Memori Sejarah dan Mengingat Kembali 1965: Dari Perspektif Korban
![PARTICIPANTS: Participants of the International Conference on the History of Reconciliation Indonesia 1965: Facts, Rumors & Stigma; Which was held at the Goethe University of Frankfurt Germany, 2016, November 10-12 [Photo: Bas]](https://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2016/11/frankfurt1a.jpg)
Oleh: Bedjo Untung*
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih mendalam atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara di depan anda para sejarawan, ilmuwan, akademisi, penulis sejarah, aktivis Hak Asasi Manusia, para ahli – di forum paling terhormat – Universitas Goethe Frankfurt, Jerman .
Saya adalah korban langsung dari peristiwa 1965. Pada waktu itu saya adalah seorang siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru), anggota dari Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia yang dianggap oleh penguasa militer sebagai organisasi di bawah payung Partai Komunis Indonesia. Saya ditangkap, ditahan, diinterogasi, disiksa, ditelanjangi dan dikirim ke penjara Tangerang –sebuah kamp kerja paksa- sekitar 26 kilometer ke arah barat dari Jakarta. Selama di tahanan saya tinggal dalam kondisi tempat yang amat buruk, tidak cukup makanan dan dengan sanitasi terburuk pula.
Saya menderita kekurangan gizi. Tahanan politik (tapol) yang disekap di penjara Tangerang sekitar 2.000 tahanan, sebagian besar mati kelaparan karena kurang makan dan tidak adanya obat-obatan. Saya harus mencari makanan tambahan, yaitu makan tikus, ular, serangga, siput dan mencari dedaunan hanya untuk bertahan hidup. Saya ditahan selama 9 tahun (1970-1979) tanpa proses peradilan.
Peristiwa Yang Tak Bisa Dipercaya
Rasanya seperti mimpi buruk. Tak seorang pun akan memprediksi hal terburuk terjadi pada tahun 1965. Sebagai orang Indonesia saya percaya bahwa Presiden Sukarno presiden pertama Republik Indonesia akan mampu memimpin bangsa ini untuk menjadi negara yang makmur dan adil bagi semua; sesuai dengan cita-cita sosialisme. Sukarno adalah presiden populer yang ingin membangun dunia kembali, dunia yang bebas dari eksploitasi de Lhome par Lhome dan eksploitasi der Nation par Nation.
Ia memperkuat solidaritas rakyat Afrika, Asia dan Amerika Latin. Bahkan, dia cukup berani untuk mengatakan (kepada imperialis-red) “Persetan dengan Bantuan Anda” (Go to Hell with your Aid).
Hal itu dinyatakan untuk menghadapi ancaman imperialisme Amerika Serikat. Tepat sebelum 30 September 1965 beberapa Organisasi Massa mahasiswa, pemuda, buruh, perempuan di Jakarta membuat rally besar –demonstrasi- untuk menolak penanaman (investasi) modal asing.
Tidak hanya itu, Sukarno juga menyatakan menarik diri/keluar dari keanggotaan Indonesia dari Organisasi PBB (Perserikata Bangsa-Bagsa) dan sebagai tandingan akan menyelenggarakan Konferensi The New Emerging Forces (Kekuatan Negeri-Negeri yang Baru Berkembang) di Jakarta.
Rencana Sukarno didukung oleh Partai Komunis Indonesia, Partai Komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok.
Tentu saja, itu membuat imperialisme AS marah. Melalui CIA Pusat Intelijen Amerika Serikat. AS membuat komplotan untuk menghancurkan Indonesia.
Intelijen Amerika Serikat memata-matai wilayah Indonesia, mengumpulkan data untuk mempersiapkan serangan langsung ke Indonesia. Sebuah milisi bersenjata PRRI/PERMESTA -separatis- yang ingin memisahkan diri dari Indonesia didukung oleh senjata militer AS. Angkatan Udara AS melakukan tindakan mata-mata dengan menggunakan pesawat mata-mata U-2 yang dikemudikan oleh Allan Pope ditembak jatuh oleh Angkatan Udara Indonesia.
