Press-Release | Usulan Dewan Kerukunan Nasional: Strategi Wiranto Menghindari Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Peristiwa Pelanggaran HAM masa lalu

Jumat, 06 Januari 2017
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menolak usulan Menkopolhukam Wiranto terkait pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Penolakan ini terkait dengan tujuan pembentukan DKN untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM melalui musyawarah mufakat. Menurut Wiranto, “kasus HAM masa lalu yang masih menjadi beban Negara akan diselesaikan dengan cara nonyudisial, melalui Dewan Kerukunan Nasional.” (http://nasional.sindonews.com/read/1168200/12/jokowi-setuju-untuk-dibentuk-dewan-kerukunan-nasional-1483535212). Selanjutnya dikatakan, “Pembentukan DKN bertujuan untuk mengurangi kebiasaan membawa perkara-perkara yang diduga pelanggaran HAM ke peradilan. Sebab, kata Wiranto, hal itu tidak sesuai dengan kultur Indonesia yaitu penyelesain perkara secara mufakat.” (https://m.tempo.co/read/news/2017/01/05/078832825/wiranto-bentuk-dewan-kerukunan-nasional makhluk-apa-itu).
Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan permasalahan tindak pidana pelanggaran HAM dengan cara musyawarah mufakat dan memandang proses penyelesaian di peradilan akan menyebabkan konflik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia merupakan strategi Wiranto menghidupkan budaya Orde Baru yang tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap tindak kejahatan. Wiranto memiliki agenda terselubung dengan dalih mengunakan kata ‘kerukunan’, seolah-olah Wiranto ingin menunjukkan dirinya punya niat baik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Padahal gagasan pembentukan DKN terlihat jelas agenda cuci tangan, melanggengkan impunitas dan menghindari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Wiranto adalah salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Nama Wiranto disebutkan didalam laporan Komnas HAM; seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I dan II, Penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi 1997/1998, Biak Berdarah, dan juga tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandate Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa, Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku. Wiranto juga tidak bisa begerak masuk dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Wathc List) ditahun 2003. Pada masa Presiden KH Abdulrrahman Wahid atau Gus Dur, Wiranto juga dipecat dari jabatan Menko Polkam, karena dugaan keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
Lebih jauh, kami mempertanyakan, sejak kapan Wiranto menjadi penafsir ilmu Budaya bangsa? Kalaupun merujuk pada budaya untuk musyawarah dan mufakat, hal ini didasari pada budaya yang mana? Tindakan ini jelas semakin lucu, diberbagai persoalan perampasan tanah untuk investasi dan pembangunan, hukum dan budaya adat masyarakat nyaris tidak dilindungi. Sementara Wiranto menggunakan dasar budaya untuk kepentingan melindungi kejahatan Negara dimana beberapa diantaranya nama Wiranto diduga bertanggung jawab.
Perkara-perkara pelanggaran HAM masa lalu tidak bisa hanya diselesaikan melalui musyawarah. Penegakan hukum merupakan ruh penting dalam pemenuhan hak-hak korban. Pernyataan Wiranto yang menyebutkan tidak perlu penegakan hukum melecehkan konstitusi UUD 1945. Pasal 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Wiranto menyelewengkan Amanat Reformasi, UU HAM No. 39/1999, UU Pengadilan HAM No. 26/2000, serta berbagai instrument hukum HAM lainnya yang telah dibuat oleh Pemerintah.
Dalam konteks visi misi politik Presiden Jokowi, gagasan Wiranto bertolak belakang. Presiden Joko Widodo, dalam Nawa Cita dan RPJMN, dan pidatonya pada peringatan hari HAM, tanggal 9 Desember 2014, dan tanggal 11 Desember 2015, menyatakan bahwa dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu ada dua jalan yang bisa dilalui, yaitu lewat jalan rekonsiliasi secara menyeluruh, dan lewat pengadilan HAM ad hoc.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya mempertebal nilai-nilai kemanusiaan antara relasi pemerintah dan rakyat; termasuk juga menghadirkan keberaniaan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jalan keluarnya adalah kita semua harus punya keberanian, sekali lagi punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial maupun non yudisial.
Oleh karena itu, usulan Wiranto tidak dapat diterima karena itu adalah inkonstitusional. Presiden harus menghentikan agenda terselubung dari Menkopolhukam. Presiden harus menunjukkan niat baik dan taat prosedur hukum untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu.
Momentum ini juga menguji keberanian Presiden Jokowi untuk mencopot Menkopolhukam, karena tidak sepatutnya pihak yang harusnya dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat justru dibiarkan atau bahkan didukung oleh Presiden untuk mengambil peran penyelesaian pelanggaran HAM. Jika dibiarkan, Presiden Jokowi secara sadar dan nyata berkontribusi melanggengkan impunitas dan tidak berdaya dibawah control actor-actor kekerasan dan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo, agar segera mengambil sikap tegas untuk meminta Kejaksaan Agung melakukan penyidikan atas kasus-kasus yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Sejalan dengan itu, Presiden dapat membentuk Komite Kepresiden yang bertanggungjawab langsung dibawah kendali Presiden untuk membantu Presiden memperjelas skema penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden.
Jakarta, 6 Januari 2017
Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, S.H., M.A.
Koordinator
Your comment?