Deskripsi Proses Temu Nasional Korban 1965

1116 Viewed Redaksi 0 respond
Illustrasi: Dok. Humas YPKP'65

 YPKP 65 Cibinong, 8-11 Desember 2009.

Temu Nasional Korban 1965 Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1965 (YPKP 65) (selanjutnya disebut Temu Nasional saja) sudah berlangsung sejak 8-11 Desember 2009. Temu Nasional itu dihadiri oleh 80 peserta berasal dari 25 kabupaten di Indonesia. Peserta datang dan pulang dengan biaya sendiri di tengah minimnya sumber penghasilan ekonomi. Bentuk kemandirian korban. Bahkan, peserta mengumpulkan uang secara kolekte saat acara berlangsung. Uang itu diberikan kepada panitia sebagai bentuk solidaritas dan kontribusi kongkret demi berlangsungnya Temu Nasional. Jumlah uang yang terkumpul mencapai Rp1.366.000.

Dengan semangat tinggi, para peserta mengikuti rangkaian acara yang padat meski rata-rata usia mereka di atas 65 tahun. Rangkaian acara meliputi, 1). Diskusi Publik “Pengungkapan Kebenaran Peristiwa 1965 untuk Keadilan Bagi Korban”. Diskusi itu diselenggarakan di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok pada 9 Desember 2009. Dimulai dari jam 09.00 – 18.00 WIB; 2). Aksi Massa. Aksi massa dilakukan di dua titik, Bundaran HI dan Istana Negara pada 10 Desember 2009, bertepatan dengan Hari Hak Asas Manusia Sedunia. Aksi massa dimulai dari jam 09.00 – 14.00 WIB; dan 3). Workshop. Agenda itu membahas evaluasi kerja yang kemudian ditarik ke identifikasi masalah korban tragedi 1965. Hasilnya akan menjadi acuan penyusunan rencana strategi dan program kerja.

Peserta Temu Nasional berasal dari kabupaten-kabupaten di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan DKI Jakarta. Berkurangnya jumlah peserta dari rencana semula karena tidak ada dana transportasi dari peserta, kesehatan yang memburuk pada hari pelaksanaan, dan sedikit kesalahpahaman. Namun, komunikasi terus dilakukan ke cabang-cabang yang belum bisa hadir tentang Temu Nasional dan rencana tindak lanjutnya. Tujuannya, konsolidasi secara nasional terpenuhi.

Temu Nasional diawali di Gedung YLBHI Jl. Diponegoro 74 Jakarta Pusat, tempat sentralisasi para peserta yang datang dari berbagai daerah. Sentralisasi dibuka sejak jam 09.00 – 15.00 WIB. Namun, peserta sudah ada yang tiba di Jakarta pukul 06.00 WIB. Rentang waktu yang cukup panjang itu diisi peserta dengan tidur, sarapan, dan makan siang. Beberapa peserta sudah tiba di Jakarta pada 6 Desember 2009, sore dan malam harinya. Mereka berasal dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Pati. Peserta yang datang lebih awal itu sudah menginap di Kinasih Resort agar memudahkan mobilisasi. Perjalanan yang jauh menggunakan jalur darat membuat beberapa di antara peserta sakit. Pagi harinya, panitia membawa mereka ke suatu klinik di luar resort untuk berobat.

Masih di Gedung YLBHI, sebelum berangkat menuju Kinasih Resort, tempat penginapan peserta, panitia mengadakan briefing sesaat soal teknis pelaksanaan kegiatan agar peserta mendapatkan panduan. Akhirnya, rombongan YPKP 65 berangkat pukul 15.00 WIB dengan menggunakan dua bis besar menuju ke arah Cimanggis Depok.

Rombongan peserta sampai di Kinasih Resort pukul 17.30 WIB. Peserta langsung memanfaatkan segala fasilitas cottage, termasuk coffe break dan makan malam. Selama rentang dua jam lebih peserta manfaatkan untuk istirahat. Acara dimulai setelah makan malam. Acara dibuka oleh Ketua Panitia, Heru Suprapto pada pukul 20.00 WIB.

Pada prolog, Ketua Panitia menyampaikan maksud dan tujuan Temu Nasional. Sebelumnya, Ketua Panitia memperkenalkan keseluruhan anggota panitia yang seluruhnya adalah orang-orang muda di bawah 30 tahun. Sejumlah 12 orang. Lima di antaranya perempuan. Mereka mahasiswa/i dan pemuda yang aktif di gerakan rakyat. Mereka punya perhatian dan kepedulian yang sama soal hak asasi manusia, terlebih soal tragedi 1965.

Prolog Ketua Panitia dilanjutkan dengan membahas partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sustainabilitas Temu Nasional. Tidak lupa, Ketua Panitia membuka diskusi ke peserta terkait keempat hal itu. Tujuannya agar Temu Nasional berjalan dengan penuh kekeluargaan dan saling percaya.

Beberapa persoalan dan pertanyaan muncul dari peserta. Soal undangan dan komunikasi. Soal konflik masa lalu. Soal rangkaian acara. Soal dana. Soal macam-macam. Namun, intinya peserta senang karena akhirnya YPKP 65 berhasil mengumpulkan relawan-relawannya (perwakilan cabang-cabang) yang tersebar di seluruh Indonesia untuk membahas suatu agenda penting, yakni konsolidasi. Suatu peristiwa bersejarah yang jarang terjadi selama pergerakan korban tragedi 1965. Temu Nasional merupakan pertemuan besar korban 1965 pertama sejak reformasi bergulir tanpa gangguan berarti yang menghentikan acara itu. Meski seringkali pihak aparat intelejen dari kepolisian dan militer terus memonitor langsung.

