Kejahatan Genosida Asia Dibahas di Pulau Jeju
-
Catatan dari Jeju 4.3 International Conference for the 70th Anniversary
Konferensi Internasional yang bertujuan menyiapkan platform bersama dalam menangani kejahatan “genosida” di beberapa negara Asia, sukses digelar di kota Jeju (Jeju-do) di pulau Jeju (Jeju-si) Semenanjung Korea; pada tanggal 4-6 Oktober 2018.
Konferensi bertema Kebenaran dan Keadilan Jeju 4.3: Menuju keadilan yang berkelanjutan ini diikuti oleh 200-an partisipan dan menghadirkan para delegasi terdiri dari para korban penyintas, peneliti, sejarawan dan kalangan akademisi negara-negara Asia: Jepang (Okinawa), Vietnam (Cambodia), Taiwan, Indonesia dan Korea Selatan serta akademisi (Thessaloniki, Greece).
Diantaranya adalah: Lee Kyu-Bae (Jeju International University Korsel), Heo Ho-Jun (Korsel), Kim Hun-Joon (Korea University), Kim Yeong-Beom (University of Daegu, Korsel), Park Gu-Byeong (University of Ajou), Park Chan-Shik (Korsel), Kim Yoon-Kyung (Seoul National Uniersity), Yang Jeong-Sim (Ihwa Women’s University), Song Han-Yong (Korsel), Heo Yung-Sun (Korsel), Kang Ho-Jin (Korsel), Kim Bong-Gyu (The Hankyeoreh) dan Thanasis D.Sfikas (Aristotle University, Thessaloniki, Yunani), Cheng Nai-Wei (Taiwan).
Ada juga presentasi dari seorang penyair penyintas Korea, Kim Myung Sik; yang juga membacakan sajaknya. Di lokasi yang sama digelar pula Special Photo Exhibition yang mendokumenter genosida di Jeju. Sedangkan pembicara dari Indonesia: Bedjo Untung (YPKP 65 – Indonesia), Nisrina Nadhifah Rahman (KontraS – Indonesia). Pembicara dari Jepang: Murakami Naoko (Hiroshima University – Japan), Suzuyo Takazato (Okinawa – Japan), serta dari Vietnam Chhang Youk (Cambodia) yang mengemukakan Respon terhadap Genosida Cambodia dalam Konteks Global.Pada konferensi internasional memperingati 70 tahun Tragedi Jeju 3 April 1948 itu, kasus-kasus genosida (pembasmian massal) hasil penelitian di beberapa negara dunia seperti Rwanda, Guatemala, Yunani, Korea Selatan, Vietnam dan Taiwan; termasuk genosida Indonesia 1965-66 juga direpresentasikan yang mendapat sorotan tak kurang dari 200 partisipan konferensi dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan aktivis kemanusiaan Korsel maupun negara tetangga Asia lainnya.
Menariknya, diketahui ada kesamaan pola bahwa kejahatan kemanusiaan genosida yang pernah terjadi di beberapa negara Asia ini memiliki latar dan keterkaitan sama, menjadi kajian bagi mempertimbangkan adanya “benang merah” keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat maupun negara lain yang menjadi sekutu penyokong adidaya.
Konferensi Internasional ini digelar oleh sebuah Komite Memorial dari Jeju 4.3 Research Institute, dalam rangka memperingati 70 tahun perlawanan yang melatari pembantaian massal 20.000-40.000 penduduk Pulau Jeju (termasuk korban perempuan dan anak-anak) terjadi antara tahun 1948-1954 yang menandai puzzle pembentukan Republik Korea Selatan pasca perang Korea.
Komisi Investigasi Kebenaran Jeju 4.3 dan konteksnya bagi Indonesia
Pada tahun 2000 Korea Selatan membentuk sebuah Komite Nasional Investigasi Kebenaran tentang Jeju 4.3. Komisi nasional ini bertujuan untuk menyelidiki tragedi Jeju 4.3 (Jeju 3 April_Red) dimana penduduk Jeju yang melancarkan perlawanan bersenjata dibalas dengan pembantaian massal yang terjadi pada rentang tahun antara 1948–1954.
