[Oktober 1965] – Apa yang terjadi di Indonesia?
- Surat Ben Anderson dan Ruth McVey
Bahan ini adalah judul surat Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978. Seperti karya-karya analitis dan studi politik Ben Anderson mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawancarainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan di beberapa waktu yang lalu, namun, sebagian besar masih relevan.
Ben melakukan studi dan analisanya mengenai politik Indonesia, secara luas dan mendalam, independen dan obyektif. Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons terhadap tulisan cendekiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul “APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran.”
Studi analitis Ben dan Ruth mengkonfrontasikan tuduhan Galbraith bahwa kaum Komunis, PKI, beralih ke penggunaan cara kekerasan dalam suatu kup,– dengan kenyataan sebagaimana yang dikemukakan oleh studi dan analisis CIA. Ben dan Ruth juga mengemukakan bahwa hasil studi CIA menunjukkan bahwa fakta dan data ketika itu PKI justru menjauhkan diri dari tindakan kekerasan, dan tak pernah menantang tentara. Dikemukakan juga oleh Ben dan Ruth bahwa tuduhan tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang Komunis/PKI sekitar aksi-aksi di pedesaan, — sesungguhnya itu adalah suatu gerakan untuk melaksanakan suatu program land-reform yang sudah lima tahun sebelumya diundangkan.
Selanjutnya tulisan Ben dan Ruth menggugat klaim pimpinan tentara yang menuduh PKI melakukan kup, karena kenyataannya ialah, apa yang dinamakan kup itu, bukanlah suatu gerakan untuk menggulingkan Sukarno atau pemerintahan Indonesia, tetapi suatu pembersihan terhadap dalam pimpinan Angkatan Darat dengan tujuan untuk membawa perubahan tertentu dalam komposisi kabinet.
Baiklah dimulai saja dengan menterjemahkan tulisan Ben Anderson dan Ruth McVery, sbb:
” Surat Ben Anderson dan Ruth McVey
(1) APA YANG TERJADI di INDONESIA?”
Oleh Benedict R. Anderson, Ruth McVey.
Sebagai respons terhadap APA YANG TERJADI DI INDONESIA?
Suatu Pertukarfikiran
(9 Februari 1978).
Kepada Redaksi:
Selaku “Cendekiawan Cornell” terhadap studi yag mereka lakukan mengenai kup 1 Oktober, 1965 di Indonesia, Francis Galbraith – (1913-1986)- menyinggung dalam serangannya terhadap kritik Amnesty International mengenai pelanggaran HAM yang menyeluruh di negeri itu (lihat suratnya di Timbangan Buku The New York, 9 Februari, 1978) , kami menganggap bahwa catatan dia itu patut sedikit dikomentari.
Pandangan tuan Galbraith mengenai hal ihwal sederhana: “kup” tahun 1965, di mana 6 jendral dibunuh, adalah suatu percobaan perebutan kekuasaan komunis yang ceroboh. Ia beranggapan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan “berkali-kali percobaan berdarah” untuk menggulingkan pemerintahan di Indonesia, yaitu, dalam tahun 1926, 1948 dan 1965- tetapi mengabai-kan menyebut bahwa yang pertama itu tadi adalah suatu pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda!
Kegemaran Partai pada kekerasan, dikatakannya, didemonstrasi-kan sebelum terjadinya kup oleh kenyataan bahwa “ia menstimulir konflik di pedesaan Djawa Timur dengan suatu program penyitaan tanah yang dilakukan secara paksa oleh para pengikut PKI”. Pembaca yang tak waspada sebaiknya dinasihatkan bahwa “program” ini, yang dilaksanakan dalam tahun 1964 adalah suatu perocbaan untuk memperoleh kerelaan (compliance) dengan ketentuan-ketentuan land-reform dan bagi-hasil, yang sudah diundangkan lima tahun sebelumnya. Banyak dari kekerasan sesungguh-nya dalam tahun 1964 adalah resultat dari ulahnya tuantanah untuk secara (ilegal) menarik sewa tanah yang biasa tinggi waktu itu dalam menghadapi perlawanan kaum tani yang meningkat.