Konsolidasi memang diperlukan saat ini di tengah pengabaian negara atas tragedi 1965 dan tertahannya kerja-kerja organisasi korban 1965 karena berbagai faktor. Pada umumnya persoalan usia dan logistik yang membuat roda organisasi tertahan berjalan. Ketua Panitia bersama Pengurus Pusat YPKP 65 akhirnya mampu memuaskan segala pertanyaan yang muncul dari peserta. Membuat jalannya Temu Nasional relatif lancar dan dinamis, tidak kaku.

Malam pertama Temu Nasional, malam pembukaan, ditutup pukul 21.00 WIB. Peserta melanjutkan istirahatnya. Hari itu memang cukup melelahkan mengingat hari pertama peserta tiba di Jakarta dari daerah masing-masing.

Hari kedua Temu Nasional adalah diskusi publik.

  1. Diskusi Publik

Setelah sarapan, peserta langsung bergegas menuju Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok. Perjalanan memakan waktu satu jam. Sesampai di sana, para narasumber dan fasilitator sudah berdatangan.

Diskusi dibuka dengan lagu Indonesia Raya. Salah satu panitia muda perempuan memimpin peserta menyanyikan lagu itu dengan hikmat. Setelah itu, dua orang musisi muda anak korban membawakan musikalisasi Genjer-genjer dengan aransemen blues dan jazz. Suasana semakin meriah. Peserta diskusi diajak untuk menikmati performance music sekaligus merenungkannya. Dengan gitar listrik dan organ, musik Genjer-Genjer berubah menjadi rentetan melodi fluktuatif yang berirama khas jazz yang bertempo cepat dan semangat, namun klimaksnya justru tempo lamban yang lama – seperti turut memperingati peristiwa sejarah yang menyayat kemanusiaan itu.

Intro lagu genjer-genjer dibuka dengan petikan gitar tunggal yang pelan, mirip irama blues melankolik. Sementara, para pengunjung mulai berdatangan dan layar besar di atas panggung memutar film dokumenter hitam putih saat gerakan pengejaran dan pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis berlangsung. Petikan gitar yang lamban itu memberi nuansa kelam dan murung, mengiringi adegan film saat tank-tank perang memasuki desa-desa. Ketika akhirnya bunyi organ masuk berpadu dengan permainan gitar, irama lagu masih seperti blues yang lamban, lalu perlahan temponya semakin cepat, mengingatkan pada musik jazznya Lonnie Smith yang memainkan melodi organnya dengan begitu cepat dan riang. Para peserta dan pengunjung terpana menyaksikan penampilan dua orang muda dari Jogjakarta. Mereka adalah anak korban.

Setelah itu, MC meminta Bedjo Untung, sebagai Ketua YPKP 65 untuk memberi kata-kata pengantar sambil menyilakan moderator dan para narasumber pada Sesi I naik ke tempat yang disediakan.

Ruth Indiah Rahayu sebagai moderator membuka diskusi dengan prolog, “Peristiwa 1965 diawali dengan pembunuhan para perwira Angkatan Darat (AD) pada 1 Oktober 1965. Produk sejarah Orde Baru menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas peristiwa itu. Namun, saat ini banyak bukti sejarah dan kajiannya mengerucut pada keterlibatan AD pimpinan Mayor Jenderal Soeharto yang didukung Amerika, Inggris, CIA, dan sekutunya. Pembunuhan para perwira AD mengantarkan Soeharto berkuasa di puncak pemerintahan secara fasis. Pembunuhan yang ditimpakan kepada PKI itu pula menjadi dalih pembunuhan jutaan simpatisan dan anggota PKI. Lebih dari itu, peristiwa 1965 merupakan batas jaman dari arus maju kebangkitan nasional di bawah panji revolusi menuju kondisi negara bangsa yang terpuruk dalam berbagai dimensi dan level. Atas dasar itu, penuntasan peristiwa pembunuhan massal 1965 merupakan kunci kotak pandora dari berbagai persoalan yang sedang kita hadapi. Terbukanya kotak pandora itu menjadi refleksi yang dapat mengarah pada bola salju gerakan revolusioner rakyat untuk perubahan”. Prolog itu merupakan sipnosis dari diskusi ini.

Ruth Indiah Rahayu, biasa dipanggil Yuyud, merupakan peneliti sejarah di Institut Sejarah Sosial Indonesia. Selain dikenal sebagai feminis sejak tahun 1970an, ia juga aktif di gerakan buruh sebagai pendidik kader-kader buruh progresif. Yuyud adalah seorang istri dari mantan tahanan politik 1965. Dengan pengalamannya dan perspektifnya yang kuat dan banyak, Yuyud membawa diskusi itu lebih mendalam.

Pada Sesi I, ada sedikit perubahan komposisi narasumber. Rencana awal, pada sesi itu diisi oleh empat narasumber. Namun, pada pelaksanaan, ada lima narasumber. Mereka adalah Heru Atmodjo, saksi dan pelaku sejarah 1 Oktober 1965, Manismar, Gerwani Sumatera Barat, pejuang yang melawan Gerakan PRRI Permesta, Samsul Hilal, anggota DPRD Sumatera Utara, korban, Baskara T. Wardaya, sejarahwan Universitas Sanata Darma, dan Galuh Wandita dari International Centre for Transitional Justice. Perubahan itu karena beberapa narasumber meminta agar jadwal mereka dimajukan di Sesi I. Berikut sekilas isi diskusi pada Sesi I.

