Jeju4.3 dan Korelasinya bagi Indonesia

1569 Viewed Redaksi 0 respond
JEJU: Pulau “vulcano” terbesar di semenanjung Korea yang merubah dirinya dari “pulau kematian” pasca genosida 1948-1954 menjadi “pulau perdamaian” yang bernilai sejarah dan menjadikan Pulau Jeju sebagai pilihan destinasi utama pariwisata Korea Selatan [Foto: Humas YPKP’65]
JEJU: Pulau “vulcano” terbesar di semenanjung Korea yang merubah dirinya dari “pulau kematian” pasca genosida 1948-1954 menjadi “pulau perdamaian” yang bernilai sejarah dan menjadikan Pulau Jeju sebagai pilihan destinasi utama pariwisata Korea Selatan [Foto: Humas YPKP’65]

Sekilas tentang Jeju4.3

Jeju4.3 (Jeju 3 April; dibaca:Jeju Sa-sam Sageon_Kor) adalah penanda dokumenter untuk tragedi pulau Jeju yang terjadi antara 1948-1954, suatu peristiwa pembasmian massal atas penduduk pulau terbesar di semenanjung Korea. Peristiwa ini diawali pemberontakan bersenjata penduduk pulau terhadap pemerintah transisional pendudukan dibawah pimpinan militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea Selatan, pasca berakhirnya rezime pendudukan Dai-Nippon; seiring kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.

Dengan dalih pembersihan komunis atas partai buruh Korea Selatan yang berada di belakang pemberontakan bersenjata, lalu pembasmian massal (baca: genosida) atas 30.000-40.000 penduduk pulau yang dilancarkan melalui operasi militer oleh rezime sebagai balasan atas pemberontakan itu. Aksi genosida ini melibatkan pasukan cadangan kepolisian Korea Selatan, Angkatan Bersenjata Republik Korea yang menyertakan organisasi serupa “para-militer” pemuda sayap kanan Semenanjung Korea. Semua dibawah kendali militer Angkatan Darat Amerika Serikat.

Tak kurang dari seperlima populasi pulau terbunuh dalam genosida ini, termasuk perempuan dan banyak anak-anak di dalamnya ikut menjadi korban kejahatan genosida oleh militer. Sekitar 70 persen desa-desa di seantero pulau Jeju terbakar hangus. Serangkaian peristiwa tragis “pemberontakan dan pembantaian Jeju” ini terjadi sejak 3 April 1948 hingga 21 September 1954; menyisakan luka dan jejak hitam perjalanan sejarah bangsa Korea.

 

Bagaimana Jeju Bangkit

Pada tahun 2000 Korea Selatan membentuk sebuah Komite Nasional Investigasi Kebenaran tentang Jeju 4.3. Sebuah Komisi Nasional yang bertujuan untuk menyelidiki tragedi Genosida Jeju4.3. Kemudian pada 2003 melalui laporan pertamanya, Komite Nasional Investigasi Kebenaran [Jeju4.3 Research Institute] ini mempublish temuan awal risetnya, dimana –setidaknya- 14.028 penduduk pulau terbesar di Korea Selatan ini dibantai; sebagian lainnya ditangkap dan dijebloskan penjara tanpa pengadilan.[1]

Selang tiga tahun berikutnya (2006) pada sebuah upacara peringatan tragedi Jeju 4.3 pemerintah Presiden Roh Moo-hyun secara resmi menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada rakyat di Pulau Jeju.

Dalam konteks Indonesia, ini perbedaan mendasar dari kedua negara, Korea dan Indonesia; dalam hal memandang kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembasmian massal (genosida) yang pernah terjadi di kedua wilayah negara pada masa lalunya.

Korea berani secara terbuka dan jujur mengakui adanya kejahatan genosida Jeju 4.3 dan meminta maaf kepada -terutama- rakyat Jeju-si yang telah menjadi korban. Sedangkan Indonesia masih tertutup dalam dalih “komunis yang memberontak” atau “kudeta PKI” dengan cara selalu mengait-kaitkan upaya penuntasan kejahatan Genosida 65-66 dengan kebangkitan PKI yang cuma hoaks belaka. Pengakuan dan permintaan maaf pemerintah Korea Selatan terhadap rakyat Pulau Jeju ini menguatkan misi lanjutan Komite Nasional Jeju4.3 dalam melaksanakan kerja-kerja kemanusiaannya.

Sejak 28 Maret 2008, pemerintah Korea Selatan selesai membangun Jeju Peace 4.3 Park dan Memorial Hall yang terletak di Bonggae-dong, Kota Jeju. Ini menjadikannya sebagai situs utama dari “insiden” Jeju4.3 dan pemerintah membangun pemakaman umum yang berisi ribuan nisan korban tewas atau nisan tanpa nama bagi yang tak diidentifikasi. Semua korban dipahatkan pada dinding batu yang terpampang dengan kokoh di serambi utama Jeju Memorial Hall.

