Dulawi dikubur hidup-hidup di Sokawati
- Tabur bunga di kuburan massal korban Tragedi 1965-66 Pemalang [1]
“
Pada suatu malam ayah saya Dulawi yang tinggal di desa Karangasem, dijemput serombongan orang dan dinaikkan ke atas truk bertuliskan “Baniara”. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari arah bulak Kendalsari, bagian wilayah Petarukan di Kabupaten Pemalang.
Banyak orang juga mendengar suara tembakan itu. Saya masih ingat saat itu sekira pukul 11 malam, situasinya gelap mencekam; belum ada listrik di Karangasem. Keesokan harinya didapat keterangan dari orang-orang Sokawati yang diperintah menguburkan mayat dengan bantuan penerangan lampu “petromax”.
Ayah saya Dulawi, seorang polisi desa, masih hidup ketika itu dan bahkan gapai tangannya berpegangan pada kaki orang yang hendak mengurug tanah liang kuburnya; sementara tubuhnya berada pada salah satu “blumbang” dari dua lubang galian yang telah disiapkan.
Menurut pak Marwat, salah satu warga setempat yang diperintah menguburkan mayat-mayat, lubang itu diketahui berada di sisi kiri dekat gerbang masuk makam Sokawati di Ampelgading. Ia masih mendengar permintaan poldes Dulawi yang minta dikubur saja di Karangasem desanya..
Namun, alih-alih memenuhi permintaan terakhir sang poldes, Dulawi yang terluka tapi belum binasa; malah dikubur hidup-hidup di lokasi itu!
“
Keadilan yang dikuburkan
Begitulah tuturan sedih Casini, 64, sembari terisak di dekat dua kapling makam, mengisahkan kembali akhir hidup sang ayah dalam tragedi pasca 1 Oktober 1965. Minggu (28/8) pagi itu memang merupakan agenda ziarah kuburan massal para korban tragedi “pembasmian” PKI di seluruh Pemalang.
Bagi Casini, kejahatan luar biasa yang mendera keluarganya menyisakan trauma berkepanjangan. Seorang Polwan yang menjaga para peziarah merangkul bahunya. Di masalalu, perempuan ini bukan hanya kehilangan ayah yang diketahuinya dibunuh dengan cara amat keji, tetapi juga harus berpisah dengan suaminya, Cabari yang ditangkap aparat dan dijebloskan ke penjara Pemalang hingga diasingkan ke Pulau Buru; dengan total waktu 13 tahun.
Ketiganya: pembunuhan, pemenjaraan dan pengasingan itu; terjadi tanpa proses hukum maupun putusan pengadilan.
Tak ada pengadilan buat orang-orang yang dituduh PKI. Tak ada permaafan, apalagi pembelaan dari siapa pun juga, termasuk dari negara berpancasila. Seakan semua kejahatan terhadap kemanusiaan itu memang menjadi lumrah saja kejadiannya dimana-mana.
Keadilan? Jangan tanya itu, karena keadilan telah –ikut pula- dikubur hidup-hidup bersama poldes Dulawi dan selusin orang lainnya yang dibantai dengan cara ditembak di bulak desa Kendalsari sebelum kemudian dibenam di pemakaman umum Sokawati kala itu.
13 korban di kuburan massal Sokawati
Ada 13 orang menjadi korban pembantaian dari apa yang disebut sebagai operasi “pembasmian” PKI. Ke 13 orang ini dijemput dan diangkut dengan truk beraksara “Baniara” pada malam-malam buta.
Kebanyakan dari korban ini adalah guru terbaik (9 orang), petani (3 orang) dan seorang polisi desa. Ke 13 korban ini kemudian dikuburkan di 2 lokasi bersebelahan.
Trackbacks/Pingbacks
[…] Tabur bunga di kuburan massal korban Tragedi 1965-66 Pemalang [1] […]