Membaca Nalar Perubahan dari Surat Gie

1496 Viewed Redaksi 0 respond
Illustrasi: Soe Hok Gie [edelweisunhas]
Illustrasi: Soe Hok Gie [edelweisunhas]

Oleh: Zico Mulia

“Saya sadar betapa sulitnya untuk menanamkan kembali rasa hormat manusia-manusia Indonesia yang dibesarkan dalam suasana “mass murder” ini terhadap hidup. Bagi saya, kehidupan adalah sesuatu yang agung dan mulia.”
[Surat Gie kepada Boediono, 26 November 1967]

Membaca isi surat yang hampir separuh abad itu di Majalah Tempo edisi 10-16 Oktober 2016, sepertinya masih relevan dengan kondisi saat ini. Kini kebencian terhadap perbedaan keyakinan, agama, etnis atau suku, ideologi bahkan sekadar beda pendapat bisa menghilangkan rasa hormat seseorang -mulai dari orang tua hingga orang muda- terhadap sesama manusia dan warga bangsa. Pada derajat tertentu hal tersebut bisa membawa pada praktik-praktik kekerasan.

Pembunuhan massal (mass murder) yang dimaksud Gie, aktivis mahasiswa Indonesia tahun 60-an, terjadi di Indonesia tahun 1965 hingga akhir 60-an. Mungkin banyak generasi muda saat ini tidak tahu apa yang terjadi ketika itu. Pergolakan politik yang menurut berbagai riset ialah hasil konspirasi sejumlah elit institusi pertahanan negara dengan sokongan pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya membuat ratusan ribu orang Indonesia menjadi korban pembunuhan massal, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, perbudakan, perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Semua bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan di era Orde Baru tersebut juga ditemukan dalam penyelidikan Komnas HAM. Namun kebenaran akan peristiwa kelam dan massif tersebut hingga kini belum diungkap oleh negara sehingga masih terjadi kontestasi wacana peristiwa 65.

Gie melihat situasi yang banal saat itu terusik kemanusiaannya sehingga mendorongnya untuk meneliti dan melakukan pengamatan langsung kekerasan massif yang terjadi di Jawa Tengah dan Bali. Ia berusaha mengungkap kebenaran yang terjadi lewat berbagai saluran media lokal dan nasional dengan nama fiktif demi keamanan dirinya. Ia pun berkorespondensi dengan peneliti dan pemerhati Indonesia dari mancanegara, seperti Ben Anderson, Indonesianis terkemuka yang juga memiliki kerisauan yang sama dengan Gie.
Dalam catatan-catatannya, Gie mengutuk para intelektual yang bungkam di tengah tragedi kemanusiaan itu. Ia juga amat kecewa dengan teman-temannya sesama aktivis mahasiswa yang malah asyik berpolitik dengan rezim Orde Baru dan duduk di kursi pemerintahan.

Lima puluh satu tahun kemudian, di era millenial saat ini situasi politik tidak jauh berbeda. Isu ideologi komunis yang dilarang tetap jadi komoditas politik. Sedikit perbedaan soal konflik SARA yang kerap terjadi pasca reformasi. Aktor utama yang memainkan isu pun tetap sama (bisa dibaca di berbagai laporan Komnas HAM dan lembaga riset pemantau HAM).

Sementara sebagian mahasiswa terseret pusaran arus konflik politik para elit yang disebut oligarkhi. Motif keterlibatan mereka beragam, ada yang volunteer dilandasi kenaifan dan fanatik terhadap keyakinan (agama atau ideologi) -umumnya mereka pengikut- sebagian lainnya hanya dilandasi oleh materi dan langkah meraih posisi politik.

Jika 50 tahun lalu, konteks global saat itu dilingkupi pertarungan dua poros kekuatan dominan (blok barat dibawah komando AS yang berhaluan liberal dan blok timur di bawah komando Uni Sovyet yang berhaluan komunis). Kini dunia dilingkupi oleh menguatnya konservatisme agama yang berhadapan dengan kelompok minoritas dan kelompok pro-demokrasi. Secara global relatif tidak ada lagi pertarungan soal ideologi komunis dengan kelompok liberal, sementara Indonesia masih terus memelihara hantu komunisme.

Sama seperti Gie, saya dan banyak kaum muda lain tentu resah melihat situasi sosial-politik zamannya.

Seharusnya kita fokus pada pengembangan pengetahuan dan teknologi yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan berlandaskan pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan saling merasa benar dan menghujat atas nama SARA. Karena tantangan umat manusia saat ini semakin banyak seperti soal keterbatasan energi, ledakan populasi, ketanahan pangan, keberlansungan lingkungan hidup.

Perang dan konflik bukan jawaban atas tantangan itu bukan? Kecuali buat mereka yang tidak memiliki hati nurani dan rasa kemanusiaan.

***

-UI Depok, 26 Nopember 2016-

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
fidel-soekarno

Fidel Castro dan Strategi Penyatuan Kekuatan Revolusioner

PARTICIPANTS: Participants of the International Conference on the History of Reconciliation Indonesia 1965: Facts, Rumors & Stigma; Which was held at the Goethe University of Frankfurt Germany, 2016, November 10-12  [Photo: Bas]

Memori Sejarah dan Mengingat Kembali 1965: Dari Perspektif Korban

Related posts
Your comment?
Leave a Reply