Heru Atmodjo memperkenalkan konteks dia saat tahun 60-an. Ia saat itu seorang perwira intelijen Angkatan Udara. Ia pernah dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar secara ilmiah tentang kekuatan udara di dunia. Di sekolah saat itu, ia mengetahui soal keputusan bung Karno yang mengambil politik bebas aktif (non blok) ternyata mendapatkan serangan dari Amerika dan sekutunya. Pada konteks Perang Dunia II, politik non blok (Timur atau Barat) oleh Amerika Serikat dinilai tidak bermoral. Sebenarnya, politik bebas aktif itu tidak netral. Sikap politik bebas aktif menurut bung Karno harus memihak mana yang baik dan melawan yang buruk. Politik imperialisme yang dijalankan Amerika dan sekutunya dinilai Soekarno sangat buruk. Hal itu tidak sesuai dengan pedoman keadilan dan hak asasi manusia. Namun, sikap itu tidak diterima Amerika Serikat dan sekutunya.

Amerika menganggap musuhnya adalah para pemimpin Konferensi Asia Afrika, yaitu Soekarno, Nehru, Nkrumah, Unu, dan Gamal Abdul Nasser. Heru Atmodjo langsung melaporkan informasi itu kepada Soekarno bahwa pemerintahannya ingin digulingkan paksa oleh Amerika dan Inggris dengan jalan apa pun.

Semenjak itu, pemerintahan Soekarno digoyang untuk dijatuhkan. Pemberontakan PRRI/Permesta dan menyusupnya kapal induk Inggris ke perairan Bangka merupakan salah satu upaya menjatuhkan Soekarno. Beberapa kali upaya pembunuhan Soekarno dilancarkan. Namun, sulit sekali berhasil.

Peristiwa Gerakan 1 Oktober adalah titik kulminasi dari upaya menjatuhkan Soekarno dari jabatan presiden. Sekaligus, upaya untuk memusnahkan gerakan kiri yang giat dipelopori oleh Partai Komunis Indonesia. Akibatnya tujuh perwira Angkatan Darat terbunuh. Hingga kini versi sejarah yang dirilis oleh banyak akademisi bertentangan sekali dengan versi sejarah Orde Baru. Kematian tujuh perwira menjadi dalih Angkatan Darat beserta CIA Amerika membunuhi jutaan jiwa dengan membabi buta. Jutaan lainnya disiksa dan ditahan dengan sangat tidak manusiawi.

Manismar di dalam diskusi itu lebih banyak berbicara soal perjuangan dia pada tahun 60-an. Ia bersama kawan-kawan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) lainnya menentang pembentukan Dewan Banteng di Sumatera Barat. Dewan Banteng adalah kelompok yang ditugasi oleh negara imperialis untuk membentuk negara boneka PRRI/Permesta. Kelompok ini mendelegitimasi kepemimpinan Soekarno.

Manismar bersama kawan-kawan berunjuk rasa bersama ribuan orang lainnya di Bukit Tinggi pada tanggal 20 Agustus 1957. Unjuk rasa dilakukan menuntut agar Dewan Banteng bubar dan hubungan dengan pemerintah pusat terjalin baik kembali. Akibatnya, Manismar dan beberapa kawan lainnya ditahan oleh PRRI/Permesta.

Selama perlawanan di Sumatera Barat, banyak orang dibunuh dengan sadis. Manismar saat itu kehilangan ayahnya yang ikut juga di dalam perlawanan. Pada peristiwa 1 Oktober 1965, ia dan kawan-kawan tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Akibatnya, ia kehilangan ibu dan anak-anaknya.

Samsul Hilal, anggota DPRD Sumatera Utara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berpendapat bahwa kekuatan di dewan didominasi oleh kekuatan kanan. Mereka adalah para pengusaha hitam. Sedangkan, kekuatan kiri terutama yang menggunakan ajaran Soekarno, yakni sosialisme masih sangat sedikit. Sehingga, sangat sulit mengharapkan ada keputusan DPRD yang memihak rakyat.

Ia sangat memahami betul ajaran Marxisme. Ia juga menerapkan ajaran itu di dewan. Marxisme dapat menjelaskan bagaimana kemiskinan itu terjadi? Apa penyebabnya? Sementara agama tidak. Agama hanya dapat mendeskripsikan kemiskinan tetapi tidak dapat menjawab persoalannya. Ia tidak pernah takut membicarakan Marxisme di forum mana pun karena keyakinan itu yang dapat menyelamatkan negeri ini. Risiko yang dihadapi olehnya ditangkap untuk kedua kalinya. Itu tidak membuat dia jera sedikit pun.

Sejarahwan Baskara T. Wardaya melihat dalam perspektif sejarah atas kesaksian kawan-kawan sebelumnya. Baskara meminta kita untuk membaca tragedi 1965 dengan membaca secara terbalik kronologis sejarah nasional versi penguasa menjadi non kronologis. Membacanya seperti ini, A). sudah sejak sebelum 65, pihak Barat menginginkan Indonesia menjadi bagian dari Barat. Anti kiri dan pro modal asing/barat; B). supaya hal itu terjadi, maka pemimpin dan pemerintah Indonesia haruslah anti kiri dan pro modal asing; C). supaya ada pemimpin dan pemerintahan demikian, maka Presiden Soekarno harus dilengserkan; D). Agar Soekarno dilengserkan maka PKI dihabisi sebagai pendukung Soekarno yang utama; E). Untuk bisa melakukan itu, harus ada peristiwa tertentu yang membuat PKI bisa dipersalahkan.

Baskara menjelaskan lebih lanjut, peristiwa 1965-1966 tidak hanya ditentukan oleh faktor nasional tetapi juga faktor asing. Tujuannya mendominasi Indonesia secara ekonomi dan politis. Kedua, untuk bisa mendominasi tadi harus menggulingkan pemerintahan Soekarno yang anti Barat dan anti modal asing. Menjadi pemerintahan yang pro Barat dan pro modal asing. Pemahaman lain yang didapat, bagi Barat, pembasmian anggota PKI adalah satu cara terbaik untuk menghilangkan dukungan pada Soekarno, terlepas PKI salah atau tidak.

