Napak Tilas Penjara Tapol Orba di Tangerang
Tahun antara 1965-1979 adalah masa-masa paling suram di Indonesia, terutama di lapangan politik dan kemanusiaan. Perburuan, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, perkosaan perempuan, perampasan harta dan pembantaian atas manusia; menimpa banyak orang yang aktif dalam gerakan. Dan itu meluas terjadi dimana-mana.
Perburuan dan penangkapan besar-besaran atas rakyat tanpa proses hukum menjadi gambaran umum yang musykil terjadi di negeri pancasila yang mestinya menghormati nilai kemanusiaan. Tetapi justru ironi ini begitu nyata kejadiannya. Gelombang pemenjaraan orang, selain yang dibunuh karena tuduhan politik yang dimanipulasi, menimbulkan lonjakan jumlah tahanan politik (tapol) di seluruh Indonesia.
Salah satu tempat penahanan tapol adalah Rumah Tahanan Chusus (RTC) yang lebih populer dengan sebutan penjara Tangerang yang terkenal karena kekerasan praktek kerjapaksa. Pada masa itu, penjara ini harus menampung limpahan jumlah tapol dari penjara Salemba Jakarta. Tak kurang dari 6.000 tapol mendekam di penjara itu.
RTC Tangerang adalah penjara pemuda sejak awal ia dibangun pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 1927. Bangunan ini lebih dikenal sebagai Jeugd Gevangenis masa itu yang fungsinya tak lain sebagai penjara bagi pemuda bangsa Belanda maupun Pribumi.
Penjara dan Kamp Konsentrasi Tapol Rezim OrbaDalam perkembangannya, penjara ini difungsikan menjadi kamp konsentrasi bagi tapol 1965 yang dikurung di dalam temboknya. Sedangkan di luar tembok tebal yang mengelilinginya, adalah bentangan, dalam jarak sejauh 1-2 kilometer; tanah kosong berupa rimba semak-belukar kala itu. Tipografi daerah ini berupa dataran, gundukan bukit kecil, cekungan rawa berair, daerah aliran sungai; seluas tak kurang dari 110 hektar yang terbelah jalanan besar.
Zona yang membentang luas ini memang dibatasi oleh sungai Cisadane yang tak pernah kering airnya, mengalir dari hulu di kawasan Bogor dan bermuara di Laut Jawa. Sebagian dari tanah seluas ini adalah hasil dari pihak militer merampas tanah milik keluarga Tionghwa yang dituduh sebagai komunis. Beberapa instalasi militer, termasuk markas Kodim, berada di kawasan yang sejak 1965 hingga kini menjadi asset Kementerian Hukum dan HAM RI.
Bagaimana keadaan dan kehidupan para tapol di penjara yang terkenal dengan kekejaman di dalamnya dan praktek kerjapaksa di luarnya ini?
Seperti kebanyakan penjara lainnya di Indonesia, tapol di penjara Tangerang juga menghuni sel pengap tanpa ventilasi memadai, berukuran 1,5x2m dan rata-rata diisi 4-6 tapol, yang mestinya hanya untuk 1 orang saja.
Bedjo Untung yang pernah merasakan kehidupan di penjara Tangerang ini. Dia bersama ribuan tapol lainnya, selain Tuba dan salah satu koleganya Eko Wardoyo, tapol periode 1972-1979, masih dapat menggambarkan detail situasi dan kondisinya di dalam penjara.
Ada 2 blok besar di dalamnya, yakni Blok B dan Blok C; masing-masing blok berisi 52 sel. Blok C lebih dikenal sebagai sel tapol “kelas berat” karena dihuni oleh tapol yang dianggap berideologi komunis kuat serta memiliki keahlian tertentu. Sedangkan Blok B dianggap sebaliknya. Pembedaan ini berekses pada perbedaan perlakuan pada kedua blok itu, yakni penyiksaan terhadap tapol penghuni Blok C relatif lebih berat ketimbang tapol di Blok B.
Jumlah tapol pada masa itu jauh melampaui kapasitas penjara, sehingga selain sel-sel di kedua blok, selebihnya dipaksa menempati ruangan besar yang dikenal sebagai Ruang Sandiwara, namun di kalangan tapol lebih populer dengan sebutan “Geladak Kapal”. Tak ada tempat tidur di dalamnya, semua tapol tidur di lantai dan berhimpitan seperti deretan ikan asin. Tak ada satu tapol pun bisa keluar etelah pintu dikunci, bahkan untuk sekedar buang air sekalipun.
Bau kotoran yang pesing dan membusuk sudah menjadi satu dengan udara dalam penjara, sehingga lama kelamaan tak lagi terasa memuakkan. Kondisi penjara yang tak sehat seperti ini membuat tapol penghuninya jadi rentan terhadap berbagai penyakit; seperti disentri, beri-beri, dan TBC. Meskipun ada blok Klinik di kompleks penjara tetapi itu lebih merupakan pelengkap simbol saja karena tak dijalankan fungsinya.