Sesudah kup, tulis Tuan Galbraith, “PKI memimpin percobaan tinkgat-dua untuk menguasai Indone-sia. Mereka membunuh siapa saja yang menentang mereka; kaum non-Komunis memukul balik”.
Yang terjadi sesungguhnya bukanlah itu, bila seandainya kita percaya pada versi sejarah kup menurut CIA, yang oleh Tuan Galbraith direkomendasikan sebagai sesuatu yang “memberikan penjelasan yang baik sekali mengenai apa yang terjadi dan mengapa”. (Catatan Ben dan Ruth: CIA, Directorate of Intelligence, Indonesia – 1965: The Coup That Backfired, <1968> cukup aneh, satu-satunya studi CIA mengenai politik Indonesia yang pernah dipublikasikan atas inisiatif badan itu (CIA) sendiri). Karena meskipun adanya pandangan tinggi Tuan Galbraith terhadap usaha historiografi CIA, tampak-nya aneh, ia seperti tidak mengetahui pendapat-pendapat (CIA) itu.
Kenyataannya, studi CIA itu sangat spesifik mengenai ketiadaan kekerasan yang dipicu oleh kaum Komunis. Dalam komentarnya mengenai kegiatan PKI ketua Aidit di Jawa Tengah segera setelah terjadi kup, CIA mencatat bahwa ia (Aidit) memperingatkan orang-orang bawahannya:
Apapun yan terjadi tidak mengizinkan PKI diprovokasi melakukan tindakan kekerasan demikian dinyatakannya kepada orang-orang yang berkumpul mendengarkannya bahwa tidak boleh ada demonstrasi mendukung kup. Suatu kehe-ningan yang tegang dan siaga terasa dimana-mana, tetapi tidak ada tanda-tanda kegiatan PKI dimanapun (Halaman 77-79)
Di Sumatra, demikian laporan CIA menyatakan, kaum komunis “tidak pernah menantang tentara dalam kekerasan besenjata apapun yang ternyata adalah penuturan tentang PKI menyerah pada tentara di seluruh Indonesia sesudah kup”. (halaman 63).
Kenyataannya, berlawanan dengan klaim Tuan Galbraith, studi CIA itu berulang-kali, secara tidak berhati-hati mengungkap tentang ketidak-mungkinan (the implausibilities) terjadinya hal itu dalam versi resmi tentang kup dalam versi pemerintah Suharto. Satu hal, terdapat problim mengenai sumber-sumber. Penguasa militer Indonesia telah menyebarkan ribuan halaman “bahan-bahan” mengenai kup, sedikit sekali yang bisa dipercaya dan tidak ada yang tanpa purbasangka. Studi CIA itu semua-nya menggunakan dan menambahkan bahan koleksi yang dubius ini.
Umpamanya, bahan itu mengutip “statement-statement” oleh para pemimpin tinggi komunis Nyono dan Sakirman sebgai bukti bahwa rapat-rapat Politbiro PKI yang dikatakan memutuskan untuk melancarkan kup itu (halaman 225-227). Bahwa ‘pernyataan’ Nyono itu bertentangan sekali dengan kenyataan yang jelas-jelas tentang gerak-gerik Aidit, dan bahwa “pernyataan” -nya itu bersumber dari suatu “pengakuan”, begitu tidak masuk akalnya sehingga itu harus digantikan dalam jangka waktu beberapa jam saja, oleh suatu versi yang sudah “disempurnakan” dibiarkan saja berlalu tanpa disebut-sebut lagi.
(Catatan Ben dan Ruth: Mengenai hal ini, lihat A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indoneisia Ithaca, Cornel Modern Indonesia Project, 1971, halaman 157-162).
Studi itu mengemukakan bahwa “statement” Sakirman dinyatakan di pengadilan; bila betul begitu, maka itu dilakukan secara posthumus, karena penguasa militer Indonesia menyatakan bahwa ia (Sakirman) sudah ditembak mati “ketika mencoba untuk melarikan diri” segera sesudah ia ditangkap.
