Cerpen | Coblos dengan Air Sirih-Pinang
Oleh Dadolin Murak**
Sungguh anggun ferik,1 mama Carmen memakai kebaya dan tais2. Pagi-pagi buta, ayam baru saja berkokok, matahari belum keluar dari peraduannya, ferik Carmen telah bangun. Merebus jagung muda, panaskan air untuk membuat kopi. Ia menyiapkan makanan sebelum melangkah ke tempat pemungutan suara. Katuas,3 bapak Victor pun bangun lebih awal. Ayam lurik aduannya berkokok dalam suasana yang masih gelap. Dia beranjak memberi jagung dan air untuk kelima ayam lurik yang berada di bawah atap samping rumah. Ayam-ayam lurik miliknya ini lebih penting dalam hidupnya. Terkadang, meski mereka kekurangan makanan, tapi beberapa biji jagung selalu saja tersedia untuk ayam-ayam lurik ini.
“Hei, Ferik. Cepatlah sedikit! Kita harus ke tempat pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan,” teriak katuas Victor dari halaman rumah, sembari menggendong seekor ayam lurik.
“Asíca, ketiga kakakmu sudah pergi mandi kan?”
“Kak Azé dan kak Nitu yang pergi mandi di kali, Mama. Kak Mario, tadi malam tidak pulang.”
“O ya..? Kalau begitu, dia tidur di mana?”
“Kemarin siang, katanya dia mau tidur di kantor Partidu Haburas Mehi (Partai Pelestari Mimpi), Mama.”
“Jagung dan ubi jalar sudah masak kan?,” teriak katuas Victor yang masih berada di bawah atap samping rumah.
“Sudah masak, Papa.”
Masuk ke dalam rumah, katuas Victor langsung melangkah ke meja untuk makan. Ferik Carmen dan Asíca putrinya, makan di dapur saja. Ini sudah biasa dalam kehidupan mereka. Kurang elok bila perempuan duduk bersama dan makan semeja dengan pria. Perempuan selalu saja duduk di belakang.
Mereka berpakaian sangat rapi. Katuas Victor memakai kemeja putih dengan jas warna hitam, meski cuaca sangat panas saat itu. Ferik Carmen memakai tais-feto dengan kebaya warna hijau, konde di rambutnya, dan juga memakai kalung morten. Dia juga membawa sirih-pinang dengan kapur dalam sebuah tas kecil. Ferik Carmen kalau tidak makan sirih sehari saja, kepalanya bisa sakit dan seakan-akan hendak meledak. Ketika dia sakit kepala, jangan coba-coba memberi obat panadol. Sampai berapa butir pun yang diberikan, tidak akan menyembuhkan sakit kepalanya. Tapi sodorkan saja pinang, sirih dan kapur, inilah obat mujarabnya. Sakit kepalanya hilang, lenyap seketika.
“Mama, bergegaslah! Papa sudah pergi. Kak Azé dan kak Nitu pun sudah pergi.”
Asíca memanggil mamanya, tapi ibunya masih di dalam kamar. Tiba-tiba ferik Carmen teringat kembali banyak hal sebelum melangkah ke tempat pemungutan suara. Sebulan ini, dalam keluarga kecil mereka kadang-kadang muncul ketegangan di antara ketiga kakak-beradik. Mario menjabat sebagai Koordinator Partidu Haburas Mehi (PHM – Partai Pelestari Mimpi) di dusun mereka. Nitu aktif di Partidu Foin Mehi (PFM – Partai Baru Mimpi), dan Azé sebagai pemimpin pemuda Partidu Mehi Antigu (PMA – Partai Mimpi Kuno). Katuas Victor mati-matian mendukung Mario, anaknya. Karena selama ini, Mario selalu memberi uang sedikit-sedikit kepada katuas untuk sabung ayam. Mario sering terima telepon dari Koordinator Kampanye PHM, Kaldy Leite.
Minggu lalu ketika ferik Carmen sedang memasak di dalam dapur, melalui celah dinding bebak4 dia mendengar Mario berbincang-bincang dengan ketuanya, Tuan Kaldy yang mampir minum kopi usai kampanye.
“Hei, Mario! Kenapa kamu tidak bisa mencegah kedua adikmu yang brengsek itu. Saya dengar, mereka mulai merampas sebagian pengikut kita. Benarkah begitu?,” Kaldy mengusut Mario dengan suara tinggi.
“Tidak, tidak! Tidak, Pak Ketua. Pengikut kita masih tetap kompak kok.”
“Baiklah, kamu harus bekerja keras. Saya dengar kabar, kamu akan menikah bulan November. Barangkali kamu butuh bantuan?”
“Ehhhe, betul Pak Ketua. Saya dan kekasihku akan adakan pesta pernikahan di sini sih…tapi…,” dengan agak malu, matanya menatap ke lantai, Mario menjawab pertanyaan ketuanya. Namun sebelum dia selesai bicara, Kaldy langsung menyela.