Sekali lagi, komplotan untuk membunuh Sukarno dirancang oleh kelompok Islam yang ingin mendirikan sebuah Negara Islam. Percobaan pembunuhan terhadap Sukarno ketika ia menghadiri perayaan Sekolah di Cikini, sebuah Sekolah Dasar di Jakarta serta ketika menghadiri perayaan Hari Idhul Adha. Keduanya gagal. Sukarno selamat dari upaya pembunuhan itu.
Belajar dari kegagalan itu, CIA kemudian mengubah strategi untuk tidak menggunakan serangan langsung untuk membunuh Sukarno tapi membiarkan Partai Komunis Indonesia -sebagai pendukung militan Sukarno- membuat kesalahan mereka sendiri kemudian menghancurkan mereka sebagai langkah berikutnya untuk menggulingkan Sukarno. Dan rencana itu berhasil dilakukan.
Pada tanggal 23 Maret 1965, hanya 6 bulan atau 191 hari sebelum Peristiwa 1965 meledak, sejumlah petinggi CIA mengadakan pertemuan rahasia di markas besar di kota Bagio City, Manila, Philipina. Mereka adalah Averrel Harriman – Intelijen Militer, pensiunan Perang Dunia Kedua OSS Office Stategy Study, William Bundy, Elsworth Bunker – juru runding pada kasus Irian Barat, dan Howard P. Jones – Duta Besar USA di Indonesia selama 7 tahun.
Pertemuan itu sangat penting dan memiliki kesimpulan untuk memutuskan arah gerakan politik untuk Indonesia. Mereka mendapat perintah langsung dari Johnson Presiden Amerika Serikat sebagai Ketua Dewan Keamanan Nasional NSC.
Tak berlangsung lama, keputusannya ialah menjebak Partai Komunis Indonesia agar melakukan kesalahan mereka sendiri kemudian menghancurkan mereka. (Wawancara dengan Letnan Kolonel Heru Atmodjo Deputy Intelijen Angkatan Udara Republik Inonesia) (http://bingkaimerahindonesia.blogspot.com/2009/10/sumbang-tapi-benar-kesaksian-1-oktober.html)
Pembunuhan massal di mana-mana
Pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat pada dini hari 01 Oktober 1965 oleh sekelompok pengawal militer kepresidenan (Tjakrabirawa_red) adalah titik awal untuk menyalahkan PKI sebagai kambing hitam, dalang pembunuhan para jenderal itu.
Propaganda hitam diluncurkan segera. Fakta dan data yang dimanipulasi digembar-gemborkan. Pers dikendalikan oleh tentara. Semua surat kabar dilarang. Surat kabar yang diizinkan adalah Angkatan Bersenjata (Koran ABRI) dan Berita Yudha (Berita Perang) sebagai corong resmi tentara.
Tindakan berikutnya ialah menghancurkan seluruh pengikut PKI dan simpatisannya (anggota organisasi massa pendukungnya. Ini terjadi di seluruh Indonesia. Pembunuhan massal terhadap orang yang dituduh sebagai Komunis dimulai. Penangkapan, penahanan, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, penjarahan di mana-mana. Kejahatan kemanusiaan dan kejahatan politik terhadap orang-orang pengikut Partai Komunis Indonesia ini adalah kejahatan maha dahsyat yang terjadi sesudah Perang Dunia ke- dua dan ini dikategorikan sebagai Genocida terburuk yang dirancang oleh tentara. Diperkirakan 500.000 sampai 3. 000.000 orang tewas dalam tragedi 1965/1966. Penghancuran PKI itu sesungguhnya adalah sasaran antara. Target utamanya adalah untuk menggulingkan Soekarno itu sendiri.
