Komnas HAM: “Kalau Jaksa Agung Tidak Mampu, Kami akan Bereskan”
Mohammad Choirul Anam, Anggota Komnas HAM:
“Kalau Jaksa Agung Tidak Mampu, Kami akan Bereskan”
JAKSA Agung HM Prasetyo menyebut sulit untuk kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau ditingkatkan ke penyidikan karena bukti hukumnya masih minim. Dengan pernyataan ini kuat dugaan jika negara masih belum mampu melepaskan diri dari jangkauan impunitas. Para korban hanya menikmati fatamorgana.
Apakah Komnas HAM masih dapat diandalkan untuk membebaskan negara dari jangkauan impunitas atas pelanggaran HAM berat di masa lalu? Berikut penjelasan anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam:
Apa mandatory Komnas HAM?
Kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan pro justicia itu berdasarkan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-udang tersebut juga mengatur bagaimana cara bekerja pro justicia (penegakan hukum) untuk pelanggaran HAM berat.
Di dalam UU tersebut terdapat klausul penting yang berlaku bagi semua status penyelidikan dalam dictumpidana.Yaitu, tugas di bidang penyelidikan itu adalah merumuskan peristiwa. Untuk kasus HAM, merumuskan atau mengkonstruksi suatu peristiwa itu masuk kategori pelanggaran HAM berat, guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. Kewenangan sebagai penyelidik hanya di situ.
Kegiatan penyelidikan seperti itu sudah dilampaui oleh Komnas HAM untuk kasus 65, Tanjung Priok, Timor Leste dan lain sebagainya. Jaksa Agung sebagai penyidik seperti disebut UU 26/2000 telah menerima laporan penyelidikan Komnas HAM. Problem mendasar terhadap laporan tersebut adalah Jaksa Agung meminta Komnas HAM lebih dari sekadar mengkonstruksi peristiwa tanpa disertai penambahan kewenangan.
Kalau bicara soal kurang bukti, atau tidak ada saksi, itu korban-korban yang Aksi Kamisan di istana sudah diperiksa Komnas HAM. Memangnya tidak ada korban?
Keterangan korban dan keterangan saksi itu adalah alat bukti. Begitu pun bukti-bukti lain, sudah diserahkan semuanya.
Tinggal Jaksa Agung, sebagai penyidik jika merasa ketidakcukupan bukti, maka skenario perintahnya ada dua. Pertama, memberi perintah kepada penyelidik di Komnas HAM melakukan penyidikan berdasarkan perintah penyidik. Jadi statusnya penyidik, walaupun nanti dilakukan oleh penyelidik. Yang kedua, angkat penyidik ad hoc.
Apakah Jaksa Agung sudah melakukannya?
Mana pernah dilakukan. Narasi-argumentasi Jaksa Agung itu sangat kami sesalkan. Karena di luar konteks hukum. Tidak bisa Jaksa Agung bicara rekonsialisasi dalam konteks ini.
Kalau merasa laporan penyelidikan Komnas HAM tidak ada gunanya, keluarin SP3. Dengan keluarnya SP3, korban dan Komnas HAM bisa menguji. Itukan clear secara hukum.
Dalam hal ini Jaksa Agung tidak boleh mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Harus berani menghadapi risiko kebangsaan ini. Dan hukum kita memberikan kewenangan untuk itu.
Bukankah ini mata rantai Impunitas?
Memang. Rantai impunitasnya terus terjadi. Sebagai bawahan Presiden, seharusnya Jaksa Agung patuh pada arah politik hukum presiden. Dalam beberapa kali kesempatan Presiden telah menyatakan kasus pelanggaran HAM harus dituntaskan. Kalau Jaksa Agung tidak mampu untuk menindaklanjuti ini, lakukan skenario seperti telah disebutkan tadi. Kami akan bereskan ini.
Adakah catatan-catatan secara detil yang diberikan Jaksa Agung terhadap laporan Komnas HAM?
Ada. Yang itu di luar kewenangan kami. Kecuali satu kami dikasih surat perintah penyidik. Kedua, atau kami diangkat sebagai penyidik yang diangkat sumpah oleh Jaksa Agung. Secara hukum kami itu sudah cukup melakukan seperti mandatory. Kami tidak mau melampaui. Karena kalau melampauikonsekuensinya juga tinggi.
Apa yang membedakan pembuktian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan pembuktian tindak pidana?
Dalam konteks substansi, pelanggaran HAM berat masa lalu itu mensyaratkan logika berpikir pembuktian yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Doktrin utamanya, Kemudian, soal daluarsa. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu menerobos masa daluarsa.
Kalau dalam konteks pidana biasa 20 tahun masa daluarsanya.Tidak demikian halnya untuk kasus tahun 1965, 50 tahun yang lalu. Makanya dalam konteks internasional itu ada satu model pembuktian yang khas pelanggaran HAM berat itu on the build of probability. Yaitu probabilitas sebuah peristiwa dapat digunakan menjadi alat bukti dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Kami melihat diskursus seperti ini memang kurang di Kejaksaan Agung.Tapi itu bukan faktoryang dominan. Faktor dominannya adalah politik. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini belum didudukan sebagai hutang kebangsaan kita, hutang negara kita. Sehingga ditarik-tarik terus dalam skema politik. Harusnya sudahlah, ini tanggungjawab kita untuk menuntaskannya. Dan satu-satunya koridor yang memungkinkan untuk menyelesaikan ini dan netral, ya hukum!
Komnas HAM akan tunduk jika seandainya kelak dibuktikan di pengadilan dan ternyata tidak terbukti. Asalkan pengadilannya fair.
Your comment?