Janji di Atas Ingkar Jokowi soal Pelanggaran HAM

1271 Viewed Redaksi 0 respond
Presiden Jokowi dinilai tak mampu tunai janji tuntaskan kasus HAM masa lalu. (Resty Armenia)
Presiden Jokowi dinilai tak mampu tunai janji tuntaskan kasus HAM masa lalu. (Resty Armenia)
tim, CNN Indonesia | Jumat, 19/10/2018 08:20 WIB
  • EMPAT TAHUN JOKOWI-JK

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan memasuki usia 4 tahun pada 20 Oktober 2018. Namun masih ada sejumlah janji yang dituangkan dalam program Nawacita pada pemilu presiden (pilpres) 2014 lalu belum juga terlaksana.

Salah satu poin yang dijanjikan Jokowi lewat Nawacita yakni menuntaskan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Bahkan dalam janjinya itu, Jokowi menyebutkan kasus-kasus yang bakal diselesaikan selama masa pemerintahannya.

“Berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965,” demikian bunyi Nawacita poin keempat Jokowi-JK.

Staf Bidang Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya mengatakan selama 4 tahun pemerintahan, Jokowi-JK gagal memenuhi janji nawacitanya dalam penyelesaian ketujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Dalam kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2 (1998) misalnya, pemerintah memilih jalur nonyudisial atau tanpa melalui peradilan. Hal ini disampaikan Ketua Komnas HAM (2012-2017) Imdadun Rahmat pada 2017 lalu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menyatakan bahwa jalur nonyudisial dipilih agar tidak menimbulkan masalah baru.

Akhirnya pemerintah memilih jalan rekonsiliasi yang sampai saat ini upaya tersebut belum terwujud. Penyelesaian ketiga kasus itu akhirnya belum jelas ujungnya.

Pun demikian dengan kasus dugaan pembantaian di peristiwa Talangsari pada 1989 lalu. Tak ada kejelasan dari akhir kasus ini. Tak hanya itu, tragedi gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965 juga tak kunjung terungkap. Hanya kasus tragedi Tanjung Priok (1984) yang saat ini sudah selesai dengan menempuh jalur mediasi.

Menurut Dimas, janji Jokowi soal penuntasan kasus HAM masa lalu hanya sebatas retorika tanpa dibarengi langkah konkret di tingkat kementerian terkait.

“Dari perspektif pelanggaran HAM masa lalu janji itu sangat tidak ditepati atau pemerintah belum berhasil untuk merealisasikan janji politiknya,” kata Dimas kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/10).

Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tak kunjung tuntasnya kasus pelanggaran HAM masa lalu di era Jokowi-JK. Faktor pertama karena kultur impunitas yang masih tinggi.

Dimas menegaskan kultur impunitas yang tinggi itu masih tinggi karena Jokowi justru mengangkat beberapa pejabat yang diduga terkait dengan masalah HAM di masa lalu. Salah satunya, kata Dimas, Jokowi mengangkat panglima ABRI era Presiden ke-2 RI Soeharto, Wiranto sebagai Menkopolhukam pada 2016 lalu.

Wiranto kerap kali dikaitkan dalam beberapa kasus pelanggaran HAM di antaranya penyerangan markas PDIP pada 1996, penghilangan dan penculikan aktivis pro-demokrasi dalam rentang waktu 1997-1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2.

Selain itu, ada sosok lain selain Wiranto yang kerap disebut terkait dengan kasus HAM masa orde baru. Dia adalah mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Hendropriyono yang diduga terkait kasus HAM Talangsari itu secara terang-terangan mendukung Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.

Bekas Panglima ABRI era Soeharto, Wiranto kerap dikaitkan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Bekas Panglima ABRI era Soeharto, Wiranto kerap dikaitkan terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Kendati demikian, Hendropriyono menyebut banyaknya jumlah korban Tragedi Talangsari bukan akibat dari penyerbuan yang dia pimpin, melainkan karena warga di sana melakukan bunuh diri masal. Pada 2014 dia juga mengaku bahwa dirinya difitnah.