Ada banyak sekali bukti untuk mendukung pembacaan terbalik itu. Setelah PRRI/Permesta, AS membina hubungan militer dengan AD. Agar Indonesia menjadi pemerintah militer. Tahun 1958 banyak perwira Indonesia yang dididik di AS. Hingga sekitar tahun 1964 ada sekitar 1200 perwira yang dididik di AS.

Pada tahun 1963, AS sedang mengalami masalah berat di Vietnam. AS gelisah dengan adanya politik konfrontasinya bung Karno. Meski dalam konfrontasi itu yang berhadapan langsung adalah Inggris, namun juga tetap meminta bantuan AS. Sehingga AS akan mempunyai dua front di Asia tenggara, Vietnam dan Semenanjung Malaya. Bagaimana pun, konfrontasi harus diakhiri dengan menjatuhkan Soekarno.

Pada 23 Oktober 1963, ada dokumen yang mengatakan bahwa menyingkirkan Soekarno tidak mudah. Kecuali jika orang-orang Indonesia juga menginginkannya. Istilahnya our local army friends.

Tahun 1964, CIA sudah melancarkan operasi rahasia non komunis. AS jelas membiayai dan mendidik teknokrat, agar sistem ekonomi di Indonesia sejalan atau kompatibel dengan AS. Disebut dengan mafia Berkeley. Sejak itu, ekonomi Indonesia cocok dengan ekonomi AS. Di Indonesia, juga ada orang mendukung program itu. Misalnya, UU Penanaman Modal Asing yang pertama kali dibuat. Ini menarik karena negara masih kacau, UU yang dibuat justru mengurusi modal asing. Ternyata terkait dengan perusahaan bernama Freeport di New Orleans yang konon sejak lama menginginkan tambang tersebut. Namun, ditutup Soekarno.

Selain itu, ada juga perusahaan Jepang yang juga mengetahui tambang tersebut. Freeport ingin segera masuk Indonesia namun terbentur UU yang tidak ada dan juga tidak ada kantornya. Karena selama masa Soekarno, ditutup. Akhirnya disusun UU itu berkonsultasi dengan Amerika, namun tergesa-gesa karena berkompetisi dengan Jepang. Kelihatan sekali hanya untuk memberikan payung hukum untuk masuk Indonesia. Tidak cukup melihat peristiwa 1965 dari dalam negeri, juga harus melihat konteks internasional waktu itu, perang dingin.

Dalam melihat peristiwa 1965 tidak cukup saja melihat pada peristiwa 1 Oktober 1965. Juga pembunuhan massal sejak minggu ketiga hingga sekarang. Yang menjadi korban bukan hanya yang dibunuh, disiksa. Tetapi juga rakyat Indonesia, karena setelah itu politik ekonomi Indonesia berubah total. Rakyat pemilik negeri ini hanya dianggap massa mengambang, yang didekati hanya menjelang pemilu. Setelah itu diabaikan. Perlunya penceritaan kembali tentang apa yang terjadi juga bagaimana dan mengapa itu semua terjadi.

Tragedi 1965 perlu dilihat dan dibahas dari sebanyak mungkin aspek. Hal ini penting untuk rekonsiliasi. Dalam rangka rekonsiliasi, perlu kerjasama dengan berbagai pihak. Bukan hanya korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat. Rekonsiliasi perlu di tingkat nasional dan akar rumput adalah keharusan jika bangsa ini mau jujur pada diri sendiri dan melangkah ke depan.

Galuh Wandita dari International Centre for Transitional Justice memproyeksikan keterangan-keterangan sejarah ke dalam gerakan advokasi lokal, nasional, dan internasional. Galuh memberikan satu contoh negara yang telah berhasil menyeret pelanggar HAM berat ke pengadilan di bekas negara otoriter fasis. Salah satunya, negara Kamboja. Pemerintah berkuasa telah membuat monumen-monumen yang memerlihatkan alur dan pola kekerasan yang dilakukan aparat rejim Pol Pot. Monumen itu bagian dari memorialisasi publik agar peristiwa yang mengungkap kebenaran itu tetap terjaga kisahnya dari generasi ke generasi. Tujuannya, peristiwa itu tidak terulang kembali.

Sejalan dengan itu, tragedi 1965 masih terkendala oleh keinginan politik rejim untuk menuntaskan kasus itu. Saat ini rejim belum mau membuka kebenaran dari sejarah tragedi 1965 kepada publik secara resmi. Termasuk persoalan hukum yang masih jauh dari bagian upaya pengungkapan kebenaran. Justru, rejim berkuasa saat ini masih melestarikan versi sejarah orde baru yang diajarkan sejak anak-anak lewat edukasi dan memorialisasi. Sehingga, bangsa kita terkecoh dengan ketidakpedulian, ketidaktahuan, penyangkalan kejadian penting di masa lalu. Kita tidak punya tutur sejarah yang akurat. Tidak tahu apa yang terjadi.

Upaya-upaya pencarian fakta yang dilakukan negara tidak pernah dieseminasi secara publik. Laporan-laporan hanya masuk ke laci berkas presiden. Kita sebagai publik sampai saat ini tidak pernah mengetahui mengapa kasus ini bisa terjadi. Salah satu komisi yang agak berbeda ialah Komnas Perempuan yang mencoba mencicil kebenaran dengan membuat beberapa laporan tentang kasus 1965, kasus tentang poso, kasus tentang Aceh dan kasus di Papua.