Seperti halnya rezim Suhartro, studi CIA itu gagal untuk menghasilkan suatu penjelasan yang mungkin terjadi mengenai tujuan-tujuan para pencetus kup yang dimaksudkan itu; penjelasannya memang secara tak disadari meruntuhkan kasus anti-komunis yang menurut imajinasinya sedang disusunnya itu.
Ambillah misalnya soal mengapa PKI ujung-ujungnya kok menempuh kekerasan. Dalam situasi dimana Indonesia sedang meluncur lancar kearah kiri, dengan Sukarno dan PKI dalam posisi memim-pin, saatnya tampak dekat sekali dimana kaum Komunis akan mengambil alih negeri – bisa terjadi dengan meninggalnya Sukarno, atau bahkan sebelum itu. Kebanyakan peninjau di Barat mengakui ini.
Orang-orang Indonesia tampaknya pasrah. Tentu saja, PKI punya alasan kuat mempercayainya.
Pada tanggal 12 Oktober 1964 [Aidit]menjawab serentetam pertanyaan mengenai PKI dan revolusi Indonesia dengan suatu klaim yang tak pernah terjadi sebelumnya bahwa “Diantara partai-partai Komunis di dunia PKI adalah satu-satunya partai yang paling punya otoritas untuk bicara mengenai ‘peralihan secara damai’ ke sosialisme, karena PKI ambil bagian dalam pemerintahan baik di pusat maupun lokal dan punya potensi nyata untuk melaksanakan politiknya.” [Halaman 168-170].
Ataukah suatu faktor yang tak terduga -seperti keadaan sakitnya presiden karisma-tik Indonesia, Sukarno, penyokong PKI- mendorong para pemimpin Komunis untuk melakukan komplot kup?
Laporan CIA mengedepankan kemung-kinan ini kemudian meninggalkannya mengingat keadaan segar-bugar Sukarno dan kenyataan bahwa “tidaklah mungkin bahwa partai(PKI) akan bergerak karena asumsi bahwa Sukarno bagaimanapun akan mati”. (halaman 260)
Suatu alasan kedua yang mungkin bagi PKI untuk beralih ke kekerasan ialah, bahwa partai khawatir suatu perebutan kekuasaan oleh pimpinan tentara, oponen utama PKI. Para perwira muda yang akutil membunuh para jendral, bukankah, mengumumkan bahwa mereka “melindungi” Sukarno dari suatu kup yang akan segera dilancarkan oleh Dewan Jendral yang diukung oleh CIA. Tetapi bila suatu kup tentara akan segera terjadi, mengapa Aidit – yang secara politik dekat dengan Sukarno, dan selalu berhubungan dekat dengannya (halaman 234-5) tidak memberikan sinyal-bahaya kepada Presiden mengenai bahaya yang mengancam mereka berdua, terbanding mengambil tindakan sendiri? Dan bila Sukarno tidak melibatkan dirinya dalam kup (studi CIA berspekulasi bahwa mungkin ia terlibat), mengapa ia bertindak demikian, dalam suatu cara yang tidak menggunakan apapaun dari otoritasnya yang legitim dalam jabatannya, atau dukungan popula-ritasnya yang begitu besar dan yang tak bisa tidak mempersatukan opini dalam tentara menentangnya?
Meskipun adanya teka-teki (enigma) ini, studi CIA memastikan bahwa dalam bulan November 1964 PKI mendirikan suatu organisasi rahasia untuk menyusup dan melakukan subversi terhadap kekuatan bersenjata Indonesia.
Namanya Biro Khusus, katanya dikepalai oleh seseorang bernama Sjam. Biro Khusus ini memang amat rahasia: Tampaknya, hanya sejumlah kecil orang saja di Politbiro yang tahu tentang adanya Biro Khusus ini; samasekali tidak jelas apakah ada orang lain kecuali Aidit yang tahu tentang identitas orang yang mengepalai organisasi tsb. [Halaman 265-266, dan cf halaman 101].
Karena Aidit sudah mati, otoritas CIA mengenai adanya Biro ini hanyalah Sjam sendiri – yang namanya barangkali tidak tepat mengucapkannya, Sham. Untung, dia ternyata adalah “saksi yang paling koperatif”.
