Konferensi Internasional Tragedi 1965-66 | Frankfurt | 9-13 November 2016
Konferensi Internasional Tragedi 1965-66
Universitas Goethe Frankfurt Jerman 09-13 November 2016
Masyarakat Internasional Desak Penuntasan Tragedi 1965/66
Oleh Bedjo untung
Konferensi Internasional tentang Tragedi 1965/66 yang bertajuk Rekonsiliasi Sejarah dengan Tragedi 1965/66 diselenggarakan di Universitas Goethe Frankfurt Jerman pada 10 – 12 November 2016 dihadiri para ilmuwan, sejarawan, peneliti, para ahli, mahasiswa, seniman, pegiat HAM dan Demokrasi serta Korban Pelanggaran HAM 65 yang datang dari berbagai negara termasuk indonesia.
Konferensi dibuka dengan pidato selamat datang oleh: Prof. Dr. Arndt Graf, Goethe University Frankfurt, Dr. Elsa Clavé, Goethe University Frankfurt dan Prof. Dr. Asvi Warman Adam, LIPI, Jakarta.
Gerakan Pembebasan, Pemberontakan dan Peranan Partai Komunis Indonesia
Paparan pembuka dibawakan Prof. Dr. Pierre Monnet, Direktur Lembaga Sejarah dan Ilmu Sosial Jerman-Perancis (IFRA), Frankfurt/EHESS dengan tema Rumor, Kisah-Kisah, Cerita sebagai Obyek Sejarah.
Diteruskan dengan uraian oleh Prof. Dr. Jean-Louis Margolin dari Universitas Provinsi Aix Marseille serta Prof. Dr. Mestika Zed, dari Universitas Negeri Padang dengan tema Gerakan Pembebasan, Pemberontakan dan Peranan Partai Komunis Indonesia dalam
pemberontakan melawan kolonialis Belanda. Sesi ini dimoderatori oleh Dr. Gunnar Stange dari Universitas Wina. Masih dalam sesi ini, Prof. Dr. Asvi Warman Adam mengupas tentang sejarah proses terjadinya kasus Bandar Betsi, peristiwa Jengkol dan juga peristiwa Kanigoro.
LEKRA Tidak Membakar Buku
Sesi berikutnya, mengupas bertemakan Kekerasan Budaya dengan moderator Dr. Amanda Rath dari Universitas Goethe Frankfurt. Pembicara kunci Dr. Rhoma Dwi Aria Yuliandri dari Universitas Negeri Yogyakarta yang menguraikan masalah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tidak membakar buku dan Truly Hitosoro seorang ahli Hukum Pidana dari Tarbes yang menjelaskan peranan media pers yang menyerang LEKRA.
GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dan Rejim Diktator Suharto
Sesi terakhir di hari pertama diisi dengan diskusi bertemakan Komunisme, Atheisme dan Agama yang dipimpin oleh sang moderator Friederike Trotier dari Universitas Goethe Frankfurt. Tiga pembicara utama yaitu Prof Dr. Saskia Wieringa dari Universitas Amsterdam dan Dr. Rémy Madinier, Centre Asie du Sud-Est, CNRS, Paris dan Dr. Timo Duile, dari Universitas Bonn,Jerman.
Prof Dr. Saskia Wieringa menguraikan tentang perjuangan para perempuan Indonesia di dalam organisasi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) dikaitkan dengan Agama dan Moralitas. Gerwani sebagai organisasi perempuan yang gigih memperjuangkan emansipasi kaum perempuan, anti polygami, mendirikan panti penitipan anak, mendirikan taman kanak-kanak Melati. Namun, oleh rejim diktator Suharto GERWANI dijadikan kambing hitam sebagai organisasi perempuan a-moral dengan tuduhan asusila karena melakukan mutilasi para jenderal pada peristiwa 1965. Suatu tuduhan keji dan memutarbalikkan fakta.
Sementara itu, Dr. Rémy Madinier mengupas Komunisme dan Islam, ketegangan yang meningkat sebelum 1965. Dr. Timo Duile menjelaskan tentang Warisan (legacies) 1965 yaitu Pembentukan kembali Identitas Indonesia dalam hal Agama dan Atheisme.
Di ujung sesi terakhir di hari pertama para peserta konferensi menghadiri persembahan Pameran Photo dengan tema Senyap yang dirancang oleh Stéphane Roland dan Truly Hitosoro.
Hantu Komunis dan Perebutan Tanah
Hari ke dua diisi dengan diskusi yang bertemakan Perebutan Lahan Pertanahan dengan label Stigma Hantu Komunis dimoderatori oleh Dr. Oliver Pye dari Universitas Bonn Jerman. Ada tiga pembicara: Dr. Dianto Bachriadi, anggota KOMNAS HAM, Jakarta, Ahmad Nashih Luthfi dari Lembaga Pertanahan Nasional Jakarta dan Hilma Safitri, Agrarian Resources Center (ARC), Bandung.