Saat ini Komnas Perempuan baru saja membuat suatu laporan integratif 40 tahun. Laporan itu diberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tanggapan Presiden SBY terhadap laporan kasus 1965, khususnya apa yang terjadi terhadap perempuan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Beliau hanya melempar senyum, karena mengira laporan itu tentang manual training gender.

Sebelumnya kita memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tetapi kemudian UU itu dibatalkan oleh MK. Ada sebuah draft baru. Tetapi isi dari draft itu sangat lemah. Di draft undang-undang itu semua bentuk-bentuk kompensasi untuk korban disyaratkan harus ada keputusan pengadilan HAM. Sementara, pengadilan bobrok semua kondisinya saat ini. Proses Pengadilan HAM 100 persen membebaskan semua terdakwa. Mungkin pada tahap awal ada keputusan terdakwa bersalah tetapi kemudian di tingkat banding dibebaskan kembali. Sehingga isi Draft UU KKR sulit memenuhi rasa keadilan bagi korban di hadapan hukum.

Draft RUU KKR memiliki masalah-masalah besar, antara lain RUU ini sangat tipis dan hampir tidak memberikan kewenangan apa pun kepada komisinya. Fokusnya terhadap kasus pelanggaran HAM berat saja, kejahatan-kejahatan ekonomi seperti korupsi, penyelewengan sumber daya alam dan sebagainya tidak dapat dilihat di dalam komisi KKR. Tidak disebutkan ketetapan yang harus dilihat tentang daftar dari calon komisioner yang akan dipakai. Mulai dari tahun 2004 sudah kedaluarasa dan calon-calonnya kebanyakan dari Jakarta, jadi tidak ada dari daerah-daerah dan ini mengurangi pencerminan keragaman yang ada. Penentuannya juga ditentukan oleh pemerintah dan bukan ditentukan oleh komisi itu sendiri dan juga membebankan proses untuk kompensasi karena pembuktiannya itu harus ada di korban.

Kelemahan yang berikutnya tidak disebut bahwa setiap laporan harus dieseminasi kepada publik. Tidak ada upaya agar diberi kekuatan untuk bisa memanggil secara paksa pelaku atau saksi mau pun untuk melakukan eksumasi atau pembongkaran kuburan masal. Tidak ada perlindungan khusus bagi perempuan, korban yang rentan, lansia dan sebagainya. Juga perspektif gender yang  sangat lemah.  Rekomendasi yang akan dilakukan diberikan waktu 3 tahun.

Pada saat pemerintah sedang menjalankan fungsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, kita harus tetap menjalankan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dari diri kita sendiri. Baik dengan mengumpulkan dokumentasi, arsip-arsip, rekaman, catatan, mendengarkan cerita-cerita saksi korban. Yang kita kumpulkan menjadi kekuatan kita sendiri. Kekuatan masyarakat sipil dan korban. Kita harus bisa memastikan pembahasan RUU KKR ada perubahan. Jika tidak, kita harus memikirkan strategi. Kita tidak bisa mempercayai satu mekanisme jika mekanisme itu bermasalah dan penuh dengan kecacatan di dalamnya.

Selanjutnya Sesi II dihadiri narasumber dari Komnas Perempuan, komisioner Arimbi Heroeputri dan Iwan Gardono, pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Semestinya salah satu Komisioner Komnas HAM dapat hadir, namun hari itu semua komisioner dan tim penyelidik Komnas HAM mengadakan Lokakarya HAM dalam rangka memeringati Hari HAM Sedunia. Sehingga, tidak ada satu perwakilan pun yang bisa hadir. Begitu pun, Usman Hamid dari KontraS tidak dapat hadir di dalam sesi ini. Ia berhalangan hadir karena sedang mengikuti agenda yang lain saat bersamaan.

Iwan Gardono menyatakan permasalahan 1965 terkesan perebutan kekuasaan segitiga antara TNI, Soekarno dan PKI. Masing-masing mempunyai kepentingan, mempunyai pemikiran dan ideologi. Persoalannya berkombinasi dengan konteks lokal dan konflik-konflik sebelum 1965. Beberapa studi melihat ada perubahan pola komunisasi dari PKI yang lebih radikal. Selain itu, perubahan politik dalam perebutan kekuasaan yang sering dibahas antara PKI, Soekarno dan Angkatan Darat.

Ada juga soal perubahan sosial. Pada sejarah Indonesia terdapat perubahan-perubahan besar pada masa kerajaan-kerajaan Hindu, masuknya Islam, dan masuknya kolonialisme Belanda. Itu merupakan perubahan-perubahan yang menyeluruh dan bukan hanya politik saja. PKI berkibar untuk membangun perubahan sosial. Perkembangan perubahan sosial membawa perlawanan yang cukup banyak. Misalnya, pembagian tanah dan anti poligami. Gerakan menuju perubahan itu merupakan akar-akar lokal yang menjadikan orang-orang antipati terhadap PKI (terutama kalangan tuan tanah dan pemuka agama yang memiliki tanah luas)

Sejak awal, PKI mempunyai ide yang khas pada ideologinya. Ideologi PKI membawa perubahan total pada politik, ideologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Upaya itu dikatakan cukup radikal. Saat itu tidak ada gerakan yang radikal seperti Partai Komunis Indonesia. Perubahan yang komprehensif itu cukup luar biasa. Membuat suatu situasi yang revolusioner. Menghasilkan simpatisan dari dalam tubuh militer dan birokrasi. Saat itu, Aidit berupaya melakukan perubahan dari atas dan mengubah konfigurasi Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Perubahan itu menghasilkan klarisasi respon dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Arimbi Heroeputri melanjutkan pemaparan Iwan Gardono dengan memaparkan langkah advokasi Komnas Perempuan terhadap kasus tragedi 1965. Arimbi Heroeputri merupakan salah seorang anggota Tim Penyelidikan Kasus 1965 Komnas HAM yang bergabung sejak tiga tahun lalu.

