Sekilas Tempo Doeloe [1]
Oleh: Andreas JW
Mengenal Alimin
Kira-kira awal 1946, pimpinan Jawatan Penerangan Jawa Tengah, Suwito Kusumowidagdo; mendengar kabar ada seorang tokoh komunis Angkatan 1926, bernama Alimin; pulang ke kampung halamannya, di Solo. Sehubungan dengan itu Jawatan Penerangan berencana mengundang Alimin tampil sebagai pembicara dalam suatu acara ceramah politik. Maksudnya, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Karena diketahui Alimin punya pengalaman sebagai aktivis di luar negeri. Ceramah diselenggarakan pada malam hari, bertempat di Loji Wetan, di Kantor Jawatan Penerangan Jawa Tengah. Waktu itu PKI sebagai partai sudah tampil legal, serta ikut di dalam dewan pemerintahan.
Saya pribadi belum pernah bertemu langsung dengan Pak Alimin. Saya hanya sebatas mengenal nama dan sekilas riwayat hidupnya sebagai tokoh PKI. Ini pun saya peroleh dari cerita sejumlah tokoh komunis eks-Digul. Alimin berasal dari Kampung Serengan, Solo. Setahu saya dia tiga bersaudara, dari keluarga biasa saja. Kakaknya laki-laki, dan adiknya perempuan bernama Aliyem. Tidak seperti Alimin, kedua saudaranya tidak terlibat dalam partai. Mereka hanya sebatas simpatisan.
Alimin datang ke tempat ceramah dikawal orang-orang dari ALRI dan GRI, termasuk Suhadi ada di situ. Pak Alimin mengenakan sarung, berbaju model hacinco (potong mangkok_pen), dan memakai peci hitam. Peci hitam adalah ciri khas penampilan Alimin sejak dulu. Postur tubuhnya kerempeng, sedikit agak bongkok. Secara keseluruhan penampilannya terlihat sangat sederhana. Selain ramah, Alimin juga seorang humoris. Ini mungkin yang membuat semua orang cepat akrab dengannya. Bahasa jawanya termasuk halus. Dalam setiap berpidato, dia sering menyelipi dengan bahasa jawa kromo inggil.
Pada kesempatan lain, Pangeran Suryohamidjojo mengundang pula Alimin untuk ceramah politik di pendopo rumahnya yang besar. Suryohamidjojo adalah pendiri Siaran Radio Indonesia (SRI), sekaligus merupakan stasiun pemancar radio perjuangan satu-satunya di zaman Hindia Belanda. Ceramah Alimin dihadiri banyak peminat yang datang dari berbagai kalangan, termasuk pejabat-pejabat daerah dan kalangan pegawai Kraton Kasunanan. Karena di lingkungan Kraton Kasunanan ada Resort Partai, yang dipimpin Pak Poncopangrawit. Dia seorang Digulis moderat, ahli seni karawitan jawa. Berkat jasa anggota PKI di kalangan Kraton Kasunanan, PKI pernah menyelenggarakan Konfernas atau Kongres IV di pendopo Sitihinggil Kraton Kasunanan Surakarta.
Alimin memang seorang propagandis ulung. Dia menguasai beberapa bahasa asing dengan fasih, seperti Inggris, Jerman, Rusia, dan Arab. Dan cukup lama ia bermukim di luar negeri, tepatnya sejak gagalnya pemberontakan PKI tahun 1926. Selama tinggal di luar negeri, ia menjadi petugas Komintern, dan pernah terlibat dalam perang anti-fasis di Spanyol. Terakhir, sebelum kembali ke Tanah Air, ia sempat bermukim di Yenan, Tiongkok, berkumpul bersama Mao Tje-tung. Alimin, sebagai anggota Komintern; ketika itu diperbantukan di Yenan, sekaligus untuk memperdalam Marxisme. Menjelang selesai Perang Dunia II, Alimin mendapat tugas dari Komintern merembes ke selatan, masuk ke Indonesia melalui Malaya. Tugas utamanya, selain membantu pembangunan kembali PKI, juga aktif ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Sejak tiba di Solo, Alimin aktif melakukan kegiatan di Kantor SC Surakarta. Juga sering pergi ke Yogyakarta, ke Kantor CC PKI di Bintaran Kulon, untuk berunding dengan pimpinan PKI. Selama tinggal di Solo, Pak Alimin mondok di rumah Samsudin Musanif, di Jalan Bumi. Samsudin Musanif adalah tokoh komunis, berpangkat letnan kolonel dan menjabat Kepala Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Divisi Panembahan Senopati.
Sebelum Alimin tinggal di rumah Pak Samsudin, saya sudah terlebih dahulu sering ke rumahnya untuk memperdalam Marxisme. Hubungan saya dengan Pak Samsudin sangat dekat. Beliau sangat sayang pada saya. Dari sinilah saya kemudian berkenalan dengan Pak Alimin. Oleh karena sering bertemu, hubungan pribadi saya dengan Pak Alimin juga menjadi sangat dekat. Sampai dengan Peristiwa Madiun dan Agresi II, saya masih terus berhubungan dengan Pak Alimin. Kita baru berpisah dalam waktu cukup lama ketika Pak Alimin pergi ke Yogyakarta untuk melakukan pertemuan dengan Sri Sultan HB IX.
Ketika PKI dipimpin D.N. Aidit, Alimin masih masuk dalam jajaran pimpinan partai. Tapi peranannya sudah mulai dikurangi. Saya tahu, karena antara Aidit dengan Alimin, terdapat perbedaan prinsip. Alimin dianggap Aidit terlalu “liberal”, maunya sendiri, tidak disiplin, dan tidak patuh dengan ketentuan organisasi. Sebaliknya Alimin, yang punya pengaruh besar di kalangan orang-orang eks-Digul, mengkritik Aidit sebagai terlalu dekat dengan Bung Karno. Menurut Alimin, bagaimana pun baiknya Sukarno, dia berasal dari golongan lain; golongan nasionalis.
Sejak Kongres VI tahun 1959, akhirnya Alimin benar-benar tersingkir. Ia tidak punya kedudukan di dalam partai. Usianya juga sudah lanjut. Namun Alimin mendapat pensiun dari pemerintah RI. Ini karena Alimin termasuk pejuang kemerdekaan. Seingat saya Pak Alimin mendapat bintang jasa sebagai Pejuang Kemerdekaan. Sehingga ketika wafat, Alimin berhak dimakamkan di TMP Kalibata. Sebelum meninggal tahun 1963, dia terakhir tinggal di Cibinong. Sepanjang hidupnya dia tidak pernah menikah. (Memoar Siswoyo, Ultimus, Juli 2015)
[]
Your comment?