Dr. Dianto Bachriadi dalam uraiannya mengatakan, persoalan sengketa pertanahan selalu dikaitkan dengan kebangkitan komunis. Para pengguna tanah yang semula mendapatkan hak konsesi dari penguasa (hak memakai lahan perkebunan karet, kelapa sawit, dll) apabila tanah tersebut dituntut untuk dikembalikan kepada pemiliknya, selalu penguasa perkebunan menakut-nakuti bahwa petani penggarap disusupi ideologi komunis. Tidak jarang sang pemodal/pengguna lahan dalam skala luas menyewa aparat keamanan untuk menindas petani yang ingin merebut kembali hak kepemilikannya. Para petani kemudian distigma komunis agar tidak lagi menuntut haknya atau mereka akan ditangkap dengan alasan mereka adalah komunis.
Ahmad Nashih Luthfi menguraikan refleksi atas pelaksanaan Reformasi Agraria tahun 1960 dan urgensi reformasi agraria di Indonesia saat ini, sedangkan pembicara ke-tiga Hilma Safitri mengupas Program Reformasi Agraria dan Tragedi 1965 di Desa Soge Kecamatan Indramayu , Jawa Barat.
Sesi berikutnya, diskusi bertajuk Film dan Stigma dengan moderator Prof. Dr. Antonia Soriente dari Universitas University l’Orientale, Napoli. Pembicaranya Benedicta Irene Purwantari Peneliti dari Harian KOMPAS, Jakarta. Ia memaparkan Representasi Tragedi 1965 dalam Perfilman di Indonesia. Juga Dr. Kar Yen Leong, dari Universitas Tamkang Taiwan menguraikan Kepercayaan Masyarakat tentang Hantu sebagai akibat Pembunuhan Massal. Dalam paparannya Dr. Kar Yen mencontohkan gedung-gedung yang ditinggal penghuninya karena pada 1965 dijadikan kegiatan PKI kini ditinggalkan penuh rumput dan sampah, angker dihuni hantu. Juga tempat-tempat pembunuhan massal sering muncul suara-suara hantu yang menakutkan sering mengganggu orang yang lewat. Ini perlu diselesaikan dengan kearifan budaya lokal, diruwat, mengirim doa, atau menguburkan kembali jenasah secara layak agar rohnya mendapat ketenangan di alam kubur.
Sesi Diskusi berikutnya sesudah istirahat makan siang di hari ke-dua dengan tema Dampak terhadap Generasi Muda dipimpin oleh Moderator Prof. Dr. Arndt Graf, dari Universitas Goethe, Frankfurt. Tampil sebagai pembicara Dr. Baskara T. Wardaya dan Dr. Yeri Wirawan dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dengan makalahnya: Rekonsiliasi, Tekanan dan Perlawanan, Datang untuk Berdamai dengan Masa Lalu di Indonesia, serta Gerakan Kiri di Indonesia. Pembicara ke-tiga Anett Keller, Asia House, Köln dengan pokok bahasan Generasi sesudah 1965 dan Narasi Alternatif. Sesi berikutnya masih dengan tema Dampak terhadap Generasi Muda, kali ini dengan Moderator Dr. Judith Bosnak, Universitas Goethe Frankfurt. Simon Gorski dari Universitas Wina mengupas tentang buku pelajaran sekolah di Indonesia setelah Gerakan 30 September 1965, kemudian dilanjutkan dengan paparan Prof. Dr. Antonia Soriente Universitas l’Orientale, Napoli dengan judul Stigma dan Kisah-Kisah dalam Khasanah Kesusasteraan Indonesia.