Mandat Komnas Perempuan agak berbeda jauh dengan Komnas HAM. Berdasarkan Kepres No. 65 tahun 2005, Komnas Perempuan tidak mempunyai kekuatan mandat untuk melakukan penyelidikan. Mandatnya hanya melakukan pemantauan kemudian menemu-kenali dan menyebarluaskan kasus kekerasan 1965. Komnas Perempuan melakukannya itu berdasarkan desakan dari ibu-ibu korban 1965 yang mendatangi kantor Komnas Perempuan. Mereka menceritakan pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami. Mereka mendorong kami untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di belakang itu.

Berdasarkan pengaduan tersebut, Komnas Perempuan memutuskan membangun gugus kerja peristiwa pelanggaran HAM kasus 1965. Komnas HAM melakukan riset, pemantauan, investigasi, serta dialog dengan korban. Metodenya dengan studi kepustakaan selama satu tahun lebih dan testimoni korban perempuan dengan data yang teruji. Dari situ Komnas Perempuan membangun konstruksi laporan pelanggaran HAM. Komnas Perempuan menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat.

Ada dua pola pelanggaran HAM. Pertama, pola pelanggaran hak hidup dan hak bebas dari penghilangan paksa. Di dalamnya ada hak hidup dan hak bebas. Pola lainnya, hak untuk bebas bergerak dan hak atas integritas. Di dalamnya ada penahanan, penculikan, perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, hamil karena perkosaan, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) setelah pembebasan, dan lainnya. Lainnya, Komnas Perempuan menemukan tidak adanya pelayanan pada masa dan paska penahanan. Wajib lapor, kekurangan makan, kondisi penjara yang buruk. Pembebasan yang lalai. Kedua pola itu selalu berulang dan berulang. Yang jadi masalah sampai sekarang adalah penyangkalan atas peristiwa itu. Rekomendasi Komnas HAM antara lain penanganan hukum dan sistem kultur yang belum jelas.

Publik dan korban perlu mendorong program reparasi nasional. Komnas HAM melihat tragedi 1965 bukan hanya masalah angkatan 1965 saja, tetapi juga luka peradaban bangsa Indonesia. Yang namanya luka harusnya diobati, jika dilakukan penyangkalan terus menerus luka masih terasa ada. Salah satu obat luka adalah reparasi secara nasional atau parsial bukan permintaan maaf. Kami mendorong reparasi nasional. Bisa tidak, negara membuat memorialisasi ulang seperti di Lubang Buaya yang penuh kebohongan. Selain itu, pendidikan sejarah dengan versi sejarah lain yang memihak keadilan korban.

Pada Sesi III, diskusi diisi oleh Bedjo Untung selaku Ketua YPKP 65 dan Handoyo, Ketua YPKP 65 Pati.

Bedjo Untung mengatakan YPKP 65 sebagai organisasi korban konsisten sejak pendiriannya berada bersama para korban tragedi 1965. Kehadiran YPKP 65 untuk mengungkapkan kebenaran tragedi 1965 sejak peristiwa 1 Oktober 1965, bahkan mengungkapkan sejarah gerakan rakyat revolusioner. YPKP 65 melakukan advokasi litigasi dan non litigasi.

Upaya penelitian, penggalian kuburan massal, advokasi hukum, dsb, dsb yang dilakukan oleh YPKP 65 dilakukan untuk membongkar kebohongan rejim Orde Baru. Beberapa bukti sudah mengungkapkan hal itu. Termasuk dokumen CIA tentang kudeta Angkatan Darat atas kepemimpinan Soekarno yang dipimpin Suharto. Mereka memang sejak dulu sudah memiliki skenario ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno dan memusnahkan anggota dan simpatisan PKI dan Soekarno.

Apa yang ditawarkan negara soal kompensasi terhadap korban tragedi 1965 merupakan ilusi yang sengaja dipelihara untuk menumpulkan kesadaran berlawan. Sampai saat ini tidak ada satu pun pemerintah yang berkuasa di Indonesia meminta maaf terhadap korban. Oleh karena itu, YPKP 65 bersama kelompok-kelompok berlawan progresif lain berjuang bersama dalam penegakkan hak asasi manusia.

Handoyo, Ketua YPKP 65 Pati menyampaikan laporan kinerja YPKP 65 Pati. Laporan itu agar menjadi acuan di daerah lain. Di Kabupaten Pati, peristiwa korban yang diculik dan tidak pernah kembali (hilang) mencapai 322 orang. Korban yang ditahan dan mengalami kerugian material mencapai ribuan. Untuk 322 orang yang hilang, tim advokasi YPKP 65 Pati mengusulkan agar para keluarga dari 322 orang itu mengajukan surat kehilangan anggota keluarganya kepada kepolisian dengan materai. Namun, kendalanya adalah finansial. Sehingga agenda itu tidak berjalan. Selain itu, langkah yuridis untuk korban masih terkendala oleh banyak hal. Korban 1965 masih diatur oleh aturan yag membebani korban. Secara politik membentur tembok kekuasaan yang tidak memihak korban.

Komnas HAM pernah mengunjungi Pati dan melihat lima lokasi kuburan massal yang tersebar di berbagai daerah. Saat itu yang datang ialah komisioner Kabul Supriyadi. Sebagai komisioner Komnas HAM tidak memiliki kewenangan lebih untuk melakukan penyelidikan. Kebuntuan instrumen hukum dan saluran politik membuat penderitaan korban semakin panjang.

