Dari Film PKI hingga Sastra untuk Rekonsiliasi

1751 Viewed Redaksi 0 respond
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Ivon/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Ivon/detikcom)
Selasa 19 September 2017, 14:48 WIB | Iqbal Aji Daryono

Wacana pemutaran kembali film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI kian berembus kencang. Tak tanggung-tanggung, dua dari pendukungnya adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Itu mengerikan sekali. Bahwa versi-versi sejarah masih saling berbenturan satu sama lain, saya paham. Namun, menjadikan sebuah film propaganda yang benar-benar dibuat semata demi orientasi menegakkan pancang-pancang kekuasaan sebagai tontonan publik awam di masa kini, jelas merupakan kemunduran besar.

Meski demikian, ah saya tidak hendak melanjutkan obrolan soal itu. Biarlah orang-orang besar saja yang mengurusnya. Saya sedang ingin bicara soal lain.

Begini. Sebrutal apa pun sebagai propaganda, namun sebagai sebuah karya sinema, film Arifin C. Noer itu luar biasa. Bukan hanya karena ia berhasil dengan misi indoktrinasi untuk menyajikan versi sejarah yang diakui rezim Orba. Namun juga bagaimana ia begitu sempurna dalam membangun emosi yang utuh pada penonton, emosi yang sangat berpihak.

Dalam pengamatan saya yang awam film ini, salah satu kunci suksesnya pembentukan emosi itu adalah bagaimana sutradara menciptakan kedekatan antara penonton dengan para tokoh protagonis. Ya, dengan menonton film itu kita jadi sangat dekat dengan Ade Irma Suryani Nasution, dengan anak-anak para jenderal lainnya, dengan Kapten Pierre Tendean, bahkan dengan Urip anak Indramayu yang menggelandang di Jakarta sebagai korban krisis ekonomi akibat kegagalan rezim Orde Lama.

Sutradara menghadirkan aktivitas-aktivitas yang sangat manusiawi atas semua tokoh itu. Bagaimana Ade Irma bermain ayunan dan perosotan, hingga bagaimana ia menjalani waktu-waktu terakhir hidupnya selepas terkena tembakan. Bagaimana Pierre Tendean membaca selembar surat (dari kekasihnya?) di kamarnya yang gelap. Bagaimana Urip terbangun tengah malam, mengucek-ngucek mata, lalu bertanya ke emaknya, “Mak, raja tiap hari makan ayam ya?”

Ini beda sekali dengan perlakuan sutradara atas Aidit, Untung, tokoh-tokoh PKI lainnya, termasuk para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat. Sutradara semata memunculkan aktivitas mereka dalam peran-peran besar. Ketika orang-orang itu sedang rapat, sedang baku tembak, sedang menyanyikan Genjer-genjer, atau sedang melakukan penyiksaan. Sama sekali tak ada citra aktivitas manusiawi apa pun yang ditampilkan dari tokoh-tokoh antagonis itu.

Hasilnya kita sudah tahu. Mustahil penonton memunculkan empati kepada para tokoh antagonis. Sebab mereka berdiri sebagai realitas yang amat jauh. Beda sekali dengan anak-anak para jendral. Bukankah Anda juga ikut menangis saat menyimak adegan dramatis putri Jenderal Panjaitan yang melumuri wajahnya dengan darah bapaknya?

***

Anda tahu apa itu sastra? Saya yang pernah kuliah hampir tujuh tahun di Fakultas Sastra, lulus pula, pun sampai sekarang tidak bisa menjelaskan apa itu sastra.

Namun saya ingat ada satu ilustrasi menarik dari, kalau tidak salah, sastrawan Budi Darma. Dia menggambarkan bahwa ilmu-ilmu sosial melihat manusia sebagai kumpulan. Yang dibicarakan di situ adalah populasi, angka-angka, statistik, dan demografi. Sementara, dengan sastra kita mendatangi kumpulan manusia itu, memilih salah seorang di antaranya, lalu masuk ke dalam otak dan pikiran-pikirannya.

Makanya, dalam sebuah riset di Emory University, Amerika ditemukan bahwa membaca karya-karya sastra (atau lebih spesifik lagi membaca novel) memunculkan efek lebih dari sekadar penambahan koleksi pengetahuan. Aktivitas membaca novel dapat meningkatkan kemampuan membangun empati, “to improve the reader’s ability to put themselves in another person’s shoes.” Begitulah hasil riset yang ditayangkan di Jurnal Brain Connectivity dengan judul Short and Long Term Effects of a Novel on Connectivity in the Brain.

Nah, empati semacam itu tidak akan tumbuh manakala kita hanya membaca buku ekonomi, politik, atau sejarah. Pengetahuan dari buku-buku itu memang penting, tapi tidak membangun kedekatan.

Kalau mau agak semena-mena, bisalah saya katakan bahwa apa yang berlaku pada tokoh-tokoh protagonis dalam mahakarya film Arifin C. Noer itu adalah pendekatan ala sastra. Meski peran-peran publik sebagian tokohnya dalam peta konflik tetap saja disajikan, namun mereka muncul utuh sebagai manusia dalam sisi-sisi humanisnya. Anda tahu bagaimana efek psikologisnya, bukan?

Dari situ terlintas satu pikiran di kepala saya. Begini. Bertahun-tahun sejak Reformasi, kita merayakan kritik sejarah atas narasi resmi peristiwa 1965. Hasilnya lumayan. Apa yang selama masa Orba mustahil didialogkan jadi muncul ramai ke permukaan.

