Api di Kereta dari Moscow ke Berlin [2]

3403 Viewed Redaksi 0 respond
KIEV UNIVERSITY: Universitas Taras Shevchenko (Kiev University of Taras G. Shevchenko) bercat merah pada dinding bangunan utama sementara bagian atas dan bawah kolomnya dicat warna hitam. [Photo-Credit: Vincent Beretti, Encyclopedia of Ukraine]
KIEV UNIVERSITY: Universitas Taras Shevchenko (Kiev University of Taras G. Shevchenko) bercat merah pada dinding bangunan utama sementara bagian atas dan bawah kolomnya dicat warna hitam. [Photo-Credit: Vincent Beretti, Encyclopedia of Ukraine]

Para penerima beasiswa yang dikirim ke luar negeri adalah “Mahasiswa ID” (Mahasiswa Ikatan Dinas_Red) karena memang terikat oleh suatu perjanjian bahwa setelah ia tamat studi, maka  wajib baginya pulang dan bekerja pada pemerintah Soekarno yang mengirimnya. Membangun dan memajukan negara memang mensyaratkan sumber daya manusia yang bukan saja secara moril siap memasuki dunia kerja, tapi juga memiliki kapasitas dan menguasai ilmu pengetahuan yang ‘mumpuni’; serta memiliki keahlian di bidangnya.

Jadilah, Willy (Nama lengkapnya Willy R Wirantaprawira_Red) memilih mengambil studi hukum internasional di Taras Shevchenko National University of Kiev; sebuah universitas tertua ketiga setelah Lviv University dan Universitas Kharkiv. Universitas ini didirikan pada tahun 1834 semasa kekaisaran Tsar Nikolai I (berkuasa 1825-1855) di Rusia.5 Semula universitas ini bernama Universitas ‘Imperial Kiev’ Saint Vladimir dan sempat berganti-ganti nama hingga tahun 1939 secara resmi menjadi Universitas Taras Shevchenko.

Mahasiswa asing pertama dari Universitas Taras Shevchenko berasal dari Kuba, Guinea, Indonesia, Ghana, Togo, Nigeria, Kamerun, Benin, Zanzibar, Yaman, Aljazair dan Afghanistan. Dan Willy R Wirantaprawira adalah satu dari sepuluh mahasiswa Indonesia yang dikirim ke sana pada 1963. Kelak, antara 2014-2017 universitas ini tercatat dalam 500 universitas terbaik di dunia (QS World University Rankings). Prestasi lain universitas ini memiliki hasil makalah penelitian ilmiah tertinggi dari universitas manapun di seluruh Ukraina.

Willy dan Samake, kolega studinya dari Senegal, dinyatakan ‘lulusan pertama’ Post-Graduate (S3) untuk Hukum Internasional dan Hubungan Internasional. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Samake kembali ke Senegal dan menjadi duta besar negaranya untuk PBB. Banyak lagi lulusan fakultas (S2) universitas ini berasal dari Afrika dan Amerika Latin menjadi negarawan atau pun diplomat bagi negerinya.

Tak kurang koleganya, Abdul Koroma alumni S2 (1967) yang melanjutkan studi Pascasarjananya di London, kemudian diangkat menjadi hakim pada International Court of Justice (ICJ) di Den Haag. ICJ merupakan sebuah badan kehakiman PBB untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa antar negara-negara anggota dan memberikan pendapat-pendapat bersifat nasihat kepada organ-organ resmi dan badan khusus PBB.

Kudeta Soeharto dan Nasib Para Sukarnois

Willy belum lagi merampungkan studinya di Kiev ketika peristiwa G30S meletus di Jakarta. Begitu juga kawan seangkatan yang tengah menuntut ilmu di negeri Beruang Merah itu. Sulit baginya pada masa itu untuk mengetahui apa yang tengah di seputar 1 Oktober 1965; suatu peristiwa yang ditandai dengan terbunuhnya enam jenderal dan seorang perwira AD. Kesemua korbannya dieksekusi dan jenasahnya dimasukkan ke sumur tua di Lubang Buaya.