“Begitu Tentara bisa membikin Sjam bicara, tampaknya ia juga ingin sekali menceriterakan segala sesuatu yang ia ketahui tentang kup itu – hampir-hampir dari perasaan bangga, tampaknya” [halaman 76 dan 76a, note].
Barangkali sikapnya yang suka ngomong itu ditimbulkan oleh pengalaman 10 tahun sebagai informan profesional untuk intel militer tentara, yang melaporkan tindak-tanduk PKI dan parpol-parpol lainnya (halaman 107).
CIA mengambil fakta-fakta ini untuk menunjukkan begitu meng-gemparkan-nya penetetrasi PKI ke dalam aparat militer — tetapi dengan sendirinya itu bukan satu-satunya cara hal itu bisa diartikan.
Apa tujuan manipulasi subversif Biro Khusus terhadap perwira-perwira militer? Mengejutkan sekali, tampaknya, bukan untuk merebut kekuasaan: Karena sekarang jelas bahwa kup Indonesia itu bukanlah suatu tindakan untuk menggulingkan Sukarno dan/atau mendirikan pemerintah Indonesia [sic!].
Hakikatnya , tindakan itu adalah suatu pembersihan terhadap pimpinan Angkatan Darat, yang dimaksudkan untuk terjadinya suatu perubahan tertentu dalam komposisi kabinet. Dalam pengertian ini, adalah lebih tepat untuk menyatakannya sebagai suatu pembersihan, dan bukan suatu kup. [N.p.; dari kata pengantar oleh John Kerry King, Kepala DDI Special. Research Staff; dan cf. halaman 29-30].
(2) Apa yang terjadi di Indonesia?
Oleh: Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey
Sabtu ini saya publikasikan bagian-2 bahan berjudul “Apa yang terjadi di Indonesia”. Bagian pertama telah disiarkan pada tanggal 25 Agustus y.l.
Bahan tsb adalah sepucuk surat yang dikirimkan oleh Prof.Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey, tertuju kepada Editor Penerbit New York Review of Books. Surat tsb ditulis pada tanggal 9 Februari 1978.
Seperti karya-karya analitis dan studi politik Ben Anderson lainnya mengenai Indonesia yang banyak ditulis dan diwawancarainya, meskipun itu ditulis atau dikatakan beberapa waktu yang lalu, namun, sebagian besar isinya masih relevan. Bahkan amat relevan ketika saat ini sedang dalam suasana mengingat kembali Peristiwa Tragedi Nasional dalam tahun 1965. Luas diketahui di kalangan dunia penelitian politik internasional maupun Indonesia, studi dan analisa Ben Anderson mengenai politik Indonesi,dilakukannya secara luas dan mendalam, independen dan obyektif. Maka, meskipun tulisan tsb dibuat 27 tahun y.l., namun, isinya tetap relevan.
Di bagian (2) ini menarik dan patut diperhatikan apa yang disimpulkan oleh Ben dan Ruth McVey dari studinya sekitar APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada bulan Oktober 1965, sbb: (Saya kutip lengkap bagian ini, I.Isa):
Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya — saingan lama Suharto.
Tidak sekali Ben Anderson mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, akhirnya adalah suatu tindakan “pembersihan” di kalangan tentara Indonesia, yang berakhir pada penumbangan Presiden Sukarno dan penghancur-kan samasekali PKI dan kekuatan Kiri lainnya yang mendukung Presiden Sukarno.
Tulisannya kali ini yang saya publikasikan kembali secara berseri, ditulis bersama cendekiawan Barat lainnya, Ruth McVey, sebagai respons terhadap tulisan cende-kiawan Francis Galbraith [1913-1986], berjudul “APA YANG TERJADI di INDONESIA? Suatu Pertukarfikiran.”Berikut ini adalah sambungan surat Ben Anderson daRuth McVey, kepada Editor NY Book Review:
“Pembersihan” ini — pembunuhan terhadap enam jendral tingkat atas — terlaksana pada lewat tengah malam oleh Letkol Untung yang tak terkenal dan satu batalyon pasukan (halaman 64). Suatu cara drastis aneh yang dimaksudkan untuk menjamin suatu perombakan kabinet; aneh sedikit orang untuk menjamin imunitas terhadap retribusi oleh sesame perwira. Komentar Studi CIA tidak kurang meng-herankan:
Ia memperlihatkan, baik sukses program Biro Khusus melakukan subversi di dalam AD sehingga PKI bisa berbuat seperti melakukan penculikan seluruh komando tertinggi Tentara, maupun terjadinya suatu keadaan dimana terlihat situasi umum ketidak-siapan [sic] PKI pada saat menhadapi tantangan-menyeluruh dari fihak militer. (halaman 180).