Investigasi YPKP 65
Sejak berdirinya YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66) pada tahun 1999, yayasan ini berkomitmen untuk melakukan penelitian, menyelidiki dan menemukan fakta-fakta dan bukti-bukti adanya genosida di berbagai daerah di seluruh Indonesia oleh tentara.
Dalam melakukan penelitiannya, YPKP 65 mengunjungi berbagai daerah, antara lain: Medan (Sumatera Utara), Bukittinggi, Painan, Padang Pariaman (Sumatera Barat), Pakanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Lampung, Balikpapan, Argosari (Kalimantan Timur), serta banyak kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.
Hasil dari investigasinya adalah: Tidak ada bukti dari apa yang sering dituduhkan oleh penguasa militer bahwa PKI melakukan pemberontakan. Tidak ada konsentrasi massa anggota PKI untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan negara. Tidak ada pemusatan senjata yang ditemukan untuk melakukan makar terhadap pemerintah yang sah. Bukti nyata adalah, PKI mematuhi instruksi Presiden Sukarno, untuk tidak melawan. Para anggota PKI datang secara sukarela untuk melapor diri ke kantor Kodim/ Koramil.
Tapi, dari barak penahanan itu, banyak anggota PKI yang kemudian diculik dan dibunuh.
YPKP 65 menemukan sedikitnya 122 situs kuburan massal, lokasi pembunuhan massal dengan jumlah korban 13.999 orang dibunuh. Jumlah ini masih sementara karena laporan dari cabang-cabang berbagai kota masih berlangsung. Berikut ini adalah daftarnya:
KUBURAN MASSAL TRAGEDY 1965/66 di INDONESIA
Jawa Tengah………. 50 situs………. 5.543 orang
Yogyakarta………….. 2 situs…………. 757 orang
Jawa Timur……….. 28 situs………. 2.846 orang
Jawa barat…………… 3 situs………….. 115 orang
Banten………………….. 1 situs………….. 200 orang
Sumatera Utara……. 7 situs……….. 5.759 orang
Sumatera Barat……. 21 situs……….. 1.988 orang
Kepulauan Riau…….. 5 situs…………. 173 orang
Sumatera Selatan….. 2 situs………… 2.150 orang
Pulau Bali……………… 1 situs…………….. 11 orang
Kalimantan Timur…… 1 situs…………… –
Sulawesi………………… 1 situs…………… –
==================================
TOTAL………………… 122 situs……….. 13,999 orang (tewas)
Laporan di atas adalah ringkasan. Laporan lengkap telah disampaikan ke Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) pada 02 dan 09 Mei 2016.
YPKP 65 pernah melakukan penggalian kuburan massal di Wonosobo Jawa Tengah, ditemukan 21 kerangka. Itulah fakta sesungguhnya bahwa pembunuhan massal pada tahun 1965-1966 dan tahun-tahun berikutnya itu benar terjadi dan tak terbantahkan.
Sayangnya, proses penggalian kuburan massal kini terhambat oleh prosedur administrasi dan aturan hukum sehingga sejak saat itu sulit untuk mengadakan penggalian lagi.
Penelitian YPKP 65 juga memperkuat hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk Tragedi 1965-1966. Ada 9 unsur kejahatan kemanusiaan serius yang terjadi, yaitu: pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, kerja paksa/perbudakan, pemerkosaan massal, pemindahan tempat tinggal secara paksa, perampasan, pembatasan kemerdekaan/kebebasan berekspresi. Unsur pembersihan etnis tidak ditemukan.
Namun, dalam tragedi pelanggaran HAM pembantaian 1965-1966, ada unsur genosida, yaitu menghancurkan orang/ kelompok tertentu/ orang-orang yang memiliki keyakinan/ideologi politik yang berbeda. Kesimpulannya adalah, tragedi 1965-1966 adalah pelanggaran HAM berat, kejahatan terhadap kemanusiaan.