  1. Aksi Massa

Aksi massa dipersiapkan panitia sebelum acara Temu Nasional berjalan. Pertemuan untuk membahas teknis lapangan berlangsung malam hari sebelumnya bersama kawan-kawan peserta. Diputuskan aksi massa itu bertarget kampanye.

Ada dua titik aksi, pertama, di Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada pukul 09.00 WIB. Kedua, di depan Istana Negara pada pukul 13.00 WIB. Pilihan titik aksi di Bundaran HI untuk mencapai target aksi. Di tempat itu para wartawan biasa berkumpul untuk meliput aksi-aksi unjuk rasa. Sedangkan di Istana, massa aksi korban 1965 akan bergabung bersama ribuan orang yang juga berunjuk rasa dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia sedunia, 10 Desember 2010. Ribuan orang di depan Istana Negara berunjuk rasa agar Presiden menyaksikan langsung tuntutan para demonstran. Mereka menuntut agar Presiden menegakkan hak asasi manusia di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tuntutan diajukan karena selama ini negara dan pemerintah masih abai terhadap penegakkan hak asasi manusia.

Aksi massa korban tragedi 1965 bertema “Negara Jangan Cuci Tangan Tragedi 1965!”. Tema sekaligus tuntutan itu segaja dipilih untuk mendesak negara agar menuntaskan kasus 1965. Tema itu begitu tepat sasaran. Beberapa media dan publik mengapresiasi tema itu secara positif.

Pukul 07.00 WIB peserta sudah menaiki bis menuju lokasi aksi. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dari lokasi penginapan. Tiba di Bundaran HI sekitar pukul 09.00 WIB. Panitia aksi langsung memersiapkan medan aksi massa. Termasuk soal keamanan setempat. Kepolisian sangat kooperatif dan simpatik dengan barisan aksi korban tragedi 1965. Barisan massa aksi bisa berbaris di depan air mancur HI. Begitu pun bis diparkir tepat di depan air mancur HI agar memudahkan mobilisasi peserta yang rata-rata berusia lanjut.

Sekitar 80an orang berbaris sebagai massa aksi. Barisan massa aksi begitu rapi, memanjang lima baris ke belakang. Massa aksi memegang tali tambang sebagai pembatas sepanjang barisan massa. Perangkat aksi lengkap seperti yang direncanakan. Ada mobil komando beserta soundsystem. Ada miniatur bukit yang dipenuhi tengkorak di atas mobil bak. Ada poster-poster tuntutan dan selebaran. Ada duplikasi kerangka kepala manusia. Ada spanduk. Dan baliho seluas 5 X 3 meter. Begitu besar. Di baliho itu tergambar gambar penindasan militer terhadap korban dan suasana gerakan buruh dan tani semasa revolusioner. Lukisan besar di kain itu digambar oleh kawan-kawan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta. Sangat mencolok publik dan rekan-rekan pers yang sedang meliput saat itu.

Barisan massa aksi berjalan rapi menempati ruang di sekitar air mancur HI. Aksi itu menarik perhatian massa karena sangat jarang massa aksi berusia lanjut. Mereka begitu semangat berorasi, menyanyi, dan meneriakkan yel-yel aksi. Salah satu dari mereka mendeklamasikan puisi perlawanan dari Wiji Thukul. Kejadian itu mengingatkan kita pada gerakan kaum proletar di jaman revolusioner dulu. Para wartawan lambat laun bertambah jumlahnya. Mereka sangat antusias meliput aksi itu.

Aksi massa di Bundaran HI berakhir sekitar pukul 12.00 WIB. Peserta kembali ke bis dengan tetap di barisan secara rapi. Bis melaju menuju pintu gerbang Monas. Di sana para peserta aksi istirahat sejenak sambil makan siang. Bis melaju kembali menuju depan Istana Negara sekitar pukul 12.45 WIB.

Di depan Istana Negara, massa aksi berjumlah ribuan orang dari multi sektor dan organisasi. Memang setiap 10 Desember, ribuan orang berunjuk rasa memeringati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Peserta aksi YPKP 65 disambut oleh kawan-kawan yang terlebih dulu sampai di depan Istana Negara. Barisan korban 1965 mendapat tempat di sebelah kiri. Di sana peserta mendapat perhatian dari kawan-kawan pers. Sehingga target dari aksi massa yang diselenggarakan oleh YPKP 65 terpenuhi.

Peserta aksi sudah mulai kelelahan. Beberapa orang sudah berada di bis. Sehingga, panitia memutuskan untuk membawa kembali massa aksi dari depan Istana Negara ke bis yang letaknya tidak jauh. Sebelum pulang, peserta diminta istirahat dulu sembari mengecek kembali kelengkapan jumlah peserta. Jumlah peserta lengkap. Istirahat untuk peserta dinilai cukup. Akhirnya sekitar pukul 14.30 rombongan YPKP 65 kembali ke wisma penginapan.

Perjalanan pulang memakan waktu kurang dari tiga jam. Sesampai di penginapan peserta istirahat dan dipersilakan makan malam. Setelah istirahat dan makan malam, peserta diminta melanjutkan agenda berikutnya, yakni workshop. Agenda workshop dimulai dengan Laporan Kerja Pengurus YPKP 65 Pusat dan evaluasi beserta refleksinya.

  1. Workshop

Agenda terakhir Temu Nasional ditutup dengan workshop sebagai inti dari keseluruhan agenda. Temu Nasional sudah didahului dengan diskusi publik dan aksi massa untuk menambah dan menguatkan referensi perjuangan korban tragedi 1965 yang akan dibawa di dalam workshop. Diharapkan diskursus sudah mulai mengemuka di tiap pikiran peserta. Selain itu, aksi-aksi kebersamaan yang dilakukan sebelumnya dapat menciptakan soliditas di antara peserta saat forum workshop digelar.

