Temuan 12 Lokasi Kuburan Massal Korban Tragedi 65 Madiun
Matahari sudah condong ke barat kapan kami turun dari jalanan aspal hotmix untuk memasuki hutan di arah kanan melalui jalan setapak. Penduduk setempat, seorang diantaranya ada bersama tim investigasi; menyebut kawasan ini sebagai hutan Grape atau Dungus. Hutan yang dirimbuni pohonan jati di sana-sini, terdapat Jurang Uni, Gresek dan berada tak sebegitu jauh dari kompleks Wana Wisata Grape, Wungu Madiun.
Baru belasan meter memasuki hutan, serbuan nyamuk loreng Aedes-aegypti menyasar semua bagian tubuh kami yang terbuka, tanpa bisa lagi kami mengusirnya. Kerumun nyamuk loreng ini melekat di kulit sebagai cara mereka bertahan hidup dengan menghisap darah manusia yang jadi santapan barunya di hari mana kami akan menziarahi lokasi kuburan massal. Tak diketahui bagaimana nyamuk loreng ini survife di hari biasa, namun populasinya memang terbilang besar.
Ada 3 titik lokasi kuburan massal korban tragedi 1965-66 di sekitar sini. Ini banyak dikisahkan saksi sejarah kelam pembantaian massal atas rakyat Madiun dan sekitarnya yang dituding sebagai komunis pada masa awal berdirinya rezim orde baru. Testimoni Madisun, juga Suja (nama disamarkan_Red); memaparkan banyak hal yang disaksikannya di hari-hari yang mencekam mengenai kejadian antara tahun 1965-66 itu.
“Orang-orang diangkut dengan truk lalu digiring masuk hutan”, tutur Madisun yang menyertai tim investigasi.
Bersama Suja, jauh sebelumnya, ia menghimpun kesaksian orang lain juga soal eksekusi para tapol dengan cara ditembak; untuk kemudian dikubur di lokasi yang kelewat sunyi masa itu.
Di hari lainnya, kejadian serupa dilakukan di tempat berbeda. Pada ketiga lokasi kuburan massal di kawasan Hutan Dungus ini masing-masing berisi korban 9 orang, 100 orang dan 150 orang.
Tentu, sulit bagi warga masyarakat biasa untuk mengetahui persisnya (jumlah dan nama korban_Red) kecuali pihak pelaku mau membuka data-data pembunuhan yang dilakukannya.
Dan itu, entah sampai kapan waktu; masih merupakan kemustahilan.
Kuburan Massal WangiMasih di hari yang sama, dengan dipandu para relawan daerah, tim investigasi mendapati kesaksian mengenai tragedi genosida 65 dari seorang anak tentara yang pada masa itu menyaksikan kejadian pada tiap harinya.
Ayah dari Supra, adalah seorang tentara asal Ponorogo yang bertugas menjemput dan menjaga para tapol. Sebagaimana dituturkan dari sebuah tempat yang dijadikan kamp penampungan dan interogasi tapol di sisi Jalan Raya Dungus – Kare. Lokasi ini pada dulunya dipagar kawat yang dibentang antar tiang berupa rel kereta api yang dipancang. Kini, rel-rel berikut pagarnya telah musnah dimakan rosok.
“Ada 300-an tapol yang dibawa ke tempat ini”, tutur Supra berkisah. Para tapol diambil (diciduk_Red) dari desa-desa dan diangkut mulai jam 4 sore berlangsung hingga malam-malam sunyi.
Ia menunjuk kamar-kamar tertutup dari bangunan tua yang konon sebentar lagi bakal direnovasi. Bahwa di tempat ini pernah difungsikan sebagai sel-sel penyekapan tapol, termasuk para perempuan Gerwani. Dan di ruang lainnya dilangsungkan screening melalui interogasi yang bagi para tapol merupakan momok mengerikan saat harus melewatinya, karena pasti berbagai bentuk siksa bakal mendera.
Bagaimana tiap tapol harus menerima siksaan di luar batas kekuatan fisik dan perikemanusiaan. Tuduhan-tuduhan terlibat kudeta G30S yang tak masuk akal dilancarkan dalam interogasi. Tuduhan yang sepertinya telah dipola, sekaligus tuduhan ini menjadi legitimasi para tapol untuk boleh disiksa interogatornya. Sebelum kemudian ditentukan, entah dengan standar apa, apakah yang bersangkutan mesti ditahan, dibuang atau dibunuh. Semua berlangsung tanpa suatu proses hukum maupun putusan pengadilan.
Tak jarang bagi tapol yang keluar dari ruang interogasi harus digotong atau dipapah jalannya, untuk kemudian masuk kembali ke dalam sel yang pengap, tanpa pengobatan untuk semua luka-luka yang dideritanya.
Bahkan beberapa tapol diantaranya disiksa hingga tewas, sakit dan yang pada akhirnya menemui ajalnya juga.
Beberapa yang tewas itu dikuburkan di areal persawahan di bagian belakang bangunan yang kini nampak sebagai gedung tua itu. Dan ketika tim investigasi menziarahi lokasi ini, menebar lah bau wangi. Begitu kuat semerbaknya, hingga beberapa dari relawan sampai berdiri bulu romanya
Temuan 12 Kuburan Massal MadiunIhwal temuan lokasi kuburan massal di wilayah Kodia maupun Kabupaten Madiun, sesungguhnya, telah sejak beberapa tahun lalu dilaporkan para korban maupun relawan daerah. Namun baru pada medio Februari 2019 ini tim investigasi berkesempatan melakukan verifikasi sekaligus sembari menziarahinya; setelah sepekan sebelumnya melakukan pendataan awal.
Selain kawasan hutan Dungus di Kecamatan Wungu dan beberapa lokasi lain, temuan kuburan massal juga dilaporkan berada di kawasan hutan lain seperti Tremulus, Nglames, Dawuhan, Kuwiran, Kandangan dan Pagotan. Lokasi terakhir ini pada dulunya merupakan komplek pabrik gula (PG) Pagotan seperti juga PG Rejo Agung di Madiun Kota.
“Selain temuan 12 kuburan massal yang didata hari ini, masih ada beberapa lokasi yang belum diverifikasi”, kata Bedjo Untung.
Temuan ini menambah panjang deret hitung jejak kejahatan genosida 65 yang dilakukan negara melalui fasisme rezim militer Soeharto di masa awal rentang masa kediktatorannya.
Menurut Bedjo Untung yang menyertai tim investigasi, langkah pemetaan kuburan massal yang dilakukan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 (YPKP 65) yang diketuainya; adalah upaya penting menemukan fakta-fakta yang mungkin bisa dijadikan bukti tambahan adanya kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi pada masa lalu di Indonesia.
Bahwa hingga hari ini negara belum nyata menunjukkan komitmen menyelesaikannya secara tuntas dan berkeadilan, itu soal lain yang akan terus diperjuangkan bersama para korban, termasuk keluarganya… [hum]
Your comment?