100 Tahun Maestro Hendra Gunawan
Foto bersama Trubus, Suromo, Sudarso dan Hendra Gunawan. [Misbach Tamrin]
Catatan: Misbach Tamrin*
Dalam khazanah senirupa modern Indonesia yang telah mentradisi dalam sejarah. Kita punya 3 tokoh seniman perupa senior (old-master). Yaitu Affandi, Sudjojono dan Hendra Gunawan. Merupakan tiga serangkai (triumvirat) senirupa yang kita miliki. Juga boleh dibilang “maestro” di bidangnya yang telah menjadi “iconik” yang menonjol dan menarik.
Dari ketiga tokoh pendekar senirupa legendaris yang dimaksud itu. Dua di antaranya, yaitu Affandi (83 th) dan Sudjojono (73 th). Telah melalui peringatan seremonial seabad (100 th) kelahiran mereka berdua. Dirayakan secara cukup sakral di suatu waktu yang lalu, disamping melalui event pameran karya senirupa mereka. Juga berbagai diskusi, seminar dan bedah buku. Tentang mengenang kembali atas kilas balik peran kontribusi kesenimanan mereka. Dalam sejarah perkembangan senirupa kita.
Nah, kini giliran seorang tokoh lagi yang tak kalah berbobotnya. Ketimbang kedua tokoh yang telah disebutkan di atas. Meski tokoh ketiga ini yang terkenal dengan nama Hendra Gunawan. Hanya sempat berkiprah di ajang juang senirupa, dalam usia 65 tahun (1918-1983).
Namun, berdasarkan penulisan pengamat senirupa terkenal Agus Dermawan T dalam rangka mengenang 100 Tahun Kelahiran pelukis Hendra. Lewat buku barunya yang berjudul “Surga Kemelut Pelukis HENDRA”. Yang bakal dilaunching pada tgl 8 Agustus 2018 mendatang di Ciputra Art Preneur, Jalan Casablanca Jakarta.
Maka di sana anda akan dapat menelusuri dan menyimak kupasan yang lebih luas dan mendalam atas lika-liku kehidupan “human interest” seniman perupa Hendra Gunawan. Dalam rentang sepanjang sejak era “Pengantin Revolusi”nya hingga terali besi. Yang mungkin selama ini anda belum sempat pernah tahu mendengar, dan mengikuti. Berhubung karena langkanya terungkap secara terurai, berupa info cerita yang terbuka.
Saya sendiri selaku sama-sama pelukis dari Lekra yang pernah menjadi tapol peristiwa ’65 dengan almarhum seniman perupa Hendra Gunawan. Telah diundang oleh Panitia Bedah Buku untuk ikut serta dalam acara diskusi selaku narsum pembicara. Bersama pembicara lainnya seperti Ciputra, Agus Dermawan T, dan Aminuddin Siregar (Ucok).
Betapapun dari segi status keberadaan di antara kami dulu. Terdapat jarak angkatan yang cukup jauh. Jika almarhum Hendra adalah angkatan kelahiran tahun 1918-an. Sedangkan saya angkatan kelahiran tahun 1940-an.
Namun, di samping kontak langsung hanya sekitar dua kali saja kami bertemu sebelum peristiwa ’65. Ketika saya sempat mengunjungi beliau di Bandung pada tahun 1960-an. Setelah pada tahun 1958 beliau pindah dari Yogya.
Saya saat itu baru setahun masuk ASRI. Sedangkan kawan saya Amrus Natalsya, ketua SBT (Sanggar Bumi Tarung_Red) banyak cerita tentang Hendra. Karena sebelum mendirikan SBT, Amrus sempat bergabung sebentar di sanggar Pelukis Rakyat di bawah pimpinan Hendra.
Tetapi relevansi bagi saya pribadi, diskusi di Ciputra Artpreneur pada tgl 8 Agustus 2018 tsb. Adalah suatu momen penting yang bermakna. Dari segi peran kebersamaan kami sebagai seniman perupa yang menjadi tapol korban dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965. Yang kebetulan bersamaan waktu pembebasannya pada tahun 1978. Berarti kami berdua punya kesamaan masa tahanan sebagai tapol di bawah kerangkeng rezim otoriter Orba, selama 13 tahun.
Sehingga saya pribadi merasa salute dan berterimakasih sekali atas prakarsa Panitia Diskusi Bedah Buku “100 Tahun Hendra Gunawan”. Memberikan kesempatan kepada saya ikut serta berbicara tentang topik tema seorang tokoh maestro senirupa kita. Sekaligus selaku salah satu korban pelanggaran HAM berat dari peristiwa ’65. Di mana pemerintahan Jokowi sekarang sedang mencari solusi yang efektif dan terbaik untuk menyelesaikannya.
Kita tahu, atas perkara pelanggaran HAM berat peristiwa ’65 ini, sudah lebih setengah abad penguasa berupaya menyelesaikannya, sejak 7 kali pergantian presiden. Hingga sekarang masih tersendat di jalan yang buntu.
Terakhir, berita yang kita dapat dari pernyataan Menko Polhukam Wiranto mengatakan. Bahwa pemerintah sedang mencoba untuk terus mencarikan jalan solusi kasus pelanggaran HAM. Di antaranya dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang bekerja menggunakan budaya tradisional Indonesia. Yakni melalui jalur tata adat, di luar yudisial-solution.
Nah, sampai di mana penyelesaian kasus HAM berat peristiwa ’65 ini, akan dicapai dan diupayakan oleh pemerintah alias negara. Kami semua selaku korban yang telah menantikan sejak selama setengah abad. Termasuk tentu saja bagi sang maestro seniman perupa Hendra Gunawan almarhum. Selaku salah seorang kawan yang telah lama berpulang mendahului kita. Betapapun kini ia sedang berada dengan damai di bawah pusaranya.
Senantiasa berharap dengan hajat yang besar, tanpa henti. Agar supaya dengan penyelesaian secara tuntas oleh Negara terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Dari peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965 yang sangat mengenaskan sepanjang masa dari sejarah bangsa kita itu. Pantang terulang kembali. Semoga…
***
Misbach Tamrin, Seniman lukis yang bergiat di Sanggar Bumi Tarung, Yogyakarta
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Thankyou for this post, I am a big big fan of this website would like to continue updated.