sampai sekarang.
Dari penelitian dan kesaksian orang yang mengetahui pembunuhan massal di Boyolali, terdapat beberapa lokasi kuburan massal, antara lain di pingiran kali dekat kuburan Sonolayu, di hutan/ perbukitan daerah Ampel, di dekat kuburan umum Cepogo, di desa Pundung. Tempat- tempat penyiksaan dan penahanan di bekas gedung bioskop tengah kota, di lapangan latihan tembak Brigief Infanteri, dan di markas Kodim.
Data pasti jumlah korban di Boyolali diperkirakan lebih dari 10 000 jiwa meninggal dunia dibunuh. Boyolali terkenal sebagai daerah basis PKI, mau pun daerah pergerakan kaum tani.
Pada suatu hari di penghujung tahun 1982, seorang tua penjaga kuburan di Sonolayu, dengan tulus dan pasrah menghampiri seorang kakakku yang sedang mencari pasir di dekat pinggiran kali. “ Le, ya neng kene kubure suwargi bapakmu Siswowitono, ya ing kene iki biyen diperjoyo” ( Nak, di sinilah tempat ayahmu bapak Siswowitono dikuburkan, di sinilah dulu disiksa sampai wafat ).
Sang penjaga kubur itu bernama embah Enggom. Tidak lama setelah ia memberi kesaksian tempat kuburan ayahku, ia kemudian meninggal dunia. Di pinggir kali dekat kuburan umum Sonolayu itu, diperkirakan ratusan orang yang diduga anggota PKI atau pun simpatisannya dibunuh. Di tempat itu pula dipercaya sebagai tempat penguburan Suali, bupati Boyolali.
Kini, peristiwa hitam, terkutuk pembantaian massal telah berlalu selama 51 tahun. Namun tidak ada upaya serius dari penguasa negeri ini untuk mengusut tuntas dalang pembantaian massal. Rakyat tidak berdosa telah menjadi korban sia-sia. Sementara sang aktor, sang jenderal yang haus darah dan haus kekuasaan tidak tersentuh hukum. Sungguh ironi. Negeri yang lemah lembut yang memiliki budaya timur yang luhur, tetapi sejatinya adalah negeri jagal. ***
_____
- Dituturkan kembali oleh: Bedjo Untung
Your comment?