Trauma Screening dan “kembalinya mata” Mardadi Untung [3]
![Mardadi Untung (81) kembali berkacamata, di masa pemulihan penglihatannya [Foto: Humas YPKP 65]](http://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2017/12/IMG_3776-655x360.jpg)
Namun keajaiban dan kenyataan adalah dua perkara yang sama sekali berbeda, hingga pada suatu pekan ketiga menjelang akhir tahun 2017; gelisah memaksa mata abnormalnya tak bisa terpejam 4 hari 3 malam. Bayangan bahwa dunia di sekitarnya bakal gelap mengantar hari tuanya, begitu merisaukannya.
Dia ingat lukisan “Indonesia Menggugat” yang terpajang di ruang direksi Jakarta Eye Center yang suram-suram dilihatnya kemarin siang, saat ia kembali memeriksakan matanya. Padahal lukisan yang dihibahkan ke rumah sakit itu belum pula diselesaikannya, tetapi telah dibingkai dengan pigura terbaik dan dipajang di ruang utama. Dia ingat, di Rumah Pelutan Pemalang menunggu lukisan bertema kebhinekaan yang tertunda. Belum lagi sketsa-sketsa “Cergam Pulau Buru” yang masih kurang seperempat bagian dari lembar penutup yang ia himpun di balik tilamnya.
![MARDADI UNTUNG: Mardadi Untung, 81 (berkacamata) didampingi Bedjo Untung dan Tuba, di depan lukisan "Indonesia Menggugat" yang belum diselesaikannya namun keburu menderita kebutaan [Foto: BU]](http://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2017/12/bk_gugat-300x233.jpeg)
MARDADI UNTUNG: Mardadi Untung, 81 (berkacamata) didampingi Bedjo Untung dan Tuba, di depan lukisan “Indonesia Menggugat” yang belum diselesaikannya namun keburu menderita kebutaan [Foto: BU]
“Kami tak berani ambil resiko terburuk menempuh operasi katarak ke dua kali”, kata dokter siang itu. “Yang paling bisa kami lakukan adalah upaya rekayasa optik dengan penggunaan kacamata khusus”, sambungnya.
Ukuran minus mata sang pasien ini memang telah sampai pada ukuran yang paling tebal. Pembengkakan retina matanya juga menambahkan pertimbangan lainnya. Lalu pengambilan cairan silica yang menopang terangkatnya retina pada garis optik, yang seharusnya dilakukan penyedotan setelah 6 bulan; tak dilakukan lantaran beresiko besar pula. Rekomendasi terakhir adalah bahwa pasien ini harus bisa menerima kondisi dan capaian paling realistis atas rekayasa optik dengan hasil maksimal sepuluh persen saja pemulihannya.
Dan Mardadi Untung, pelukis kebudayaan rakyat di masa lalu itu tak tahu apakah keputusan ini bakal memupuskan hasrat melukisnya yang terus menyala.
Surealisme “mata” Mardadi
Dia tak mengeluhkan kacamata itu, meski merasa pandangannya tak mampu penuh menuntun tangannya saat ia mencoba membuat sketsa dengan spidol merah menyala. Dia harus tahu bahwa mata lukisnya bukan bercokol di balik bingkai kaca yang bakal terus dikenakannya, melainkan menguat di ujung jiwa yang akan setia membimbingnya.“Hari-hari menumpukkan ide-ide di kepala dan hari ini telah demikian penuhnya”, ucap Mardadi Untung di hari pertama ia mengenakan kacamata low-vision di rumah Bedjo Untung. Di hari mana Mardadi juga bertemu dengan Matteuw kolega baru yang masih amat muda dan terpelajar.
Sama pula ia tak menyesalkan trauma 4 hari masa screening pasca 5 November 1965 seusai dia diciduk orba, dimana ia dipaksa harus mengakui apa pun yang dituduhkan; sekalipun tuduhan itu tak masuk akal orang yang waras. Siksaan masa screening yang melampaui batas ketahanan fisiknya dan secara sistemik, perlahan dan pasti, menciptakan sindrom syaraf penglihatan di hari tuanya.
Namun seluruh realitas yang dilakoninya, sejak saat itu, telah membangunkan kekuatan nalar kewarasan yang lebih dari biasa. Kewarasan yang melampaui rusaknya tatanan syaraf di pusat kepalanya..
[]
Your comment?