YPKP 65 juga mendukung Keputusan Final Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag yang diumumkan secara meluas pada 20 Juli 2016. Tragedi 1965-1966 dan tahun-tahun berikutnya terutama pada masa pemerintahan kediktatoran Suharto adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan juga Genocida. Pemerintah Republik Indonesia harus minta maaf kepada semua Korban dan melakukan rehabilitasi serta memberikan ganti rugi secara layak. Rekomendasi Tribunal 65 Den Haag juga menemukan bukti keterlibatan pemerintah Amerika Serikat, Australia dan Inggris yang terlibat dalam pemasokan senjata, peralatan komunikasi serta finansial untuk membantu pembunuhan massal di Indonesia pada 1965/66.
Stigma dan Teror
Sampai saat ini, para mantan tahanan politik masih mengalami stigma dan diskriminasi secara terus-menerus oleh penguasa militer. Meskipun mereka sudah tua dan tidak memiliki kemampuan untuk bergerak, militer masih menempatkan mereka di bawah kontrolnya. Setiap kali para korban akan mengadakan pertemuan untuk membahas masalah mereka, militer selalu datang untuk memantau bahkan mendengar apa yang para korban bicarakan. Ketika korban akan mengunjungi seminar atau konferensi di Jakarta, petugas militer datang dan membuat gambar foto dari kita.
Pada bulan Agustus 2015, Pertemuan Nasional Korban yang diselenggarakan oleh YPKP 65 di kota Salatiga, Jawa Tengah ditunda menyusul ancaman pembunuhan terhadap anggota panitia penyelenggara serta ancaman pengerusakan/pembakaran tempat akan berlangsungnya pertemuan.
Pada bulan April 2016 Wisata Lokakarya YPKP 65 yang akan diselenggarakan di Cianjur Jawa Barat juga diserbu oleh ribuan orang-orang anggota organisasi intoleran dan anti demokrasi. Ancaman datang dari Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Pemuda Pancasila (GPP). Kepada Panitia Wisata Lokakarya YPKP 65, petugas intelijen dari Polri, Komandan Polisi Sektor dan Polres Cianjur mendesak untuk membatalkan acara tersebut.
Diskusi yang digelar para korban dilarang. Meskipun kami hanya ingin berbicara tentang perawatan medis/ layanan psikologis sosial yang diluncurkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seperti kita ketahui, Korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan perawatan medis berdasarkan Undang-Undang Nomer 06/Tahun 2013 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Yang terbaru adalah ketika saya menjadi pembicara kunci pada diskusi yang digelar oleh mahasiswa dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia di Universitas Islam Malang pada 29 September 2016, itu pun dilarang dan dibubarkan oleh intelijen militer/polisi. Untungnya, para mahasiswa/peserta diskusi publik sigap mengevakuasi saya ke tempat yang aman.
Rekomendasi Komnas HAM
YPKP 65 dan Korban menyambut gembira Rekomendasi Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) pada 23 Juli 2012 karena ini bisa menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan kasus tragedi 1965 setelah hampir setengah abad terpendam. Namun, pada November 2012 Kejaksaan Agung mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dengan alasan yang tidak masuk akal dan atau tidak relevan, misalnya pertanyaan tentang apakah saksi disumpah atau tidak. Selain itu, Jaksa Agung mempertanyakan kelengkapan administrasi surat, dan lain-lainnya.
Komnas HAM kemudian membuat koreksi pada dokumen penyelidikan tersebut. Setelah itu pada Desember 2012 Komisioner mengirim kembali ke Jaksa Agung. Lagi- lagi, pada minggu pertama Januari 2013 Jaksa Agung mengembalikan berkas tersebut kepada Komnas HAM, meminta agar menambahkan keterangan tambahan dari saksi yang bisa menjadi tersangka yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Tim Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk Tragedi 1965-1966 telah bekerja sejak 1 Juni 2008 sampai 30 April 2012. Selama penyelidikan, ia menyelidiki 349 saksi dari berbagai daerah di Indonesia kecuali Papua. Mereka menyimpulkan bahwa Peristiwa 1965-1966 adalah Kasus pelanggaran berat HAM yang dikomandoi militer, lembaga militer seperti Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah), Kodam (Komando Daerah Militer), Kodim (Komando Distrik Militer), Koramil (Komando Rayon Militer) harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada Tragedi 1965-1966 itu.