“Baik Mario. Nanti saya bantu untuk hangatkan kerongkongan para tamu. Saya akan kirim beberapa dos bir untuk kamu. Tapi yang penting kamu harus kerja keras. Kalau massa kita berafiliasi ke Partidu Foin Mehi, ini tidak baik. Tuan Presiden bisa menggantung mati kita,” Kaldy menjelaskan lebih lanjut.
Ferik Carmen tidak suka pada ketuanya Mario, karena pada suatu hari dia muncul ke rumah berteriak dan mencaci maki kedua adik Mario dengan kata-kata yang sangat kasar.
“Kalian berdua ini, Nitu dan Azé, jangan berbuat macam-macam eeeh! Bangsa ini hanya bisa maju kalau bersama dengan Partidu Haburas Mehi. PHM sudah memiliki panduan tentang mimpi. Dengan demikian, kalau kalian masuk PHM, mimpi kalian bisa berlanjut di jalan yang benar. Mimpi kalian akan sama persis dengan impian Tuan Presiden partai kita. Dengan demikian, lebih baik kalian berdua ikuti saja kakak kalian, Mario. Kalian berdua coba lihat, kakak kalian tidak punya pekerjaan formal, tapi dia selalu ada uang. Betul kan?,” Kaldy bicara dengan sinis dan bercakak pinggang di hadapan mereka berdua.
Cuaca panas dan debu yang terbang ke sana-kemari sedikit mengotori pakaian mereka. Hampir satu jam mereka berjalan ke pusat pemungutan suara. Ketika pusat pemungutan suara dibuka, mereka berdiri dalam barisan. Cuaca panas yang membakar kulit mereka, tidak menghalangi mereka untuk memberikan suara. Keringat bercucuran, haus, tapi mereka tidak menghindar dari antrian. Di samping kiri-kanan, ferik Carmen melihat orang-orang berpakaian dengan berbagai macam warna. Ada yang wajahnya kelihatan seram, ada pula yang berwajah ramah. Mereka menggantung kartu identitas. Ada pula yang memakai topi bergambar foto pemimpin mereka masing-masing.
“Mama, kakak-kakak ada di sana.”
Ferik Carmen memandang ketiga anaknya. Tapi mereka berdiri terpisah-pisah.…Mario memakai baju warna putih dan biru. Nitu memakai baju hijau dan biru. Azé memakai baju merah dan kuning. Mereka juga menggantung kartu identitas.
“Kakak-kakakmu bikin apa, Asíca?”
“Hai Mama, mereka ini yang memantau dan mengontrol kita yang datang mencoblos kertas suara. Orang menyebut mereka ini PRISKAIS. Kalau ada hal tertentu yang salah, mereka yang memberi laporan.”
Asica keliru sebut Fiskais (Pemantau pemilu) menjadi Priskais. Maklum, Asíca tidak sempat menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Dia cuma tinggal di rumah, membantu ibunya saban hari. Terkadang mereka juga bekerja di kebun.
“Lapor, lapor apaan?,” ferik Carmen bertanya dengan nada selidik karena tidak mengerti prosesnya.
“Eeih Mama, kita tunggu untuk coblos sajalah…. Eh Mama, kemarin saya lihat kak Mario pegang uang satu amplop. Sorenya, saya ke pasar bertemu om Toi. Katanya kak Mario barusan serahkan uang 100 dolar kepada mereka.”
“Kalau begitu benar, kemarin saya lihat dia memberi uang ke papamu 150 dolar. Tapi Papa tidak serahkan ke saya. Siapa yang memberi uang itu ke Mario ya?”
“Eeh, biarkan saja, Mama. Kita sudah dekat untuk coblos.”
Mario dengan ayahnya, katuas Victor selalu bersekongkol. Tidak pernah berterus-terang hal-hal seperti ini kepada ibu dan saudara-saudarinya. Kadang-kadang dia muncul ke rumah membawa bir, tapi dia dan ayahnya yang diam-diam meminumnya. Dia tidak suka pada adik-adiknya, lebih-lebih kedua adik laki-laki. Padahal kedua adiknya selalu rajin menggarap sawah mereka. Keadaan semacam ini membuat ferik Carmen kurang suka pada anak sulungnya dan suaminya.
“Asíca, kita coblos yang mana? Foto dalam kertas ini banyak sekali nih.”
“Kak Mario bilang apa, Mama? Kita lebih baik ikuti saja apa yang dikatakan kak Mario,” Asica perlahan-lahan menjelaskan kepada ibunya mengenai kertas suara.
Sebelum melangkah ke bilik suara untuk memberikan suaranya, ferik Carmen mengeluarkan sirih-pinang dengan kapur dan langsung mengunyahnya.
“Hei, Mama jangan makan sirih dululah…tunggu sebentar lagi tidak bisakah….?”