Sebagai kompensasi terhadap ketiadaan kekuatan militer yang menyedihkan itu, orang mestinya menantikan para pelaku kup itu akan menggunakan semaksimal mungkin nama dan otoritas Sukarno. Namun, anehnya, mereka tidak berbuat demikian, bahkan tidak dalam siaran mereka pada saat kemenangan pertama. Analisis CIA itu bingung oleh kenyataan ini: Hampir tidak dapat dibayangkan bahwa siapapun yang melakukan kup di Indonesia dalam tahun 1965, tidak akan mencoba untuk menggunakan otoritas Sukarno untuk merebut dukungan umum di belakang gerakan itu
Kenyataan bahwa Sukarno disebut hanya sebagai seseorang “yang dilindungi” (oleh grup pelaku kup) menciptakan suatu kesan yang samar-samar bahwa kup tsb mungkin anti-Sukarno. (halaman 22).
Suatu kesalahan aneh yang dibuat kaum komunis yang dilindungi Sukarno. Lebih aneh lagi, sebagaimana halnya dibikin jelas oleh studi CIA itu, para pelaku-kup tidak memobilisasi dukungan massa sesuatu yang dapat dilakukan oleh kaum Komunis:
Bila PKI yang melakukan kup itu. mengapa ia gagal untuk melancarkan propaganda menyeluruh untuk mendukungnya. PKI mampu sekali untuk itu, untuk memobilisasi opini umum di Indonesia (halaman 128).
Satu-satunya pengecualian terhadap kepasifan yang menimbulkan tanda tanya ini,ialah munculnya editorial dalam suratkabar PKI pada tanggal 2 Oktober, yang, dengan membenarkan tindakan para pemimpin kup telah “memberikan tentara dokumen justifikasi bagi kemusnahan PKI sendiri” (halaman 67). Adalah meng-herankan bahwa tajuk rencana tanggal 2 Oktober itu, munculnya sesudah kup itu gagal, begitu tergesa-gesa, sedangkan pada hari sebelumnya koran-koran Komunis jelas behati-hati.
Laporan CIA itu berasumsi bahwa para redaktur berfikir kup masih berjalan lancar ketika suratkabar itu diletakkan di atas percetakan pada sore tanggal 1 Oktober (Halaman 68), namun di tempat lain diberitakan bahwa pada petang hari telah jelas bahwa kup itu telah gagal. Lebih aneh lagi ialah, munculnya surat kabar itu tidak distop oleh Jendral Suharto, yang pada malam hari tanggal 1 Oktober telah menguasai ibukota dan telah menempatkan semua media di bawah kontrol militer yang ketat. Bagaimana bisa editorial yang memberatkan /melibatkan itu muncul di kiosk-kiosk penjualan koran pada keesokan harinya? Laporan CIA tsb mengarahkan bahwa editorial itu dibuat sebelumnya (halaman 68). Barangkali itu yang terjadi, tetapi tidak mesti hal itu dilakukan oleh pimpinan Partai.