Salah satu rekomendasi Komnas HAM ialah pentingnya untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Rekomendasi ini juga meminta Jaksa Agung untuk mengadili para pelaku/penjahat HAM.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pemenuhan pelanggaran HAM serius Tragedi 1965-1966 juga dapat diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial.
Hambatan
Meskipun Rekomendasi dari Komnas HAM telah diterbitkan dan diserahkan ke Kejaksaan Agung, yang memberikan secercah harapan sebagai titik masuk untuk memecahkan kasus ini. Namun jalan masih panjang, berliku dan banyak hambatan.
Mantan pejabat sipil dan militer di era rezim Orde Baru sekarang marah, bergegas untuk menolak rekomendasi. Mantan pemimpin militer, pemimpin organisasi massa yang terlibat dalam kekerasan dan pembantaian tahun 1965 mulai panik dan ketakutan.
Tampaknya, pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki kemauan politik dan keberanian untuk mengambil keputusan segera untuk memecahkan kasus ini. Para korban menyadari kondisi itu. Fakta obyektif pemerintah saat ini masih didukung oleh mesin politik yang terlibat dalam peristiwa kekerasan 1965-1966. Mereka adalah ahli waris dari rezim Orde Baru Soeharto. Para pelaku masih mengambil peran dalam kekuasaan. Mereka tidak ingin melaksanakan tuntutan para Korban untuk menegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia.
Beberapa produk hukum yang anti kepentingan rakyat dibuat, seperti UU Intelijen Negara Indonesia, UU Organisasi Massa, Undang-Undang Keamanan Nasional, dan lain sebagainya. Sementara UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR) yang diharapkan menjadi alat pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban, dibatalkan dan tidak ada niat segera membentuk undang-undang yang baru.
Kesempatan
Meskipun peluang hampir tertutup, namun organisasi masyarakat sipil dan korban melanjutkan perjuangan mereka untuk menemukan langkah terobosan.
YPKP 65 mendorong pertemuan yang dilakukan korban agar timbul semangat mereka untuk bertahan hidup. Pertemuan juga mengundang kesaksian korban, membuat audiensi publik. Program semacam ini sangat diperlukan sebagai pengobatan psikologis dan trauma bagi para korban.
Pada beberapa acara khusus, YPKP 65 bersama-sama dengan koalisi oganisasi masyarakat sipil menyelenggarakan upacara peringatan seperti: berdoa di beberapa situs kuburan massal, aksi ke Istana Negara mengenakan pakaian serba hitam dan payung hitam, mendesak kepada Presiden untuk mengambil tindakan bagi pemulihan hak-hak korban. Kampanye di tingkat nasional dan internasional melalui media seperti surat kabar, televisi, media online, dan lainnya.
Hal lain perlu mendorong model rekonsiliasi akar rumput, dengan mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal, misalnya: Ruwatan (upacara khusus, berkabung, mengirim doa, membaca ayat suci al Quran diikuti oleh masyarakat umum dengan harapan bahwa roh jahat tidak mengganggu orang dan mendoakan agar arwah para korban yang wafat tidak semestinya, mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan/Allah.
Membuat data base (pencatatan data korban) kasus penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, mengidentifikasi lokasi kuburan massal, tempat penyiksaan, merekam kisah nyata dari korban. Semua ini akan menjadi penting untuk dokumentasi laporan ke Pengadilan Internasional. Jika Pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat, terutama pada kasus Tragedi 1965-1966, maka solusi akhir itu, kami akan membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional, melaporkannya kepada Kelompok Kerja PBB untuk Korban Penghilangan Orang secara Paksa, Dewan HAM PBB Genewa, dan mekanisme hukum internasional lainnya.
