Madiun Affair: Berontak Kok Minta Instruksi Sama Pemerintah Pusat?

4457 Viewed Redaksi 1 respond
Sumber foto: Fotocollectie Dienst voor Legercontacten Indonesie
Sumber foto: Fotocollectie Dienst voor Legercontacten Indonesie
  • Kesaksian Soemarsono, Juli – September 2013
Broer Martin

“…Begitu anak-anak Panembahan Senopati clash sama Divisi Siliwangi, partai bikin sikap. Partai menginstruksikan kami supaya melokalisir pertempuran yang terjadi di Solo. Persoalan di Solo biar diselesaikan sama kawan-kawan yang di sana. Jangan sampai melebar kemana-mana. Kami juga diminta mewaspadai provokasi tentara dan barisan-barisan bersenjata pendukung Hatta. Maksudnya supaya kami melawan, biar pemerintah punya alasan menyerang dan menangkapi kami.

Clash antara Panembahan Senopati versus Siliwangi meletus tanggal 13 September 1948. Panglima Besar sampai turun ke Solo buat melerai. Menjelang maghrib tercapai gencatan senjata. Tapi cuma beberapa jam.

Ternyata gencatan senjata dipergunakan Siliwangi buat mendatangkan satuan-satuannya dari luar kota, meminta bantuan GRR dan Barisan Banteng mengeroyok Panembahan Senopati.

Gencatan senjatanya Panglima Besar gagal, pertempuran di Solo bertambah sengit. Tanggal 15 September 1948 Hatta menetapkan Darurat Militer untuk Solo. Gatot Subroto diangkat jadi gubernur militernya.

Dikeroyok sama gabungan Siliwangi, GRR dan Barisan Banteng, Overste Suadi minta bantuan sama saya. Si Suadi ini Panglima Panembahan Senopati yang menggantikan Sutarto.

Dia datang ke Madiun bersama Letkol Jadau, Sujoto dan Slamet Riyadi.

Karena sudah mendapat instruksi dari partai, saya menolak permintaan mereka. Kami berusaha menahan diri, tapi provokasi pendukung Hatta menjalar ke luar Solo. Tentara Teritorial Kediri menyerbu Nganjuk, melucuti batalyonnya Munadji. Mobrignya Kolonel Yasin menyerbu batalyonnya Mustofa di Blitar. Di Madiun, pasukan gelap menculiki buruh-buruh yang sedang kongres, seorang buruh kereta api ditembak mati.
Pagi-pagi tanggal 17 September 1948, anak-anak Brigade 29 melapor sama saya:

“Ada pasukan gelap, latihan perang di dekat markas kami. Mereka berseragam hitam-hitam, pakai ikat kepala merah dengan badge tengkorak. Latihan pakai peluru tajam.”

Saya tanya balik:
“Apa mereka sudah melapor sama Komandan Teritorial?”
Anak-anak menjawab:
“Tidak tahu.”

Saya menghubungi Komandan Teritorial, Letkol Sumantri. Biasanya, setiap pasukan dari luar datang, mesti melapor sama Komandan Teritorial. Saya tanya Letkol Sumantri:

“Apa benar ada pasukan dari luar datang untuk latihan perang? Apa mereka sudah melapor?”

Sumantri menjawab tidak ada laporan. Anak-anak terus mendesak saya:

“Apa kita biarkan mereka berbuat semaunya? Kemarin buruh-buruh diculiki. Kita tidak boleh diam!”

Berat rasanya mau ngambil putusan. Akhirnya saya menemui pimpinan PKI. Saya susul ke Kediri. Rombongan pimpinan sedang kampanye Jalan Baru di sana.

Musso dan Bung Amir terkaget-kaget mendengar laporan saya. Tidak menyangka peristiwa yang di Solo menjalar sampai ke Madiun. Saya tanyakan Musso:

“Bagaimana sikap partai kalau sudah begini keadaannya?”

Musso menanyakan balik sama saya:

“Posisi kalian bagaimana?”

Saya jawab:

“Kami pasif. Tapi kalau terus-terusan begini, kami akan dihabisi.”

Musso, Bung Amir dan rombongan pimpinan berembug sebentar. Tidak berapa lama, Musso mengatakan sama saya:

“Kalau sudah begitu keadaannya, mereka akan tambah leluasa. Lucuti saja!”

Pendapat Bung Amir juga sama. Sebelum saya meninggalkan Kediri, Bung Amir sempat bilang sama saya:

“You pasti habis kalau tidak membela diri. Jadi You harus lucuti mereka sebelum kalian dihabisi.”

Tanggal 19 September 1948 jam 02.00 dinihari, pasukan gelap ini kami lucuti. Sempat kontak senjata kira-kira dua jam. Di pihak mereka tiga orang mati, di pihak kami dua orang. Sesudah dilucuti, mereka kami bebaskan. Yang luka-luka dirawat di rumah sakit. Ternyata mereka gabungan dari Siliwangi, Mobrig dan CPM, yang menculiki buruh-buruh sehari sebelumnya.