Namun dari siaran radio dibawah kontrol otoritas tunggal militer di hari-hari berikutnya dinyatakan bahwa semua itu adalah ‘kudeta yang dilancarkan PKI’, kabarnya. Berita-berita yang dilansir setelah itu bermuara pada tudingan terhadap PKI sebagai pelaku tunggal. Tudingan ini jadi narasi tunggal tanpa tandingan. Kemudian diikuti dengan operasi perburuan, penangkapan dan pembasmian PKI beserta anggota dan seluruh simpatisannya. Terlebih dalam peristiwa Lubang Buaya itu didesas-desuskan bahwa Gerwani menggelar Tarian Bunga; sebuah tarian eksotis disertai ‘penyiletan’ dan mutilasi organ vital para korbannya.

[Kelak, terbukti dari hasil utopsi forensik diketahui bahwa ‘penyiletan dan mutilasi’ itu tak pernah ada; artinya rezim Soeharto berikutnya cuma  bohong besar belaka].

“Saya dan kawan-kawan di Rusia sama sekali tak tahu kejadian seperti ini”, aku Willy dalam sebuah wawancara dengan Bedjo Untung di kawasan Kalibata, Jakarta.

“Tetapi saya mendengar berita PKI mendalangi kudeta. Respons pertama kami, tentu saja; mengutuk PKI atas tindakan makarnya..”.6

Alih-alih berdamai dengan rezim, bagi Willy dan lainnya, kemudian dapat menilai kejanggalan semuanya. Bagaimana mungkin sebagai kekuatan pendukung utama BK, partai dengan dukungan luas rakyat ini akan menggulingkan pemerintah yang sah. Dan ironisnya, dalam kaitan G30S; Bung Karno dibilang ‘terlibat di dalamnya’. Sebagai bagian dari pengikut dan pecinta Soekarno, lazim disebut ‘soekarnois’, pihaknya merasa tudingan ini terlalu mengada-ada.  

“Saya sendiri waktu itu Sekretaris PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di kota Kiev, sampai PPI itu pecah setelah peristiwa Oktober 1965. Nah, yang tahu itu ya orang-orang dari organisasi yang memang underbouw partai. Mereka itu tahu bahwa PKI tidak bersalah, tapi kita-kita (yang tak berkaitan dengan PKI) mana tahu”.

Tak lama setelah Oktober 1965, menurut Willy, situasi dan geo-politik regional Asia, berubah sama sekali; demikian pula yang terjadi di negeri Rusia yang masa itu bernama Uni-Soviet. Pihak KBRI mengirim edaran yang wajib diisi oleh semua waga negara Indonesia yang bermukim di sana. Isinya mengarah pada kesanggupan dan pernyataan kesetiaan serta dukungan kepada pemerintah Indonesia.

“Sukarnois, tentu saja, mendukung pemerintah dan di mata kami, pemerintah yang sah itu ya pemerintah Soekarno”, ungkap Willy.

Tetapi bagi KBRI rupanya beda misi. Willy dapat dengan jelas melihat perbedaan itu. Yang kemudian lebih berkuasa di lingkup KBRI masa itu bukan duta besar yang merupakan representasi pemerintah Republik Indonesia. Melainkan pejabat “Atam”, Atase Militernya; meski juga ada Atase Kebudayaan di sana. Rupanya dari situlah benih militerisme mulai tumbuh disemai melalui “kudeta merangkak” yang puncaknya terjadi menandai tragedi Oktober 1965.

Paska Gestok 65 yang ditindaklanjuti dengan pembasmian orang-orang PKI berlangsung antara tahun 1965-1968. Terlepas dari konteks dan pertarungan kepentingan politis, pembunuhan atas manusia (diprediksi antara 500.000–3 juta orang terbunuh) melalui operasi militer besar-besaran yang dikategorikan sebagai kejahatan Genosida 65 Indonesia ini, sesungguhnya, tak bisa dibiarkan begitu saja. Sokongan negara-negara kapitalis yang mendukung kudeta militer dan kejahatan genosida ini menandai kepentingan imperilaisme internasional.

Dan kelak terbukti rezim militer ini mendominasi republik yang sangat kaya sumberdaya alamnya; selama lebih tiga dasawarsa kekuasaannya.