Tak ada obat, tanpa ada perawat. Ini pernah dialami seorang tapol bernama Udin yang hanya digeletakkan begitu saja tanpa pengobatan dan perawatan. Udin mengalami gegar otak karena kekerasan fisik yang bertubi-tubi ia terima selama interogasi dan mengalami tensi darah yang rendah lantaran kelelahan. Pada akhirnya Udin dirujuk ke RS Gatot Subroto, tetapi baik dokter penjara maupun dokter rumah sakit tak mau merawat pasien yang berstatus tapol; perlakuan yang diskriminatif tentu saja.
Perawatan sebenarnya justru dia dapatkan dari rekan-rekannya sesama tapol yang memiliki latar belakang pengobatan akupuntur atau ilmu totok. Beruntung jika sembuh. Jika tidak sembuh, mereka hanya akan menambah daftar panjang jumlah kematian di rumah tahanan tersebut.
Penjara yang Menista ManusiaBertahun-tahun mendekam di penjara Tangerang, para tapol menjadi akrab dengan penyiksaan fisik dan mental dari sipir penjaganya. Tendangan, sayatan silet, gebukan, bahkan setruman listrik tegangan tinggi kerap dialami tapol jika mereka dinilai tak bisa bekerja pada tugas yang diberikannya. Sebagian tapol bahkan dipaksa mengakui kembali keterlibatannya dalam Gerakan 30 September (G30S), kendati mereka sudah berkali-kali mengalami interogasi dengan pertanyaan serupa.
“Ada komandan namanya Kapten Sani Gonjo, sadis sekali dia; bukan hanya kepada tapol saja. Bahkan, tak segan ia menyiksa orang-orang kampung sekitar yang mau memberi garam buat lauk pada tapol”, tutur Bedjo Untung berkisah tentang situasi dalam penjara yang dialaminya.
“Selain Sani Gonjo, ada Kapten Saud, lalu Kapten Koleman yang tak kalah kejamnya”, sambungnya.
Di luar penjara, para tapol dijadikan tenaga kerja-paksa melakukan berbagai pekerjaan tanpa diberi upah, bahkan tanpa diberi cukup makan yang layak. Ransum hanya diberikan sekali, di sore hari setelah seharian bekerja; pun hanya bubur encer saja. Banyak tapol bertahan dengan memakan apa saja yang bisa ditangkap di luar tembok penjara. Di sawah ladang rintisan tempat tapol bekerja banyak terdapat ular, tikus, kadal, serangga atau binatang lainnya yang lalu dijadikan makanan tambahan.
Ada yang bekerja memelihara ternak, seperti kambing, lembu dan kerbau; yang keseluruhan hasilnya diambil penguasa penjara. Tapol lain bekerja dalam kelompok penebangan pohon dan penggergajian kayu, seperti Tuba dan banyak tapol lainnya. Beberapa bangunan penting, kantor dan fasilitas jalan lingkungan, adalah hasil kerja keras para tapol. Dalam skala yang lebih besar, keadaan serupa juga diberlakukan di penjara seperti di Moncongloe (Sulawesi Selatan) dan pengasingan Pulau Buru di kepulauan Maluku.
Pada tahun 1979, informasi keberadaan RTC penjara Tangerang dengan segala kekejamannya, rupanya menarik perhatian dunia internasional, terutama Palang Merah dan Amnesty Internasional. Di tahun tersebut, delegasi Palang Merah mengunjungi Tangerang untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di penjara itu.Namun para penguasa penjara Orba bukan hanya tak jujur melainkan juga licik dan pandai berbohong. Sehari menjelang delegasi Palang Merah Internasional tiba, penjara disulap menjadi tempat yang lebih manusiawi. Para tapol tiba-tiba diberi tempat tidur berkelambu pula, diberi jatah makan yang layak berupa nasi dan telur. Lokasi penjara dan juga lingkungannya dibersihkan dari kotoran dan kencing yang berbau.
Bukti Kekejian yang Bakal Dihilangkan?
Banyak tempat penyiksaan dan pos-pos pengawasan di kamp kerjapaksa Tangerang kini telah berubah ujud dan fungsi peruntukannya. Ada yang disulap menjadi mall besar, perkantoran dan deretan toko-toko, los pasar maupun yang berubah jadi kompleks rumah hunian warga.
Salah satu tempat penting dan bersejarah di kawasan ini adalah lokasi kuburan massal para tapol. Lokasi ini merupakan timbunan mayat para tapol yang mati karena berbagai sebab. Ada yang mati karena kelaparan dan penyakit, karena siksaan yang melampaui batas dan karena memang dieksekusi oleh penguasa. Ada 346 lokasi kuburan massal seperti ini yang dipetakan YPKP 65 di seluruh Indonesia sampai akhir Agustus 2019; jumlah yang akan terus bertambah seiring temuan lokasi baru di berbagai daerah.
Sedangkan untuk lokasi di Cikokol Tangerang ini tak jauh jauh dari jalan raya dan berada di bagian belakang Rumah Tahanan (penjara) Wanita di kawasan yang sama. Bukan saja tak ada perhatian dari pihak pemerintah, bahkan rupanya ada kesengajaan buat melupakan dan menghilangkan tempat-tempat bersejarah ini melalui berbagai cara. [hum]
I have added this blog post to my book marks