Mengenang Bung SAJI – Tapol Penebang Kayu Kamp Konsentrasi Kerja Paksa Pulau Buru

Di balik bilah – bilah papan kayu Namlea itu memang ada darah, air mata, keringat dan nyawa ………………………
Rakit lebar dua meter panjang empat-lima meter yang terbuat dari ikatan bambu, di atasnya ditumpuk bilah-bilah papan kayu meranti, mengapung di sungai Wae Apu. Rakit itu mengangkut tumpukan papan kayu yang berukuran lebar 25-30 cm dan panjang 3 meter hasil kerja para Tahanan Politik (Tapol) tragedy 1965 yang akan dihanyutkan menuju muara sungai selanjutnya menyeberang lautan di Teluk Namlea, menuju Namlea, untuk dijual.
Sungai Wae Apu lebar dan dalam, berkelok-kelok sehingga tapol yang mengemudikannya harus bekerja ekstra keras dan hati-hati.
Perjalanan dari hutan Waleman menuju Namlea memakan waktu tempuh 4-5 hari. Lima orang Tapol ditugasi untuk mengemudikan rakit dengan perbekalan seadanya: beras dan kendil untuk menanak nasi di atas rakit. Air cukup ambil dari sungai. Dikawal 2 orang tentara Tonwal (Peleton Pengawal) dengan bersenjata api lengkap dengan peluru tajam yang siap ditembakkan setiap saat.
Setelah sampai di Namlea, bilah-bilah papan kayu meranti itu dijual. Namun, uang hasil penjualan papan itu bukan untuk tapol yang telah bekerja dengan cucuran keringat, tetapi untuk Komandan dan para tentara petugas di Kamp Konsentrasi itu.
Inilah perbudakan di abad moderen, penghisapan tenaga manusia tanpa diupah. Nyata adanya.
Inilah salah satu kisah nyata tentang Tapol regu penebang kayu:
Nyawa, darah dan air mata di balik bilah papan Namlea
Bung Saji lahir tahun 1938 asal dari desa Gerit kecamatan Cluwak kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ia Kepala Regu Penebang Kayu Unit XVII Tapol Pulau Buru yang terdiri dari 6 orang yaitu: 1. Bung Saji asal Pati, 2. Bung Ponen asal Ngawi, 3. Bung Jani asal Ngawi, 4. Bung Kasdi asal desa Wedusan Pati, 5. Bung Rejo Jarwi asal desa Wedusan, dan 6. Bung Triyas asal Semarang.
Sebagaimana biasanya, pukul 05.00 pagi, Bung Saji dan anggota regu Penebang kayu sudah bersiap untuk menuju ke hutan Waleman di mana di situ tumbuh pohon meranti. Peralatan yang dibawa:
Kampak, Gergaji Tarik, Parang, Tali dan makanan ala kadarnya, nasi, ubi, singkong. Air minum biasanya merebus air dari sungai di sekitar hutan.
Jam 06.00 pagi Bung Saji dan kawan-kawan anggota regu penebang meninggalkan Unit XVII menuju hutan dengan berjalan kaki sejauh 7 kilometer, dan bekerja menebang kayu, menggergaji menjadi bilah-bilah papan sampai pukul 16.00. Pulang sampai di barak biasanya hampir pukul 19.00 setiap hari!
Tibalah hari petaka bagi Bung Saji.Peristiwa ini terjadi pada tahun 1977.
Ia menemukan sebatang pohon meranti yang cukup besar berdiameter kira-kira 70-90 centimeter, tinggi pohon 20 meter. Pohon ini berada di bukit lereng sungai Wae Lata yang batangnya condong ke arah sungai. Tanpa berpikir berlama-lama, teman-teman anggota regu penebang kayu mulai memanjat pohon bagaikan kera yang tangkas memotong dahan dan ranting. Semuanya dilakukan secara manual. Pohon meranti yang semula kekar dengan cabang, ranting serta dedaunan yang rimbun kini tinggal batang tunggal yang tegak berdiri tinggal menunggu ditebang.
Mulailah Bung Saji memotong pangkal pohon meranti dengan cara menggergaji bersama seorang temannya. Gergaji dipegang di masing-masing ujung dan ditarik, maju- mundur berirama. Batang kayu itu pun tumbang. Pucuk batang jatuh di tebing sungai di seberang, melintang di atas sungai dan bagian pangkalnya terangkat ke atas dalam posisi menungging.
Kini saatnya batang kayu itu akan dipotong sesuai ukuran yaitu 3 meter. Memang posisinya miring, agak sulit, tetapi Bung Saji bersama temannya dapat menggergajinya.
Ketika pangkal kayu hampir putus, ia menyuruh teman untuk melepas gergaji, menghindar dari kemungkinan potongan kayu jatuh ke arah temannya dan membiarkan dirinya menggergaji sendirian karena diperkirakan batang kayu akan jatuh ke arah berlawanan.
Namun, tidak disangka, tanpa diperkirakan sebelumnya, kayu itu tiba-tiba jatuh ke arah Bung Saji, menghantamnya, menghunjam dan jatuh bersama ke dasar sungai sedalam 20 meter yang berbatuan, dengan posisi kayu menindih Bung Saji. Tubuh Bung Saji, Oh ……. maaf tak bisa dilukiskan dengan kata-kata – hancur dan berdarah.
Bung Saji (39 tahun) gugur sebagai korban di kamp kerja paksa. Tapol penghuni barak di Unit XVII berduka. Jenasah dimakamkan di Pemakaman Unit XVII. Tidak ada kata bela sungkawa dari sang petugas .Yang menyakitkan, berita petaka kematiannya ini tidak pernah disampaikan kepada keluarganya di Pati. Berita kematian baru disampaikan kepada keluarganya oleh sesama teman Tapol ketika semua Tapol dibebaskan secara massal pada 1979 karena tekanan masyarakat internasional.
Di balik bilah – bilah papan kayu Namlea itu memang ada darah, air mata, keringat dan nyawa ………………………
(Kisah Nyata ini dituliskan Bedjo Untung seperti yang disampaikan oleh Pak Jasi Tapol asal Pati Jawa Tengah untuk mengenang Bung Saji yang gugur di dalam tahanan kamp kerja paksa kekejian rejim fasis Suharto).
Keterangan Gambar:
1. Suasana Tapol Penebang Kayu di Pulau Buru sedang beristirahat setelah kerja keras menggergaji kayu hasil tebangannya.
2. Peta Pulau Buru
3. Dalam kondisi sulit pun Tapol harus bisa bertahan untuk hidup, di mana pun berada meski tidak tahu berapa lama harus ditahan.
(Foto kiriman dari sesama eks tapol Tuba bin Abdul Rochim asal Brebes Jawa Tengah yang kini menetap di Jakarta.)
Your comment?