“Saya difitnah kasus Talangsari. Itu pertempuran, anak buah saya juga banyak yang mati. Asal bentrokan, dibilang pelanggaran HAM,” tutur Hendro dalam rekaman wawancara dengan Jurnalis Investigasi asal Amerika Serikat Allan Nairn pada Desember 2014 lalu.

Pemilihan nama-nama tersebut, menurut Dimas, menjadi salah satu alasan tidak terwujudnya nawacita Jokowi khususnya dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Selain kultur impunitas yang tinggi di pemerintahan Jokowi-JK, nyali dan keinginan politik atau political will mantan Wali Kota Solo itu dalam memberikan instruksi secara tegas kepada Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut untuk menindaklanjuti berkas-berkas kasus pelanggaran HAM dipertanyakan.

“Selama ini Jokowi tidak secara tegas dan berani untuk menggunakan hak preogatifnya untuk memberikan instruksi kepada Kejaksaan Agung,” tutur dia.

Jaksa Agung M Prasetyo mengaku sulit mengumpulkan bukti-bukti kasus HAM masa lalu. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Jaksa Agung M Prasetyo mengaku sulit mengumpulkan bukti-bukti kasus HAM masa lalu. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Senada, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menilai usai lembaganya bertemu Jokowi pada Juni 2018 lalu, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah ada realisasi yang konkret.

Padahal, saat itu Jokowi sendiri mengatakan hasil pertemuan itu harus langsung ditindaklanjuti ke Kejaksaan Agung.

Menurut Choirul perintah Jokowi kepada lembaga terkait seperti Kejaksaan Agung tidak efektif. Hal itu karena lembaga-lembaga terkait tersebut sampai saat ini belum menindaklanjuti kasus-kasus tersebut meski sudah diinstruksikan oleh presiden.

“Implementasinya sampai sekarang enggak ada, presiden harus mengefektifkan perintahnya terhadap seluruh perangkatnya,” ujar Choirul kepada CNNIndoensia.com.

Menko Polhukam Wiranto sebelumnya meminta agar tidak ada salah sangka bahwa pemerintah ingin menunda-nunda penyelesaian.

Sampai saat ini, lanjutnya, pemerintah terus melakukan koordinasi antara Komisi Nasional HAM dengan Kejaksaan Agung tentang upaya penyelesaian baik secara yudisial maupun nonyudisial.

“Jangan sampai ada salah sangka bahwa pemerintah ini ingin menunda-nunda itu, mempetieskan itu, tidak. Tapi betul-betul kita ingin masuk jalur hukum ini bagaimana, kalau tidak bisa, nonyudisialnya bagaimana. Ini kan semuanya perlu satu penyelesaian yang baik,” kata Wiranto, September lalu.

Lebih lanjut dia juga menilai selama 4 tahun ini presiden seakan tidak mempunyai keinginan politik untuk memenuhi janji-janjinya terkait HAM.

AM Hendropriyono diduga terlibat kasus HAM masa lalu. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)

AM Hendropriyono diduga terlibat kasus HAM masa lalu. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)

Pesimistis Jokowi Bisa Penuhi Janji

Kendati begitu, Jokowi setidaknya masih punya waktu sekitar satu tahun lagi untuk memenuhi janji Nawacitanya terkait penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam kurun setahun ini setidaknya Jokowi harus bisa membawa ketujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu ke pengadilan untuk diproses.

Hanya saja, Dimas pesimis mantan Gubernur DKI Jakarta itu bisa menunaikannya dalam kurun waktu satu tahun. Pasalnya ketujuh kasus yang disebut dalam Nawacita, kata Dimas, sampai saat ini prosesnya masih belum jelas.