Dalam sesi ini ditutup dengan paparan secara visual melalui media gambar/film oleh Elisabeth Ida seorang seniwati asal Indonesia yang menetap di Bruxelles, Belgia yang menggambarkan Bayangan dan Anggapan tentang Komunis di Indonesia. Dunia Mengepung Indonesia Hari ke-tiga Sabtu 12 November 2016 diisi dengan 2 Sesi yaitu: Sesi Pleno dan Forum Inonesia.Pada Sesi Pleno dipimpin oleh Moderator Prof. Dr. Astrid Erll dari kelompok study Memory Universitas Goethe Frankfurt. Para pembicara: Visoth Chhay, Direktur Museum Tuol Sleng (Museum Genocida), Phnom Penh, Kamboja dengan tema Memory dan Rekonsiliasi. Juga, Dr. Helene Jarvis, penasehat Pemerintah Kerajaan Kamboja yang juga adalah anggota Dewan Pusat Studi Genocida dan Keadilan, Dakha, Bangladesh. Helene Jarvis juga sebagai Anggota Majelis Hakim International People’s Tribunal Tragedy 1965 Den Haag. Pembicara berikutnya Prof. Dr. Werner Konitzer, Direktur Institute Fritz Bauer untuk Riset dan Sejarah, Universitas Goethe Frankfurt.Madam Mireille Fanon Mendes-France, sebagai presiden Yayasan Frantz Fanon, Paris, Perancis. Ia memaparkan tentang Pertanggungan Jawab Negara atas Kekerasan Hak Asasi Manusia di Negara bekas Jajahan Perancis. Dr. Dianto Bachriadi, KOMNAS HAM dan Prof. Dr. Asvi Warman Adam, LIPI, Jakarta kembali memaparkan Proses yang sedang terjadi atas penyelesaian Tragedi 1965 di Indonesia. Dalam uraiannya Dr. Dianto Bachriadi menegaskan ada usaha kelompok sisa Orde Baru yang sengaja menjegal usaha Presiden Ir. Joko Widodo yang ingin mnyelesaikan kasus tragedi 1965 secara bermartabat dan berkeadilan seperti yang dituangkan dalam program Nawacita.Sementara itu, Dr. Asvi Warman Adam dalam paparannya mengajak komunitas Internasional untuk bergandengan tangan untuk penyelesaian tragedi 1965. Pengalaman menunjukkan, pembebasan massal para Tapol pada 1979 bukan iktikad baik pemerintah RI melainkan karena tekanan dunia Internasional. Karena itu, kalau dahulu pada 1965 ada semboyan “Desa Mengepung Kota” maka kini berlaku “Dunia Mengepung Indonesia”
Partai Komunis Indonesia tidak lakukan Pemberontakan pada 1965, Korban 1965 telah menjadi Tumbal Bangsa Sesi terakhir dalam Forum Indonesia dimoderatori oleh Prof. Dr. Elsa Clavé, Universitas Goethe Frankfurt, dengan menampilkan pembicara: Dr. Nani Nurrachman-Sutojo, psychologist, Universitas Atma Jaya, Jakarta. Ia membawakan makalahnya berjudul Kenangan Pribadi tragedi 1965 dan Sejarah sesudah 1965. Ia sebagai anak perempuan dari mendiang Jenderal Sutojo Siswomihardjo yang diculik dan dibunuh pada dinihari 01 Oktober 1965. Pembicara berikutnya ialah Bedjo Untung Ketua YPKP 65 Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66 dengan uraian yang berjudul Rekonstruksi Sejarah dan Kekerasan Negara pada 1965 dari Perspektif Korban.
Pembicara menguraikan latar belakang terjadinya kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto atas Presiden Sukarno, menjelaskan tidak ada bukti dari apa yang sering dituduhkan oleh penguasa militer bahwa PKI melakukan pemberontakan. Tidak ada konsentrasi massa anggota PKI untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan negara. Tidak ada pemusatan senjata yang ditemukan untuk melakukan makar terhadap pemerintah yang sah. Bukti nyata adalah, PKI mematuhi instruksi Presiden Sukarno, untuk tidak melawan. Para anggota PKI datang secara sukarela untuk melapor diri ke kantor Kodim/ Koramil. Tapi, dari barak penahanan itu, banyak anggota PKI yang kemudian diculik dan dibunuh.
Lebih lanjut Bedjo Untung mengatakan dalam konferensi Frankfurt, Negara-Negara Barat mengambil keuntungan besar atas naiknya Rezim Orde Baru yang militeristik di Indonesia. Milyaran dolar investasi modal asing, pembukaan pertambangan, pengerukan, penjarahan kekayaan alam. Semuanya dieksplorasi dan diserap untuk keuntungan negara-negara Barat. Sementara itu, Korban 1965 telah menjadi martir Bangsa, untuk kemakmuran negara-negara Barat dan para jendral militer korup di pemerintahan Orde Baru.
Sekarang, saatnya Komunitas Internasional meningkatkan tekanan atas pemerintah Indonesia. (Pidato Lengkap di Frankfurt disiarkan secara terpisah di Soeara Kita edisi ini).
Sebagai pembicara penutup Diah Wahyuningsih Naat seorang Guru SMA Negeri Batam, Riau mengisahkan pengalamannya dalam mengajarkan Sejarah 1965 kepada siswanya, serta kesulitannya untuk menghadiri konferensi Internasional di Frankfurt ini karena dari pihak Dinas Kemendikbud tidak memberi ijin. Untungnya, ada keberanian dari Kepala Sekolah sehingga Diah bisa tampil di Frankfurt.
Arti Penting Konferensi Internasional Frankfurt
Dunia semakin tahu bahwa ada kejahatan kemanusiaan dan genocida dahsyat di Indonesia yang menewaskan 500. 000 – 3.000.000 jiwa yang dilakukan oleh militer yang sampai hari ini belum dipertanggungjawabkan oleh pemerintah Republik Indonesia secara hukum. Bahkan, penguasa militer bekerjasama dengan ormas intoleran anti HAM dan Demokrasi masih terus melakukan persekusi, pengejaran, dan pemusnahan kelompok orang yang berbeda ideologi. Ini berarti ada terjadi kejahatan yang bukan hanya terjadi pada 1965 namun masih berlanjut hingga sekarang. Indonesia sebagai anggota PBB dan ikut menandatangani Deklarasi HAM PBB cepat atau lambat, harus menyelesaikannya.
***
Your comment?