Pagi-paginya, kami bermaksud melaporkan pelucutan ini pada pemerintah pusat. Mula-mula kami mencari residen, supaya residen menyampaikan laporan ini. Nama residennya Samadikun. Tapi residen ndak ada.

Kami temui wakilnya yang bernama Sidarto. Wakil residen malah mengaku sakit. Lalu kami mencari walikota, namanya Purbosisworo. Walikota juga ngaku-ngaku sakit.

Beginilah watak ambtenaar, karena ndak berani melapor sama pemerintah pusat, ngakunya sakit. Sesudah itu kami mencari Komandan Teritorial, si Sumantri. Dia sebenarnya berani. Tapi karena ini persoalan pemerintahan, dia menyarankan sebaiknya yang ngirim laporan itu pemerintahan setempat.

Wakil Walikota mengajukan diri. Namanya Supardi. Supardi ngirim laporan lewat telegram. Isinya:

“Brigade 29 melucuti pasukan Siliwangi, Mobrig dan CPM. Keadaan sudah aman terkendali. Mohon intruksi dari pemerintah pusat.”

Begitulah keadaan di Madiun tanggal 19 September 1948. Bukan pemberontakan. Kalau dibilang berontak, apa yang namanya berontak melapor sama pemerintah pusat?

Berontak kok minta instruksi sama pemerintah pusat?

Celakanya berita-berita di ibukota menyatakan PKI memberontak. Lha, ini keliru.

Tanggal 19 September 1948, pimpinan PKI dalam perjalanan kampanye Jalan Baru menuju Purwodadi. Mendengar keadaan di Madiun sudah genting, rombongan putar arah ke Madiun. Maksudnya mau menenangkan keadaan.

Sampai di Madiun sekitar jam tujuh malam. Jam delapan malam, kami dikejutkan sama pidatonya Presiden Soekarno. Lewat Radio RRI Yogya, Bung Karno menuduh kami memberontak, meminta tentara dan rakyat merebut Madiun, membasmi pengacau-pengacau di Madiun. Musso nggak terima pidatonya Bung Karno. Cuma ada masalah pelucutan senjata, kok malah dituduh berontak?

Musso membalas lewat Radio Gelora Pemuda Madiun. Musso menolak tuduhan Bung Karno. Musso menuding Soekarno-Hatta bekas penjual romusya, berkapitulasi sama imperialis, pura-pura tidak tahu pemerintahannya Hatta menggunakan kelompok Trotskys berbuat onar di Solo.

Malam tanggal 19 September 1948, Hatta memerintahkan tentara menangkapi wakil-wakil PKI yang ada di KNIP. Padahal besoknya mereka harus bersidang. Besoknya, KNIP bersidang tanpa kehadiran wakil-wakil PKI. Hatta ambil kesempatan mempengaruhi KNIP supaya ikut sama maunya. Di hadapan anggota KNIP, Hatta berpidato:

“…tersiar kabar, entah betul-entah tidak, PKI memberontak di Madiun. Musso jadi presidennya, Amir Sjarifuddin jadi perdana menterinya.”

Ini pidato seenak perut namanya.

“Entah betul-entah tidak” kok dijadikan bukti? Selesai pidato, Hatta minta diberi kuasa penuh selama tiga bulan buat mengatasi keadaan darurat. KNIP setuju, ngasih mandat sama Hatta.

Waktu pemerintah bersiap-siap menyerbu Madiun, Panglima Besar ngasih perintah sebaiknya keadaan di Madiun diselidiki dulu. Apa benar PKI memberontak? Panglima Besar menugaskan Letkol Soeharto menyelidiki keadaan di Madiun.

Menjelang malam tanggal 22 September 1948, Harto menelepon saya:

“Ini Mas Marsono, ya?”
“Benar. Ini siapa?”
“Saya Letkol Soeharto, Mas. Diutus Panglima Besar buat menyelidiki keadaan di Madiun. Sekarang saya di Mantingan. Boleh saya masuk Madiun?”
“Sudah, datang saja. Tidak ada halangan kalau mau masuk kemari. Saya tunggu di sini.”

Harto datang berdua sama supirnya. Begitu bertemu saya, dia berkata:

“Koran-koran di ibukota mengatakan di sini terjadi pemberontakan, penangkapan-penangkapan dan pembunuhan-pembunuhan. Panglima Besar mengutus saya menyelidiki dan melaporkan keadaan di Madiun.”

Untuk membuktikan bahwa keadaan di Madiun tidak seperti yang diberitakan di ibukota, saya membawa Harto berkeliling Madiun. Saya bawa ke dalam penjara. Isi penjara dia periksa semua. Tidak ada tahanan baru. Tidak ada pembunuhan-pembunuhan. Yang dirawat di rumah sakit dia datangi.