“Eiiih, kepala saya sudah mulai sakit, kita sudah menunggu dua jam,” sambil makan sirih ferik Carmen bicara menatap putrinya.
Ketika dia terima kertas suara dan paku untuk mencoblos, semua mata ketiga anaknya memandang ke arahnya. Melirik lagi ke samping, suaminya pun ikut menatapnya. Suaminya sedang berdiri dengan beberapa pembesar dari PHM. Dari tatapan mereka, kelihatan bahwa mereka masing-masing menginginkan ibunya mencoblos partai mereka.
Ferik Carmen memegang paku dengan tangan gemetar. Agak lama ia memperhatikan kertas suara yang memuat aneka ragam foto. Tiba-tiba pikirannya melayang kembali ke beberapa tahun silam. Tahun 1999, tepatnya tanggal 30 bulan Agustus. Waktu pelaksanaan referendum. Saat itu, pagi-pagi sekali mereka semua berpakaian bersih dan rapih, siap mengikuti referendum. Walaupun malam sebelumnya, milisi dan militer baru saja membakar lagi rumah-rumah di desa mereka. Cuma ada dua pilihan. Jelas, mereka coblos pilihan ‘menolak otonomi’. Akan tetapi seusai referendum, para milisi dan Nanggala/Kopassus langsung menembak mati anak laki-lakinya yang sulung, di depan rumah mereka. Ferik Carmen masih ingat secara jelas tragedi itu. Tubuh anaknya jatuh ke tanah, darah mengalir bagaikan aliran air. Peluru menembus dadanya dan keluar di belakang punggung dengan lubang yang besar. Dia berlari menggendong tubuh putranya. Dia mendengar satu kata terakhir dari putranya: …..Mamaaa……nafasnya pun berhenti seketika. Ferik Carmen menangis, berteriak, tapi cuma burung-burung liar yang mendengar ratapannya. Para milisi dan Nanggala terus berlalu begitu saja.
Sambil memegang paku, air mata ferik Carmen jatuh di atas kertas suara. Tangannya gemetar. Dia meletakkan kembali paku itu, dia melap mulutnya dengan tangan, kemudian dia meludah air sirih-pinang yang dikunyahnya sejak tadi ke dalam telapak tangannya. Dia mengolesi satu ujung jarinya sampai merah. Kemudian, dia mengolesi kertas suara seluruhnya dengan air sirih-pinang merah. Dia menatap dengan tajam kertas suara itu, kemudian dia melangkah ke depan, dengan santai dia memasukkan ke kotak suara. Otaknya masih tetap mengingat peluru yang menembus dada putranya. Dia bertanya pada dirinya, “Kenapa mereka membunuh anakku seperti ini?” Dia pun marah dan sedih melihat putra-putranya belum juga memperoleh pekerjaan yang layak, meski mereka sudah tamat sekolah.
Dia melangkah keluar, Asíca putrinya sedang menunggunya.
“Mama coblos yang mana?, kenapa terlalu lama begitu? Hei, mata Mama merah sekali seperti habis menangis,” dengan sedih Asíca memeluk ibunya.
Ferik Carmen diam saja. Dalam hati dia masih terus bertanya, “Kenapa mereka membunuh putra saya…?”
“Air sirih-pinang merah di kertas suara itulah darah anakku,” dengan hati yang hancur ferik Carmen bicara pada dirinya.
Tiba-tiba dia berbicara pada Asíca dengan berlinang air mata.
“Saya ingin para pembesar partai politik melihat darah kakakmu di kertas suara tadi. Saya tunggu, suatu hari nanti orang-orang yang membunuh kakakmu akan menerima hukuman yang setimpal.”
“Apa…? Mama mengolesi kertas suara dengan air sirih-pinang?”
___
Santa Cruz, Dili, 19/7/2017.
**Dadolin Murak adalah Penyair and Penulis asal Timor-Leste yang tinggal di Dili. Antologi puisinya bersama Vitália Zé, ‘Sé mak Feto ba Ó?’ (Siapakah Perempuan di Mata Kamu?), diterbitkan oleh Livros & Companhia – Timor pada bulan Juni 2019.
Keterangan:
*Judul asli Cerpen ini adalah ‘Tuu ho Bua-Malus Been’ (bahasa Tetun) dan pernah diterbitkan oleh koran nasional di Dili. Dialihbahasakan oleh Antonino Delimas. Telah diterjemahkan juga ke dalam bahasa Portugis dan Inggris dan diterbitkan di Quebec, Canada di link ini: http://reconciliationtim.ca.
1 Ferik: Mama, mama-tua, pangilan lazim untuk mama-mama.
2 Katuas: Bapak, bapak-tua.
3 Tais: Kain tenunan tradisional.
4 Bebak: Batang pohon palem yang dijadikan dinding rumah.
Hey there! I could have sworn I’ve been to this blog before but after checking through some of the post
I realized it’s new to me. Anyhow, I’m definitely
delighted I found it and I’ll be bookmarking and checking back frequently!