Obituari: Trikoyo Ramidjo

2038 Viewed Redaksi 0 respond
Photo-Credit: Bedjo Untung [ist]
Photo-Credit: Bedjo Untung [ist]

Trikoyo Ramidjo  

[27 Februari 1926 – 27 Februari 2019]

Tri Ramidjo, Lahir di Grabag Mutihan, Kutoardjo Jawa Tengah, 27 Pebruari 1926; dari ayah Kyai Dardiri Suromidjojo Ramidjo (Kyai Anom) dan ibu Nyai Darini Ramidjo.

Riwayat kedua orangtuanya menunjukkan Trikoyo lahir dari keluarga muslim pejuang sejati, sekaligus distigma sebagai pemberontak komunis yang melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 1926; kapan tahun dimana Tri dilahirkan ke dunia. Keduanya, yang masih saudara sepupuan adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, seorang prajurit lasykar yang teguh dan setia pada Pangeran Diponegoro.

Pada masa sebelum Perang Djawa (1925-1930) Desa Grabag Mutihan disebut Grabag Tunggulrejo. Menjadi desa Grabag Mutihan karena desa ini dibebaskan dari kewajiban membayar upeti. Di desa yang menolak tunduk pada peraturan Kumpeni ini, pesantren yang didirikan kedua orangtuanya diserbu tentara, diobrak-abrik dan hangus dibakar mereka.

Namun perang terhadap kolonialisme pada masa itu telah menjadi fakta historis bahwa rakyat, tanpa terkecuali telah membuktikan kekuatannya, dalam hal perlawanan dengan beragam bentuk; termasuk dengan cara mengangkat senjata melalui Perang Jawa dimana rakyat bertekad jadi tentaranya.

Pada Maret 1927, atas tudingan terlibat aktif lancarkan pemberontakan komunis melawan kolonialisme Hindia-Belanda; Kyai Dardiri (Kyai Anom), ayah Trikoyo ditangkap dan akhirnya dibuang ke Tanah Merah Digoel, berikut Nyai Darini yang turut serta. Dengan begitu, bayi Trikoyo terbawa juga ke pembuangan yang membuatnya disebut-sebut sebagai seorang Digulis di belakang hari.

Masa kecil Tri (Trikoyo_red) hidup dalam pembuangan di Tanah Merah hingga ia berusia 15 tahun, melengkapi hukuman buang yang dijalani ayahandanya selama 14 tahun di kamp Boven, Digul.

 

Tapol 65 Rejim Orba

Tahun 1944, sebelum Indonesia merdeka, sepulang remaja Trikoyo dari pembuangan Boven Digoel, ia mengikuti jejak pamannya masuk pelatihan perwira militer Jepang di Kalimantan Utara. Pernah menjadi opsir tentara Bumiputera berpangkat Letnan Satu di Sarawak, di bawah pimpinan Kolonel Uchira Ken Saburo.

Pada masa paska kemerdekaan RI, darah juang Trikoyo muda mendorong dirinya pada pilihan menjadi pejuang ataukah tetap bekerja di Algemene Volkscrediet Bank dengan gaji dan tunjangan yang terbilang besar di tahun 1950. Tri keluar dari pekerjaan pada Agustus 1950 dan pasca itu ia bekerja mengelola majalah Bintang Merah serta buletin PKI yang didirikan DN. Aidit, Njoto, dan MH. Lukman. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh PKI, rupanya, menjadi catatan tersendiri di kemudian hari.

“Aku pernah satu rumah dengan Njoto, tapi tak pernah daftar anggota partai (PKI_Red) karena syaratnya terlalu berat”, kenangnya suatu hari.

Relasinya dengan sejumlah petinggi PKI memungkinkan Tri bisa bertemu presiden Soekarno. Kepada sang proklamator ini ia menyampaikan hasratnya untuk bisa melanjutkan sekolah ke Australia atau Amerika. Namun advis Ami Priyono (Menteri P dan K masa itu) merekomendasikan studinya ke Jepang karena Tri memang bisa berbahasa Jepang.