MEMORIAL: Foto kunjungan ke Jeju4.3 Memorial. Di latar belakang nampak tertera daftar lebih 30.000 nama korban Genosida Pulau Jeju yang dipahatkan pada dinding batu [Foto: Huma YPKP 65]

MEMORIAL: Foto kunjungan ke Jeju4.3 Memorial. Di latar belakang nampak tertera daftar lebih 30.000 nama korban Genosida Pulau Jeju yang dipahatkan pada dinding batu [Foto: Huma YPKP 65]

Sulit memutus dan menafikan korelasi antara upaya memorialisasi seperti ini dengan kemauan membangun dan meneguhkan ingatan kolektif pada tragedi kelam untuk mewujudkan harapan agar kejadian serupa tak terulang kembali pada masa berikutnya. Sesuatu yang dalam konteks Indonesia menjadi paradoks dan berbanding terbalik dengan realitas sejarah dimana bangsa ini pernah mengalami genosida serupa pada Tragedi 1965-66; dan tahun-tahun setelahnya..

 

Memulai Langkah Mengakhiri Impunitas

Tragedi Jeju4.3 diawali dengan pemberontakan bersenjata oleh rakyat pulau. Apa yang terjadi dengan Jeju4.3  -dalam konteks Indonesia dan dimensi masanya- mungkin bisa disejajarkan dengan insiden “Madiun Affair” yang dalam narasi tunggal Orba disebut-sebut sebagai “pemberontakan PKI” 1948. Selain diketahui bahwa sebenarnya konflik ini bisa diredam, juga dengan menihilkan besarnya korban jatuh dari kalangan PKI. Sedangkan dalam narasi lanjutannya seringkali “pemberontakan” ini disangkut-pautkan untuk membangun dalih bagi rezim Orba guna melegitimasi kejahatan genosida 65 melalui operasi militer yang dilancarkan secara membabi-buta.

Operasi pembasmian komunis ini meninggalkan banyak sekali kuburan massal sebagai jejak kejahatan genosida 1965.[2] Tapi berbeda dengan Indonesia yang ditabukan, Pulau Jeju di semenanjung Korea kini bahkan memiliki situs kuburan massal yang dijadikan museum Genosida Jeju4.3; dilengkapi dengan berbagai media dokumentasinya. Bahkan di dalamnya ada areal kuburan massal yang dibiarkan dan dipelihara sebagaimana adanya saat awal ditemukan. Tengkorak dan tulang-belulang korban genosida Pulau Jeju terserak di areal yang berada di dalam museum itu.

Jeju4.3 Memorial [Foto: Humas YPKP 65]

Jeju4.3 Memorial [Foto: Humas YPKP 65]

Di tempat lainnya dibangun Jeju4.3 Memorial Park yang terdiri dari bangunan Memorial Hall berbentuk melengkung separuh globe dan tak jauh dari gedung ini terdapat taman makam para korban genosida yang tertata dan dipelihara dengan apiknya. Publik bisa datang ke sini untuk melakukan ziarah maupun kunjungan berdimensi sejarah.

Apa yang dilakukan pemerintah Korea Selatan dalam merespons desakan rakyat Pulau Jeju yang dilembagakan melalui Jeju4.3 Research Institute layak dijadikan teladan Indonesia dalam kerangka penyelesaian yang berkeadilan bagi korban Genosida termasuk kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi setelahnya.

Proses sampai pada capaian ini, tentu saja, tak sesederhana nampaknya. Terlebih dalam konteks Indonesia hari ini, dimana problem kemanusiaan masih juga disilangsengkarutkan dengan kepentingan politik kekuasaan guna membangun dan melanggengkan impunitas para pelakunya. Mustahil pula berharap kebaikan penguasa tanpa melancarkan desakan terus menerus. Pengalaman Exhumation Kuburan Situkup (Wonosobo, 2000) dan Banjar Masean (Gianyar, 2017) penting dijadikan pengalaman. Di Pulau Buru juga tersedia syarat-syaratnya.

Jakarta, 30 Oktober 2018

____

[1]  Lihat: http://ypkp1965.org/blog/2018/10/09/kejahatan-genosida-asia-dibahas-di pulau-jeju/
[2] Data Kuburan Massal Korban Tragedi65 pada YPKP 65 sampai dengan akhir Oktober 2018: 268 lokasi  
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
jeju_solidaritas-internasional_IFR.1

Statement | Pernyataan Solidaritas Internasional menentang Unjuk Kekuatan Armada Internasional di Jeju 2018

Foto-foto korban Khmer Merah di Museum Genosida Tuol Sleng di Phnom Penh, Kamboja, Kamis. KreditKreditAdam Dean untuk The New York Times

Pembantaian Khmer Merah di Kamboja Resmi Disebut Genosida

Related posts
Your comment?
Leave a Reply