Pada 2003 melalui laporan pertamanya, Komite Nasional Investigasi Kebenaran [Jeju4.3 Research Institute] ini mempublish temuan awal risetnya, dimana 14.028 penduduk pulau terbesar di Korea Selatan ini dibantai; sebagian lainnya ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan. Pembasmian massal ini dilakukan militer Angkatan Darat, Polisi Korea Selatan dan dengan memobilisir organisasi paramiliter yang direkrut dari elemen-elemen sipil sayap kanan; melalui apa yang disebut aksi polisionil dan semuanya dibawah pimpinan Militer Angkatan Darat Amerika Serikat sebagai penguasa (pendudukan) transisional di Korea Selatan.[1]
Tiga tahun berikutnya (2006) pada sebuah upacara peringatan tragedi Jeju 4.3 pemerintah Presiden Roh Moo-hyun secara resmi menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada rakyat di Jeju-si.
Dalam konteks Indonesia -pertama- ini perbedaan mendasar dari kedua negara, Korea dan Indonesia; dalam hal memandang kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembasmian massal (genosida) yang pernah terjadi di kedua wilayah negara pada masa lalunya. Korea berani secara terbuka dan jujur mengakui adanya kejahatan genosida Jeju 4.3 dan meminta maaf kepada -terutama- rakyat Jeju-si yang telah menjadi korban. Sedangkan Indonesia masih tertutup dalam dalih “komunis yang memberontak” atau “kudeta PKI” dengan cara selalu mengait-kaitkan upaya penuntasan kejahatan Genosida 65-66 dengan kebangkitan PKI yang cuma hoaks belaka.
Bagi Jeju4.3 Research Institute momentum pengakuan Roh Moo-hyun ini merupakan tantangan lanjut untuk meneruskan kerja-kerja kemanusiaannya sampai tahun 2009 dengan melaksanakan berbagai proyek penyaringan dan reparasi bagi para korban; sehingga membuatnya menjadi komisi kebenaran paling panjang dalam sejarah. [2]
Dalam konteks Indonesia (Genosida 1965-66) dimana telah terjadi apa yang oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM_Red) 2012 disebut sebagai “kejahatan HAM berat” hasil penyelidikan pro-yustisia dan menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah (Kejakgung) untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Seiring dengan itu dibuatlah Undang-Undang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR_Red) namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi tak lama setelah berlalu tahun pembuatannya.
Sehingga -diakui maupun tidak- sampai pada batas ini kajian lanjut yang mengarah pada pentingnya rekonsiliasi nasional pun seakan dikandaskan.
Dari Jeju 4.3: Menuju Keadilan Berkelanjutan
Peran dan intervensi Amerika Serikat dalam perang yang terjadi di beberapa negara Asia, seperti Cambodia dan Korea menyeruak dalam sesi-sesi diskusi selama konferensi internasional ini digelar. Semuanya merupakan ekses dari berlangsungnya Perang Dingin sebagai bagian dari peta dan situasi politik internasional yang terbelah diametral dalam dua blok kepentingan kekuasaan Barat dan Timur.
Makalah Bedjo Untung “Cold War, Genocide and the Role of United States” [Dapat Disimak Disini] Ketua Umum YPKP 65 dari Indonesia yang dipaparkan pada sesi awal konferensi pun banyak mengulas peran dan intervensi Amerika Serikat dalam pembasmian massal (baca: genosida) Indonesia pada Tragedi 1965-66 dan tahun-tahun setelahnya. Pembasmian massal, sebagaimana pembantaian besar-besaran terhadap 30.000-40.000 penduduk di Pulau Jeju; adalah kejahatan terhadap kemanusian yang sama kelamnya.
Bedanya, dalam konteks Jeju 4.3, Korea Selatan telah bisa melampaui perdebatan itu secara sehat dan menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalunya dalam merintis masa depan bangsa menuju keadilan yang berkelanjutan (towards the sustainable justice). Pulau Jeju telah berubah dari pulau kematian di masa lalu menjadi pulau perdamaian di masa yang akan datang. Menariknya, sejarah kelam ini tak dimonopoli oleh wacana dominan kekuasaan belaka; serta menjadi materi pembelajaran di sekolah-sekolah Korea.
Tak ayal lagi, popularitas dan daya tarik pulau vulkano Jeju-si lebih dari apa yang ada pada adagium tourism seputar temukan kelebihan Jeju dalam hal “batu, angin dan wanita” belaka, melainkan juga sebagai pulau bersejarah dalam cakupan dua pembaruan adagium sekaligus:
“mengenang kejahatan genosida masa lalu dan membangun perdamaian abadi di masa depan..”
________
[1] Catatan dirangkum dari diskusi konferensi internasional Jeju 4.3
[2] Wikipedia, 2014
Hi there colleagues, its enormous article on the topic of teachingand fully defined,
keep it up all the time.
Keep on writing, great job!