INTERVIEW: Dr Willy R Wirantaprawira, exile korban 'genosida politik' 1965-66 dalam sebuah wawancara dengan Bedjo Untung di kawasan Kalibata (2/2/2020) di Jakarta [Foto: Humas YPKP 65]

INTERVIEW: Dr Willy R Wirantaprawira, exile korban ‘genosida politik’ 1965-66 (kini bermukim di Frankfurt Jerman) dalam sebuah wawancara dengan Bedjo Untung di kawasan Kalibata (2/2/2020) Jakarta [Foto: Humas YPKP 65]

Pulang ke Indonesia

Pada tahun 1968 Willy usai menamatkan studi Hukum Internasional dan Hubungan Internasionalya dengan predikat summa cumlaude dan oleh karenanya ia satu-satunya yang mendapat tawaran beasiswa buat melanjutkan pendidikan luar negerinya.

“Kalau mau belajar, silahkan saja. Nah, begitu itu katanya”, ujar Willy mengenang.

Willy nampak antusias merespons tawaran beasiswa ini dan karenanya ia bergegas mendatangi Kedutaan RI untuk meminta ijin dengan menemui langsung sang Dubes Max Maramis.

“Tidak bisa, saudara harus pulang dulu ke Indonesia”, kata Dubes.

Pada Agustus 1968 Willy pun pulang ke Indonesia dengan perasaan yang bersih seusai menamatkan studinya. Terlebih karena ia telah mengisi edaran pihak Kedutaan tanpa melewatkan satu item pun pertanyaan. Tak ada alasan baginya untuk was-was. Tetapi, sesungguhnya, dari banyak mahasiswa ID di luar negeri yang tak secara langsung bisa memahami sepenuh-penuhnya perubahan drastis situasi politik kontemporer kala itu.

Willy termasuk dalam kategori itu namun ia telah nyatakan pandangan dan dukungannya terhadap pemerintah. Bahwa sejak 1967 tahun lalu kekuasaan Soekarno telah terlucuti, ia belum sepenuhnya memahami utuh atas realitas ini. Baru lah saat tiba di Bakispalu7 (Badan Koordinasi Integrasi dan Sinkronisasi Penanggulangan Gerilya Politik di Luar Negeri) Willy diinterogasi dan menjalani prosedur screening; fikirnya mulai was-was juga. Apa pula yang bakal menimpa dirinya?

Belakangan diketahui di lembaga yang diketuai Jenderal Hestasning ini didapati ada eks kolega studi Rusianya beretnis Batak, Sibarani namanya, yang rupanya melancarkan ‘balas dendam’ berlatarbelakang kasus pemecatan dirinya pada 1964 silam. Bersebab ia menyalahgunakan uang organisasi untuk kepentingan cuti pribadi. Di Bakispalu ini, Sibarani menempati posisinya atas rekomendasi Departemen PDK.

Setelah “lolos” pemeriksaan mendalam di Bakispalu, Willy pun pulang ke Tasikmalaya menemui keluarganya. Tetapi ia tak bisa berlama di sana. Mantan kolega dan teman-temannya semasa kuliah di Priangan Timur yang kecewa, melaporkan Willy ke Kodim Tasikmalaya. Belum genap tiga pekan di tengah keluarga, malam-malam ia ditangkap aparatus Kodim setempat.. [ap]

___

  Wikipedia, Januari 2020.
6   Wawancara khusus dengan Willy R Wirantaprawira oleh Bedjo Untung di Kalibata City; 2   Februari 2020.
7    Pada 23 Mei 1973 berdasar SK Pangkopkamtib No: KEP-006/KOPKAM/V/1973, Bakispalu berubah menjadi Pelaksana Khusus Pangkopkamtib Bidang Luar Negeri (Laksus Luar Negeri) diketuai Jenderal Soemitro. Sumber: Perpus Bappenas
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
TSR: Trans-Siberian Railway  [Photo Credit: Smithsonian Journey]

Api di Kereta dari Moscow ke Berlin [1]

Interogasi [Kredit Gambar: Sketsa Mardadi Untung]

Api di Kereta dari Moscow ke Berlin [3]

Related posts
Your comment?
Leave a Reply