“Apakah bisa menyelesaikan janji secara komprehensif untuk menyelesaikan kasus yang disebutkan di Nawacita? Jawabannya enggak mungkin karena prosedurnya sangat lama, baik prosedur yudisial maupun prosedur nonyudisial,” papar Dimas.

Dalam kurun setahun, proses nonyudisial sebetulnya bisa dilakukan. Misalnya pelaku kasus pelanggaran HAM meminta maaf kepada para korban.

Namun, menurut Dimas, apabila kasus-kasus itu diselesaikan dengan proses nonyudisial, korban pelanggaran HAM berat tidak akan mendapatkan hak-haknya atas kebenaran, reparasi, dan jaminan pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya di masa depan.

“Secara implisit negara mengakui ada pelanggaran, seharusnya dibarengi dengan penyelesaian melalui pengadilan,” papar Dimas.

Rentetan Peristiwa

Tragedi 1965 diketahui terjadi pada rentang 1965-1966. Saat itu diduga telah terjadi pelanggaran HAM terhadap mantan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pelanggaran HAM itu berupa pembantaian pemindahan, perbudakan, perampasan kemerdekaan, dan penghilangan paksa. Akibat tragedi itu setidaknya setengah juta jiwa melayang.

Kemudian Tragedi Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984. Pada saat itu terjadi kerusuhan dan bentrok antara warga dengan aparat keamanan yang dipimpin oleh Jenderal (Purn) LB Moerdani. Setidaknya 400 lebih orang tewas pada kejadian ini.

Sementara itu, Tragedi Talangsari terjadi pada 1989. Saat itu terjadi dugaan penyerbuan ke Desa Talangsari, Lampung yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam 043, Kolonel Hendropriyono.

Serangan itu dilepaskan berdasar pada dugaan bahwa jamaah pengajian Talangsari pimpinan Warsidi ingin mengganti Pancasila dengan Al-Quran dan Hadits.  Akibatnya 246 orang jemaat hingga kini dinyatakan hilang, perkampungan habis dibakar dan ditutup untuk umum.

Peringatan 17 tahun tragedi Semanggi. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Peringatan 17 tahun tragedi Semanggi. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Lainnya, Tragedi Trisakti diketahui terjadi pada 1998 lalu saat mahasiswa Trisakti hendak melakukan aksi damai dan berunjuk rasa menuju Gedung DPR. Hanya saja aksi mereka diadang dan dipukul mundur oleh aparat keamanan.

Selain dipukul mundur mereka juga diduga dihujani peluru tajam dan mengakibatkan empat orang mahasiswa Trisakti tewas akibat tertembak di bagian vital.

Sementara pada tragedi Semanggi I (11-13 November 1998), setidaknya 17 warga sipil tewas karena diadang oleh aparat saat hendak berunjuk-rasa di Gedung DPR yang tengah berlangsung sidang istimewa.

Tragedi Semanggi II (24 September 1999), sebanyak 11 warga sipil dan satu orang mahasiswa tewas dalam upaya menentang pemberlakuan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB).

Lainnya, penghilangan paksa aktivis-aktivis Pro-Demokrasi terjadi pada pada rentang 1997-1998, saat Indonesia masih dipimpin pemimpin otoriter Soeharto. Pelaku yang menyebabkan korban tewas dan hilang masih belum diadili. (sah/DAL)

Source: CNN Indonesia
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
JEJU 4.3: The Chairperson of the Central 65 YPKP, Bedjo Untung, delivered an International Conference speech and lecture material at the "Jeju4.3 International Conference for the 70th Anniversary" event in the island city of Jeju, South Korea (4/10). [Photo: YPKP'65]

Indonesian Genocide 1965: Cold War and The United States Responsibility

Juru Bicara Presiden Johan Budi. (Foto: Adhi Wicaksono)

Istana Jawab Kontroversi Politik dan HAM 4 Tahun Terakhir

Related posts
Your comment?
Leave a Reply