Pembunuhan Tapol 65 Setumbu
Sri Sumarsih adalah kembang desa Slahung. Pada suatu senja bulan Oktober 1965, saat ia tengah menyeterika di balik jendela ruang depan, dilihatnya gerombolan jagal desa itu. Rumah ortunya ini tak sebarapa jauh dari komplek makam umum di Kampung Setumbu. Gadis Sri membuka daun jendela untuk mendapatkan sirkulasi angin sore karena seterika dengan pemanas bara arang kayu itu membuatnya gerah.
Usianya saat itu menginjak 16 tahun, Sri tumbuh sebagai gadis desa yang cantik dan periang. Namun sebagaimana gadis desa umumnya Sri pun terbilang gadis yang rajin dalam pekerjaan domestik di rumahnya. Kedua ortunya, terutama dari waris neneknya, terbilang kaya sebagai “tuan tanah” di kampung Setumbu.
Tiba-tiba dirasakannya aliran darahnya berdesir dan degup jantungnya pun berdetak lebih kencang. Dilihatnya ada serombongan orang dengan gelagat tak biasa, berbaris hendak melewati jalan kampung di depan rumah ortunya.
“Jalan ke kanan ini menuju makam…”, usik pikirnya.
Sri menghentikan pekerjaan seterika bara arang kayunya untuk bisa lebih jelas melihat gerombolan lewat. Ternyata memang bukan rombongan pelayat yang membawa jenazah. Dilihatnya barisan ini tengah menggiring beberapa orang yang nampak secara khusus berada dalam kawalan para petugas. Sri mengenali diantara para petugas itu ada pak Opas yang dikenalnya bernama Wodi atau Kotik. Ada juga Sutono, seorang Popokan (semacam asisten Lurah untuk urusan lapangan) dalam gerombolan itu.
Selain beberapa pamong, ada Suwito seorang petugas malaria, Kasdi dan Gunawan “Genot” dalam rombongan itu. Dan mengiring baris di bagian belakang adalah warga masyarakat yang beberapa juga dikenalinya.
Dari penghitungan Sri ada 17 orang yang terikat dalam posisi pengawalan digiring sepanjang jalan menuju arah makam. Waktu itu selepas asar, masih terang karena matahari belum pula terbenam. Jumlah 17 ini pun dikonfirmasi para tetangganya juga, salah satunya dari Tuminem, yang membincang apa yang dilihatnya dalam cekaman suasana ngeri di masa-masa tragedi paska Geger Gestok 65.
Suara Tembakan dan Kesenyapan
Gadis Sri tak berani terus mengikuti gerombolan yang telah melewati jalan setapak di depan rumahnya. Selain miris, juga karena ia harus menyelesaikan pekerjaan seterika yang sejenak lama ditinggalkannya.
Namun tak sampai hari gelap, ia mendengar suara kengerian itu; suara tembakan beruntun yang sumbernya tak jauh dari arah makam Setumbu.
“Saya mendengar suara tembakan itu”, tutur ibu Sri berkisah.
Malam pun turun, lebih panjang rasanya dalam uluran waktu dengan suasana yang mencekam kampungnya di pedukuhan Setumbu. Dan mungkin juga malam-malam lainnya, di kampung lain atau di tempat-tempat lainnya. Secara umum, malam-malam pada masa itu, malam-malam setelah Geger Gestok 65; ditandai oleh ketegangan yang aneh. Orang bisa saja memburu, menggiring bahkan membunuhi orang lainnya. Dan itu yang dilihat Sri melintasi jalan kampung sebelum gelap turun. Pada keesokan harinya diketahui bahwa ke 17 orang itu dikuburkan terpisah dalam 2 lubang.
“Malah tanah yang dipakai mengubur itu tanah waris neneknya”, kenang Sri. Dikisahkannya bahwa dulu tanah itu berupa sawah yang kemudian mengering.
Kesaksian Sri Sumarsih bukan lah kesaksian tunggal dari sebuah peristiwa pembantaian yang merupakan rangkaian dari tragedi kemanusiaan di kota reog Ponorogo. Banyak orang bertutur tentang kejahatan yang pernah didengar, dilihat atau bahkan dialaminya atau oleh orang lainnya. Kesaksian Samsu (bukan nama aslinya_Red) adalah peristiwa yang pada intinya sama mirisnya, tapi terjadi di tempat lainnya.
Samsu masa itu adalah murid Sekolah Rakyat, anak seorang pemilik warung di dekat Jembatan Keyang Desa Jetis. Pembunuhan massal dilakukan tiap malam atas orang-orang yang tak diketahui dari mana asalnya, diangkut 5-6 truk dengan ikatan kawat halus pada ibu jarinya. Orang-orang didorong jatuh dari atas jembatan lama untuk kemudian dihabisi di dasar kali. Hampir semua kejadiannya berlangsung pada kesenyapan malam, namun pernah ada juga dilakukan saat sore hari. Jembatan Keyang yang menjadi saksi bisu ini, telah runtuh digantikan bekas jembatan kereta yang dialihkan jadi penghubung antar kota.
Saksi bisu lainnya adalah Jembatan Selopayung di perbatasan tiga desa. Jembatan penghubung antar kecamatan yang melintang di atas sungai dimana 9 anak kali di bagian hulunya mengalir ke situ. Sehingga seringkali banjir saat musim hujan, namun sulit air di musim berikutnya. Puriyono adalah penjaga pompa air di dekat jembatan Selopayung. Puri berkisah seputar apa yang dilihatnya di masa setelah Geger Gestok Oktober 1965. Kisah seputar orang-orang yang diburu, ditangkap, dibui atau dibunuh.Orang-orang yang disenyapkan oleh zaman setelah dieksekusi tanpa pernah diadili… [hum]
Your comment?