Bendera Merah Putih berkibar seperti biasanya. Besok paginya, Harto menyaksikan kantor-kantor pemerintahan buka seperti biasanya. Sesudah bersama-sama mengelilingi Madiun, saya sampaikan padanya:

“Dik Harto, tolong dibikin surat pernyataan bahwa keadaan di Madiun tidak seperti yang diberitakan di ibukota. Supaya disampaikan kepada pemerintah pusat.”

Harto menjawab:

“Boleh, Mas. Tapi pernyataannya Mas yang bikin. Biar saya yang neken. Nanti saya sampaikan ke ibukota.”

Saya lantas menulis surat, menerangkan keadaan di Madiun seperti yang disaksikan Harto. Sesudah selesai, saya bacakan di depan Harto. Selesai saya bacakan, surat itu diteken sama Harto. Lalu Harto bertanya sama Musso:

“Apakah Pak Musso mau titip pesan ke ibukota?”

Musso menjawab:

“Sampaikan pesan, kami tidak mau perang saudara. Tapi kalau pemerintah menyerang, kami akan membela diri.”

Bung Amir sendiri menulis surat. Dia minta Bung Karno supaya mendamaikan persoalan di Madiun. Surat ini dititipkan lewat Harto. Lalu Harto kembali ke ibukota. Nyatanya, surat dan pesan yang dibawa Harto tidak pernah sampai ke tujuan.

Tanggal 23 September 1948, pasukannya Hatta menyerbu Sarangan. Tinggal selangkah lagi menuju Madiun!

Ternyata pemerintah setempat tidak bisa dijadikan sandaran buat membela diri dari tuduhan kejinya Hatta. Tanggal 24 September 1948 kami mengundang rapat umum partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa se-Keresidenan Madiun. Kami ajak menggantikan pemerintah daerah yang tidak berani membela rakyatnya. PNI dan Masyumi ikut diundang. Mereka mau datang dan setuju membentuk Front Nasional Daerah Madiun. Abdul Muthalib diangkat jadi Residen Madiun. Saya jadi gubernur militernya. Bupati-bupatinya juga diganti. Front Nasional Daerah Madiun mengakui pemerintah RI, tetap mengakui bendera Merah Putih.

Dalam pikiran Hatta, tidak ada niat menyelesaikan persoalan di Madiun secara baik-baik. Malah menetapkan status Darurat Militer untuk Jawa Timur. Tiga divisi di Jawa Timur, yang tadinya dirasionalisasi menjadi satu resimen, diaktifkan lagi. Diperintahkan menyerbu Madiun. Sungkono, yang tadinya “jenderal pengangguran” kayak saya gara-gara divisinya dibubarkan, diangkat jadi Gubernur Militer Jawa Timur.

Madiun dijepit dari sisi barat dan timur. Tidak bisa kami pertahankan lagi. Daripada terlibat perang saudara, lebih baik kami menunjukkan diri menghadapi ancaman serangan Belanda.

Tanggal 30 September 1948 kami memulai long march menuju garis demarkasi Godong di Purwodadi. Tapi tetap saja diuber-uber sama tentaranya Hatta.

Celakanya, Menteri Agama menyerukan perang sabil, ikut-ikutan ngipas-ngipasi supaya rakyat yang ndak tahu apa-apa memusuhi kami.

Katanya kami menyembelihi para kyai, membunuhi ribuan umat Muslim. Rakyat ikut-ikutan memerangi kami.

Akibatnya, kami “tawur” dengan rakyat. Yang namanya “tawur” di kedua pihak jatuh korban. Sayangnya, kalau rakyat yang korban, beritanya dibesar-besarkan. Padahal, di pihak kami juga banyak yang korban.”

Broer Martin 
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
70Tragedi-MAX

Tragedi 1965?

ben-1965-geotimes

[Oktober 1965] – Apa yang terjadi di Indonesia?

Related posts
One Response to “Madiun Affair: Berontak Kok Minta Instruksi Sama Pemerintah Pusat?”
  1. robith
    # November 15, 2019 at 9:31 am

    Sungguh pedih membaca tulisan kesaksian Soemarsono, seorang veteran pejuang yang merupakan salah satu.pemimpin perang melawan penjajah 10 Nov 1945 di Surabaya. Sikapnya yang hati-hati dan kritis gagal menangkap alur “konspirasi jahat politik-militer” Jakarta yang tak lain hendak membereskan PKI. Kelewat canggih hingga siapapun patriot negeri ini yang berpikiran tajam,  bermoral dan jantan tak akan mampu menyelami dan menangkap motif kejahatan ini.  Barangkali hanya Hatta dan iblis yang tahu. Soemarsono, PKI, dam Madiun, habis ditikam saudara sendiri dalam selimut. Kyai dan santri, mati sebagai modal provokasi komplotan pelaku. Jutaan rakyat beserta pejabatnya (lengkap dengan beberapa generasi keturunannya!!): tandas ditipu mentah-mentah.Beruntunglah nasib baik Soemarsono masih dapat selamat dan mengabarkan ikhwal sesungguhnya kepada kita: yatim piatu sejarah.Hormat saya pada para patriot yang menjadi korban dalam membela bangsa Indonesia.

Leave a Reply