Namun, upaya kritis atas narasi sejarah lama itu saya kira hanyalah salah satu agenda saja. Ia merupakan misi edukasi publik, agar masyarakat lebih paham apa yang terjadi sesungguhnya di lapangan sejarah negeri kita. Sementara itu, ada satu yang sesungguhnya jauh lebih dibutuhkan oleh bangsa ini demi masa depan, yakni rekonsiliasi.

Pertanyaannya, apakah kritik-kritik sejarah dan segala perdebatan di wilayah akademis akan mendukung terwujudnya rekonsiliasi?

Mohon dicatat dulu, bukan berarti saya menolak segala langkah kritis atas versi sejarah Orba. Itu tetap penting. Akan tetapi, wilayah rekonsiliasi adalah dimensi yang seringkali terlepas dari kebenaran-kebenaran faktual. Ia lebih terkait dengan manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai aktor dalam papan catur sejarah. Ia lebih dekat dengan empati dan kesalingpahaman satu sama lain, alih-alih ke wilayah rasional perdebatan fakta-fakta sejarah.

Perdebatan tentang versi sejarah tidak akan pernah ada ujungnya. Selama para pelaku sejarah masih banyak yang hidup, klaim-klaim akan terus bertabrakan dalam pertarungan demi pertarungan. Tidak bakal ada pemenang tunggal, sebab semua pihak akan memegang versi masing-masing setara menggenggam iman.

Harap tahu, bahkan pemerintah Australia pun baru meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan kepada orang-orang Aborigin lebih dari 200 tahun selepas kejadian. Di saat Perdana Menteri Kevin Rudd meminta maaf, semua pelaku sejarah sudah musnah. Yakinkah Anda, Indonesia akan keluar dari kontroversi ini ketika para saksi sejarah masih ada di tengah-tengah kita, sambil memperjuangkan versi kebenaran masing-masing yang mereka percaya? Saya sendiri pesimis.

Di situlah, sembari tetap mengikuti segala hiruk pikuk ini, kita mesti menabur benih rekonsiliasi. Dan saya melihat instrumennya bukan studi sejarah maupun sosial, melainkan sastra. Membaca sejarah akan membangun pemahaman, membaca sastra akan membentuk empati. Sok romantis, kedengarannya. Tapi coba simak dulu.

Pekan lalu saya iseng bertanya ke teman-teman Facebook, apakah ada tugas membaca karya-karya sastra di sekolah-sekolah kita. Saya bertanya demikian karena selama masa saya sekolah dulu, karya-karya sastra bukan untuk dibaca. Melainkan cukup dihafal judul-judulnya, nama-nama pengarangnya, atau maksimal nama tokoh-tokohnya.

Tapi ternyata sekarang ada kabar menggembirakan. Karya-karya sastra tidak lagi dianggap sekadar hiburan. Gerakan Literasi, gerakan membaca yang sudah berjalan di banyak sekolah, ternyata memasukkan pula buku-buku sastra sebagai menu utamanya. Saya jadi berpikir, bagaimana jika gerakan tersebut dalam jangka panjang kita tata untuk proyek rekonsiliasi bangsa?

Bayangkan apa yang bisa dibangun di benak murid sekolah jika mereka mendekati tragedi masa lalu bangsa Indonesia bukan semata sebagai perkara benar-salah sejarah, melainkan mengakrabi para pelakunya dalam sisi-sisi humanisnya. Ketika kehidupan korban pemenjaraan tanpa pengadilan digambarkan di novel-novel, tentang para eksil politik yang tak bisa pulang ke kampung halaman, tentang anak yang bapaknya tewas digebuk kepalanya di tepian Kali Brantas, atau tentang kehidupan anak eks-tapol yang bahkan tidak berani menyebut cita-citanya saat guru di kelasnya bertanya.

Sisi seberangnya pun harus muncul dalam sastra. Bagaimana trauma seorang santri yang mengalami suasana tegang dan mengerikan saat muncul aksi-aksi sepihak perampasan tanah, bagaimana kehidupan seorang perempuan yang suaminya lenyap diculik semenjak dicap sebagai setan desa, dan sebagainya. (Saya belum pernah menemukan karya sastra dari pihak antikomunis ini, sementara di sisi seberangnya sudah lumayan banyak.)

Mungkinkah terjadi semacam itu, ketika muncul karya-karya sastra dengan porsi seimbang antara kiri dan kanan, lantas generasi millenial Indonesia membaca semuanya? Jika mungkin, anak-anak millenial yang sekarang sedang tekun-tekunnya mengikuti Gerakan Literasi itu akan membangun karakter yang lebih terbuka dengan cita-cita rekonsiliasi tanpa syarat. Sebab mereka pasti sadar, bahwa masa lalu yang kelam itu adalah luka bagi semua.

Adapun generasi saya sendiri, saya yakin, suatu hari akan terlalu lelah dengan ini semua. Kemudian kami akan mengibarkan bendera putih, menyerahkan masa depan kepada para junior yang lebih optimis dalam membangun cita-cita.

Iqbal Aji Daryono, pendukung rekonsiliasi nasional

Sumber: Detik.Com

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Konferensi Pers Forum 65 di LBH-YLBHI Jakarta [Doc]

Negara Segera Usut Tuntas Dalang Penyerangan Kantor YLBHI dan Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965/66

Kapolda Jakarta, Kapolres Jakarta Pusat, Dandim Jakarta Pusat, serta sejumlah tokoh perwakilan massa pengepung LBH/YLBHI. [BBC INDONESIA]

‘Pembiaran’ polisi dan ‘legitimasi’ gebuk PKI di insiden LBH Jakarta

Related posts
Your comment?
Leave a Reply