Apa yang Diinginkan Korban
Dimana martabat mereka? Bagaimana bangsa ini akan berjalan ke masa depan ketika bayang-bayang gelap dari sejarah tetap tersembunyi di balik tabir kekuasaan?
Pembantaian massal pada 1965-1966 yang merupakan Tragedi Nasional tidak pernah diselesaikan. Sampai saat ini, tidak ada keadilan ditegakkan untuk para korban, para penyintas (survivor) dan keluarga korban. Mereka masih hidup di bawah stigma, ancaman, teror dan diskriminasi yang dilanggengkan oleh militer dan orang-orang di lingkaran kekuasaan.
Tujuan dan tuntutan dari para korban cukup sederhana, kami meminta pengakuan otoritas negara yang telah membuat kesalahan dengan menyalahgunakan Hak Asasi Manusia. Negara telah melakukan kesalahan besar karena terjadinya kejahatan kemanusiaan pada 1965/66, Negara ketika itu tidak mencegah terjadiya kekerasan sehingga berlanjut dengan aksi brutal pembunuhan massal. Para Korban menghendaki pengungkapan kebenaran berdasarkan fakta-fakta tentang kekerasan 1965/66, selanjutnya kepada Korban perlu direhabilitasi harkat dan nama baiknya kemudian keadilan bagi para korban harus ditegakkan dan pada gilirannya rekonsiliasi nasional bisa terwujud.
Sesungguhnya, tidak terlalu rumit keinginan para korban. Kami hanya ingin kejelasan, kepastian hukum, dan pengakuan oleh Negara atas kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh negara. Kita perlu tahu di mana keluarga kita diculik. Pencarian Korban yang telah hilang harus dilakukan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk memperoleh keadilan. Pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk. Hal ini untuk memberikan pelajaran dan efek jera bagi pelaku, sehingga pelanggaran serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Tragedi Kemanusiaan Pembantaian 1965-66 bukan hanya pelanggaran HAM atau kejahatan terhadap kemanusiaan semata, tetapi juga sebagai kejahatan politik. Oleh karena itu, perlu adanya solusi politik. Presiden harus segera mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Rehabilitasi Umum meliputi penyelesaian komprehensif kasus 1965-66 dengan segala aspeknya.
Memulihkan hak-hak korban, memberikan reparasi, rehabilitasi dan kompensasi. Presiden sebagai Kepala Negara harus mengeluarkan pernyataan penyesalannya kepada semua korban atas terjadinya pembunuhan massalpada 1965/66.
Tekanan Dunia Internasional
Sangat jelas terlihat bahwa Negara-Negara Barat mengambil keuntungan besar atas naiknya Rezim Orde Baru yang militeristik di Indonesia. Milyaran dolar investasi modal asing, pembukaan pertambangan, pengerukan, penjarahan kekayaan alam. Semuanya dieksplorasi dan diserap untuk keuntungan negara-negara Barat. Sementara itu, Korban 1965 telah menjadi martir Bangsa, untuk kemakmuran negara-negara Barat dan para jendral militer korup di pemerintahan Orde Baru.
Sekarang, saatnya Komunitas Internasional meningkatkan tekanan atas pemerintah Indonesia. Apakah mereka akan membiarkan Indonesia untuk tetap berkubang dalam lumpur kejahatan terhadap kemanusiaan? Indonesia harus bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dibuatnya.
Jakarta November 12, 2016
Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
*) Tulisan ini merupakan abstraksi, bahan yang dipresentasikan dalam Konferensi International Rekonsiliasi Sejarah Indonesia Dengan 1965: Fakta, Rumor & Stigma; 10-12 November 2016 yang diselenggarakan oleh Universitas Goethe Frankfurt, Jerman.
Your comment?