Seminar bertema “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang mestinya dilaksanakan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jalan Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat, dibatalkan Sabtu kemarin (16/9). Kepolisian memblokade dan merangsek masuk ke dalam gedung untuk membubarkan acara tersebut.
Orang-orang yang berkumpul hendak mengikuti seminar–sebagian sudah sepuh dan berjalan dengan tongkat, juga panitia yang tengah berdiskusi tentang situasi yang berkembang, segera dibubarkan.
Dalam sejarah YLBHI, jarang sekali gedung mereka–yang selama ini menjadi simbol penggawa demokrasi dan perlawanan terhadap otoritarianisme–menjadi target tindakan represif aparat keamanan. Pun tidak pada masa Orde Baru.
Sejarah negara-bangsa Republik Indonesia pada medio gelap Orde Baru–yang dimulai dengan serangkaian aksi kekerasan terorganisir sejak kup Oktober 1965–memang kerap dianggap tabu untuk dibicarakan. Alasan populer yang mengemuka selalu tak jauh dari tudingan “kebangkitan komunisme” atau “komunisme gaya baru”.
Tak heran, hampir setiap ruang publik yang menjadi arena lalu lintas pertukaran pikiran dalam mengungkap sejarah yang disebut-sebut sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar abad ke-20 itu mendapat tekanan.
Nyatanya, tekanan selamanya tak dapat menutup pencarian kebenaran. Para penyintas menuntut keadilan atas perampasan hak asasi manusia dan hak sebagai warga negara yang sah. Akademisi menuntut keadilan penulisan sejarah dan pengetahuan yang terang-benderang.
Muda-mudi, generasi baru yang tak memiliki beban sejarah seperti para pendahulunya, menginginkan jaminan penghormatan negara atas hak asasi manusia di masa depan dengan kejujuran untuk membuka tubir gelap sejarah di masa lalu.
Pada titik itu, seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” merupakan bagian dari napas panjang sejak kediktatoran Soeharto tumbang pada 1998.
Bergulirnya Reformasi memang membawa musim semi demokrasi. Setahun setelah rezim Soeharto runtuh, pada 1999, lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Tahun berikutnya, 2000, lahir Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Peneliti senior Institute for Global Justice Bonnie Setiawan dalam artikelnya “Kejahatan 1965: Hostis Humanis Generis” menuliskan kedua produk hukum itu diharapkan dapat melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan rezim–sehingga apa yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto tak terulang, memastikan penegakkan dan kepastian hukum serta keadilan dan rasa aman dari pelanggaran HAM.
Lahir pula organisasi-organisasi non-pemerintah yang bertujuan mengungkap kejahatan kemanusiaan yang menjadi pondasi berdirinya rezim militeristik Orde Baru. Salah satunya adalah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 yang didirikan pada 7 April 1999.
Bedjo Untung, Ketua YPKP 1965-1966–yang belum lama ini menerima Human Rights Award of The Truth Foundation dalam peringatan Hari PBB untuk mendukung korban penyiksaan, kekerasan, dan penghilangan orang secara paksa–mengatakan, yayasannya berkomitmen untuk meneliti, menyelidiki, dan menemukan fakta-fakta serta bukti-bukti adanya genosida di berbagai daerah di Indonesia oleh rezim Orde Baru.
Bedjo Untung (Foto: Facebook/@Bedjo Untung)
Dalam melakukan penelitian, YPKP 1965-1966 mengunjungi berbagai daerah, antara lain Medan, Bukittinggi, Painan, Padang Pariaman, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Balikpapan, Argosari (Kalimantan Timur), serta banyak kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Dari penelitian dan penyelidikan itu, ditemukan sedikitnya 122 lokasi kuburan massal dari pembantaian, dengan jumlah korban 13.999 orang dibunuh. Jumlah ini masih sementara karena penyelidikan masih terus berlangsung, sebagaimana ia tulis dalam “Memori Sejarah dan Mengingat Kembali 1965: Dari Perspektif Korban” pada November 2016.
Rincian kuburan massal tragedi 1965-1966 di Indonesia yakni: Jawa Tengah 50 lokasi (5.543 orang tewas), Yogyakarta 2 lokasi (757 orang tewas), Jawa Timur 28 lokasi (2.846 orang tewas), Jawa Barat 3 lokasi (115 orang tewas), Banten 1 lokasi (200 orang tewas), Sumatera Utara 7 lokasi (5.759 orang tewas), Sumatera Barat 21 lokasi (1.988 orang tewas), Kepulauan Riau 5 lokasi (173 orang tewas), Sumatera Selatan 2 lokasi (2.150 orang tewas), Bali 1 lokasi (11 orang tewas), Kalimantan Timur 1 lokasi, dan Sulawesi 1 lokasi.
Penelitian YPKP 1965-1966 juga memperkuat hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk Tragedi 1965-1966, yakni adanya 9 unsur kejahatan kemanusiaan serius yang terjadi, yaitu: pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, kerja paksa atau perbudakan, pemerkosaan massal, pemindahan tempat tinggal secara paksa, perampasan, dan pembatasan kemerdekaan atau kebebasan berekspresi.
Dalam tragedi 1965-1966, berdasarkan temuan yayasan tersebut, juga terdapat unsur genosida, yaitu menghancurkan orang atau kelompok tertentu atau orang-orang yang memiliki keyakinan atau ideologi politik yang berbeda. Ada banyak versi perkiraan jumlah sesungguhnya manusia yang dibunuh, antara ratusan ribu hingga jutaan orang.
Sari Dewi Sukarno, istri Presiden Sukarno, menyebutkan,sekurang-kurangnya 2 juta manusia dibunuh. Amnesty Internasional menyebutkan 1 juta manusia dibunuh. Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam laporannya menyebut angka korban dibunuh 500 ribu.
Sarwo Edhie Wibowo yang pada masa itu menjabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite yang ditugasi menumpas orang-orang yang dituduh komunis, menyebut angka sekurang-kurangnya 3 juta manusia dibunuh.
Sehingga bukan tanpa dasar jika laporan Komnas HAM, seperti dikatakan Bonnie, menyebut operasi penumpasan oleh militer Orde Baru itu sebagai “Crimes Against Humanity”. Bonnie mengatakan kejahatan itu digolongkan sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia). Untuk kejahatan semacam ini, tegas dia, tak dikenal masa kedaluwarsa.
Your comment?