Bila, seperti bukti-bukti itu menyarankannya, kup itu dimaksudkan bukan untuk memperluas, tetapi sebaliknya untuk menghancurkan kekuatan kaum Komunis, maka tidak masuk akal bahwa manuver seperti itu diluncurkan oleh pimpinan tentara, hal mana berakhir dengan kematian-berdarah yang bersangkutan. Tetapi eselon yang lebih tinggi tentara Indonesia keadaannya jauh dari bersatu. Salah seorang dari jendral senior yang tidak dimasukkan dalam klik-klik sekitar dua jendral tertinggi Nasution dan Yani — adalah orang yang oleh kup dinaikkan ke singgasana kekuasaan, yaitu Jendral Suharto. Suharto ketika itu komandan KOS-TRAD, tentara cadangan strategis pilihan, dan sesudah Yani, adalah jendral yang paling senior yang sedang dinas aktif. Ia hanya memelihara hubungan yang sangat dingin dengan Nasution dan Yani. (Catatan Ben dan McVey: Bertindak atas dasar informasi yang diperoleh oleh Pranoto, kepala staf Suharto, Nasution telah memecat Suharto dari jabatannya sebagai komandan divisi Jawa Tengah (maksud-nya Divisi Diponegoro — I.Isa) dalam tahun 1959 karena ia (Suharto) terlibat penyelundupan. Lihat Harold Crouch, “Tentara Indonesia dalam Politik: 1960-1971 (tesis PH.D, Monash University, 1975), halaman 164,207 dan 228.
Seperti yang dicatat oleh CIA, ia (Suharto) bukan orang yang disasar oleh grup yang melakukan kup — “pasti merupakan kesalahan besar para perancang kup”. Ini teristimewa menarik karena tiga yang diatas dari perancang kup itu punya alasan khusus untuk mengetahui Suharto itu orang yang seperti apa dan mengapa KOSTRAD itu begitu penting: Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Kolonel Latief pernah atau masih berada langsung di bawah Suharto. Beberapa saat sebelum kup, Latif memimpin latihan-latihan gabungan untuk menguji pertahanan ibukota — maka tidaklah mungkin bahwa ia tidak tahu instalasi-instalasi apa yang vital bagi penguasaan militer atas kota.
Namun Suharto tidak diganggu. Benar sekali, tidak ada percobaan apa-apa untuk menduduki atau mengepung Markas Besar KOSTRAD, dimana Suharto menegak-kan komando kontra-kupnya. Dan meskipun pasukan-pasukan kup merebut instalasi-instalasi sipil pusat, mereka tidak mencoba untuk menguasai komunikasi KOSTRAD yang amat canggih, suatu sistim darurat militer utama, dengan mana Suharto langsung mengumpulkan kendali kekuasaan di tangannya sendiri.
Hakikatnya, problim utama bagi Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup kup itu, tetapi Presiden Sukarno, yang menentang klaim Suharto untuk memimpin tentara dan mengedepankan Pranoto yang lebih dipercayainya — saingan lama Suharto.
***
Marilah kita ikuti bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth tsb:
(3) *APA YANG TERJADI DI INDONESIA, Oktober 1965 ?
Surat Prof Dr Ben Anderson dan Prof. Dr. Ruth McVey* <9 Februari 1978>
Ini adalah bagian terakhir surat Ben Anderson dan Ruth McVey, pakar Indonesianis berbangsa Amerika yang ditujukan kepada New York Times Book Review. Isinya mengkritisi tanggapan pakar lainnya bernama Francis Galbraith yang secara sederhana menarik kesimpulan gampang-gampangan mengenai apa yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1965. Ben dan Ruth malah menunjukkan fakta-fakta bahwa analisis CIA lebih patut diperhatikan, karena mengandung fakta-fakta yang banyak orang kurang memperhatikannya.
Dalam bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth, mereka minta perhatian pada kenyataan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesudah 1 Oktober 1965, setelah dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah, — adalah p e m b a n t a i a n m a s a l, pembunuhan besar-besaran yang tidak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Tetapi yang oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini seperti terlupakan saja. Tak ada yang dimintai pertanggungan-jawabnya mengapa ratusan ribu, bahkan lebih satu juga manusia Indonesia yang tak bersalah, telah dibunuh, tanpa proses pengadilan apapun.
Sungguh sulit dimengerti, bahwa begitu lama dunia politik, kalangan ilmuwan, khususnya ilmu sejarah di Indonesia bisa bungkam begitu lama mengenai masalah tsb. Kalau ada sesuatu yang teramat serius yang merupakan problim besar dalam hati nurani dan bawah-sadar bangsa ini setelah 60 tahun hidup sebagai bangsa merdeka, ialah k e b u n g k a m a n n y a terhadap pelanggaran HAM terbesar yang terjadi pada dirinya sendiri.