Pada 1962 dia masuk kuliah Waseda University di Tokyo, setelah lolos melewati seleksi yang ketat. Lima tahun studi ekonominya di Waseda diselesaikannya dengan baik dan ia kembali ke Indonesia dengan pilihan sementara tinggal di daerah Sumatera.

Tahun 1970 saat ia ke Jakarta, Tri dilaporkan kerabatnya sebagai orang yang dekat dengan petinggi PKI dan dia ditangkap militer Orba masa itu. Sejak 1971 Trikoyo dibuang ke Pulau Buru sebagai tapol selama 7 tahun.

Pada 20 Desember 1977 ia dibebaskan dari Unit XV Indrapura Pulau Buru. Setelah mengarung laut perjalanan pembebasannya dari Namlea ke Surabaya, dan perjalanan daratnya dari Surabaya ke Jakarta, Trikoyo mendapati kenyataan getir hidupnya. Saat itu, diketahui istrinya telah bersuamikan orang lain dan memiliki satu anak berusia 5 tahun. Sedangkan ibunya, Darini, hidup dalam tampungan famili karena rumahnya dihancurkan KAMI-KAPPI dalam kerusuhan pasca Gestok 65.  

Hidup sebagai eks tapol semasa orba berkuasa, Trikoyo bekerja menjadi pengasah pisau-gunting untuk menyambung hidupnya sementara. Namun profesi ini telah mengantarnya pada relasi yang lebih meluas -terutama- dengan orang-orang Jepang di Jakarta; yang memungkinkan dia membuka kursus bahasa Indonesia di kalangan mereka. Dengan begitu ia punya penghasilan signifikan sehingga Tri bisa menghimpun kembali keluarga yang tercerai-berai selama ia menjadi tahanan politik rejim orba.

Sebagai sarjana ekonomi dan pengajar bahasa Indonesia, Trikoyo pernah menjadi penulis tetap di Japan Economic Journal hingga tahun 1985. Di sisi lain, pengalamannya sebagai orang buangan dan Tapol Pulau Buru, dituangkannya dengan menulis buku Kisah-kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru, terbitan Ultimus, 2009.

 

Wafat di Hari Ultahnya

Trikoyo wafat Rabu pagi persis di hari ulang tahunnya yang ke 92, pada 27 Februari 2019. Ia wafat pagi hari di rumahnya daerah Kunciran Cileduk, Tangerang dan dikebumikan di pemakaman umum setempat menjelang sore ada hari itu juga..

***

trikoyo_lelayu1

Lelaki Yang di Tangannya Terjaga Nyala Api*
: Bung Tri Ramidjo

lelaki yang di tangannya terjaga nyala api
tak mati mati, gelora di dada
jauh dari renta
menengadah ia di pacak bumi
matanya redup tapi membelati
menentang singgasana penuh darah

lelaki yang di tangannya terjaga nyala api
tak pernah kusua ia
tapi jelas kudekap
dalam nafas

lelaki yang di tangannya terjaga nyala api
berjalan dari kelam ke kelam
dari malam ke malam
nyanyi lagu merah perjuangan
dikarib bulan arit
tak ngeluh
menjaga sang bunda

lelaki yang di tangannya terjaga nyala api
serupa kristus yang dikhianati yudas
disiksa oleh bangsanya sendiri
hidup adalah tuba
tapi dengan gagah tetap diminumnya
atas nama pertiwi

lelaki yang ditangannya terjaga nyala api
tak mati mati ia
dan memang tak akan pernah mati
sebab
dadanya adalah baja membara
tak renta
dan akan terus hidup!

*Kelana Siwi, Kendal, 210114

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
SAYUDI:  Sayudi, 84 tahun (berdiri nomor 2 dari kanan) dalam foto bersama Ketua YPKP 65 Bedjo Untung yang berkunjung ke Brebes [Foto: Humas YPKP 65]

Jejak “Ruyung Kawung” di Sindangheula

YPKP 65: Mengorganisasikan kembali  YPKP 65 Cabang Pemalang [Foto: Humas]

Korban Tragedi 65 Pemalang Bangun Kemandirian

Related posts
Your comment?
Leave a Reply