Surat Ben dan Ruth itu ditulis 27 tahun yang lalu. Problim-problim dan analisis yang mereka ajukan masih tetap relevan. Masih tetap saja belum terjawab. Ada berita gembira bahwa baru-baru ini dinyatakan oleh kalangan yang bersangkutan mengenai arsip negara, bahwa mereka akan mengadakan penelitian dan pelaca-kan, dimana surat asli yang terkenal dengan nama SUPERSEMAR itu ? Namun, yang lebih penting lagi ialah berusaha mencari kebenaran, mengadakan penelitian dan studi yang mendalam oleh yang bertanggung-jawab, oleh pemerintah, mengenai masalah ini: APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada 1 OKTOBER 1965.
Demi penulisan sejarah bangsa ini, untuk menjadi pelajaran di masa depan, khususnya bagi generasi baru kita: Adalah tanggung jawaba seluruh masyarakat, terutama penguasa, pemerintah dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah tsb; sampai dimana penguasa, aparat, terlibat dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM demikian kolosalnya pada tahun-tahun 1965, 1966 dan 1967?
Dalam kenyataannya, problim utama Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup yang melakukan kup itu, tetapi Presiden Sukarno., yang menolak klaim Suharto untuk menjadi pemimpin tentara dan sebaliknya mengajukan Pranoto yang lebih dipersacaya – seorang saingan lama Suharto.
Namun akhirnya, — setelah mengepung pangkalan udara dimana Sukarno berlindung, dan setelah ia memberikan hakikatnya suatu ultimatum kepada Presiden Sukarno – Suharto memperoleh apa yang dikehendakinya. Apakah perha-tian CIA terhadap semua ini? Barangkali hanya menyerupai suatu keprihatinan historiographis yang keilmiah-ilmiahan. Atau barangkali Lembaga itu (CIA), memiliki koneksi yang lebih erat terbanding pada apa yang disimpulkan oleh analisisnya sebagai yang dikatakan “mungkin terbukti merupakan salah satu peristiwa terpenting pada periode pasca [Perang Dunia II]. Dampak (repercusions) politik dari kup tsb tidak hanya telah mengubah seluruh arah sejarah Indonesia tetapi ia merupakan efek mendalam terhadap cakrawala(scene) politik dunia, khsususnya yang menyangkut Asia Tenggara” (halaman 70).
Memang, bagi CIA, tampaknya hal itu punya nilai tanpa suatu risiko kecil untuk mengakhiri “menggelundungnya dengan lancar ke Kiri” satu bangsa yang kelima besarnya didunia, khususnya pada saat dimana Amerika Serikat sedang sibuk melakukan perlawanan terhadap kemajuan menyeluruh kaum Komunis di Vietnam.
Bila memang begitu, Lembaga itu (CIA) rendah hati sekali mengenai apa yang dicapainya. Tetapi hal itu mungkin bisa dimengerti, karena move itu tidak hanya melibatkan enam orang jendral, tetapi, melibatkan suatu pogrom (pengejaran) yang menyertainya, yang merupaikan salah satu dari pembantaian terbesar dalam zaman kita.
Sebagaimana disimpulkan oleh analisa CIA: Dalm hal jumlah yang telah dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu dari pembunuhan masal yang paling buruk pada abad keduapuluh, sama seperti pembersihan yang dilakukan Sovyet dalam tahun 1930-an, pembunuhan masal Nazi selama Perang Dunia II, dan pertumpahan darah Maois pada permulaan tahun 1950-an.
Pada tanggapan kedua, kup Indonesia itu pasti merupakan salah satu dari peristiwa yang paling penting di abad keduapuluh, jauh lebih penting terbanding peristiwa-peristiwa lainnya yang telah memperoleh banyak publisitas. [halaman 71, nota].
—
Benedict Anderson
Profesor of Government
Cornel University, Ithaca, New York
Ruth McVey – Reader in Politics, School of Oriental and African Studies, London, England.
***
Your comment?