Untuk penyewaan akomodasi Wisma Kinasih, YPKP 65 menggunakan nama Yayasan Anak Mandiri. Lembaga ini legal dan dimiliki oleh salah satu pengurus sebagai lembaga sosial. Penggunaan nama itu agar menghindari penolakan Wisma Kinasih karena diintimidasi pihak militer, seperti pengalaman sebelumnya. Skenario yang dipersiapkan adalah Yayasan Anak Mandiri sebagai fasilitator yang menyelenggarakan workshop pengembangan YPKP 65 sebagai bagian dari penegakkan HAM. Selama  workshop berlangsung, intelejen sangat dekat mengintai dimana pun peserta berada, termasuk di penginapan.

Pada tanggal 10 Desember 2009, pukul 20.00 WIB, setelah makan malam, peserta memulai workshop dengan pembacaan Laporan Kerja Pengurus YPKP 65 selama ini. Dilanjutkan dengan evaluasi dan refleksi kinerja YPKP 65. Agenda itu dimoderatori oleh Heru Suprapto, Ketua Panitia.

Laporan Kerja YPKP 65 disampaikan oleh Bedjo Untung selaku Ketua di depan. Ia didampingi oleh Rachman Asy dan Supardi sebagai Pembina, Edi Sugiyanto sebagai Sekretaris, Nadiani sebagai Bendahara, Amir Suripno sebagai pengurus Departemen Organisasi, dan Ait Esha sebagai pengurus Departeman Pemberdayaan Ekonomi.

Bedjo Untung mengatakan kinerja YPKP 65 selama ini tidak berjalan maksimal. Hal itu dikarenakan jarak di antara pengurus begitu jauh. Bedjo Untung berada di kantor Jakarta. Sedangkan, Edi Sugiyanto berada di Cirebon, Nadiani berada di Padang, Sumatera Barat, Amir Suripno berada di Wonogiri Jawa Tengah, dan Ait Esha berada di Bandung Jawa Barat.

Selain itu, para pengurus dan relawan di pusat dan di cabang juga mengalami kendala. Antara lain soal usia yang semakin lanjut. Beberapa di antara mereka sudah meninggal dunia.

Cara-cara kerja advokasi modern juga kurang dikuasai oleh para pengurus dan relawan, baik di pusat mau pun di daerah. Sehingga, langkah advokasi kadang sulit dilakukan di tengah situasi hukum dan politik yang dinamis.

Persoalan besar lainnya adalah soal finansial. Selama ini YPKP 65 tidak memiliki finansial untuk menyokong kerja-kerja organisasi. Padahal banyak rencana program-program yang bisa dilakukan jika finansialnya mencukupi.

Namun, kerja-kerja minimal terus diupayakan oleh Bedjo Untung dibantu kawan-kawan muda yang selama ini membantu YPKP 65. Mereka coba menggerakkan roda organisasi di pusat. Mereka berupaya melakukan penerbitan buletin, penyelenggaraan diskusi dan pertemuan-pertemuan, publikasi lewat media-media virtual, hearing dengan beberapa lembaga negara, fund rising, memperluas relasi jejaring dan dukungan massa, dan aksi massa bersama organisasi sekawan dan kawan-kawan jejaring pro demokrasi lainnya.

Lebih lanjut, Bedjo Untung mengatakan perlunya regenerasi dan revitalisasi organisasi agar kinerja organisasi berjalan maksimal. Hal itu disambut peserta Temu Nasional.

Evaluasi dan refleksi dari peserta lainnya cukup banyak dan beragam sebagai feedback. Beberapa diantaranya menyinggung soal friksi, perbedaan pendapat  di awal sepak terjang YPKP 65, soal penelitian, pendataan, dsb, dsb. Umumnya evaluasi dan refleksi berjalan dengan hangat dan penuh dengan kritik yang membangun. Pertemuan itu diakhiri sampai pukul 22.00 WIB. Peserta kembali ke kamar masing-masing untuk melanjutkan istirahat hari itu.

Pada 11 Desember 2009 pukul 08.00 WIB, setelah sarapan pagi, peserta kembali ke ruang pertemuan. Peserta bersiap mengikuti sesi berikutnya, yakni Pemaparan dan Identifikasi Masalah Korban Tragedi 1965.

Sesi itu membuka kembali masalah-masalah sipil, ekonomi, politik, sosial, dan budaya dengan dimensi domestik dan publik secara lebih bebas, namun terarah. Sesi itu bertujuan agar peserta mengeksplorasi dan mengenali lebih dalam persoalan-persoalan yang dihadapi oleh korban.

Alur pemaparan disampaikan oleh perwakilan tiap cabang YPKP 65 yang hadir di Temu Nasional. Pemaparan tidak jauh beda dengan apa yang dipaparkan oleh Bedjo Untung. Namun memiliki kekhasan sediri sesuai daerah masing-masing. Mereka juga menyampaikan laporan pendataan korban kekerasan yang selama ini dilakukan. Pada sesi itu, moderator masih dipegang oleh Heru Suprapto karena Ruth Indiah Rahayu atau Yuyud yang didaulat menjadi moderator workshop belum hadir.

Sesi Pemaparan dan Identifikasi Masalah berakhir pada pukul 10.00 WIB. Setelah coffebreak, peserta melanjutkan sesi berikutnya, Perumusan Masalah.

Yuyud selaku moderator menghantarkan sesi Perumusan Masalah dengan mereview hasil diskusi di hari sebelumnya. Bertujuan untuk menguatkan bangunan referensi peserta dari diskusi sehari sebelumnya.

Proses perumusan masalah dimulai dengan pembentukan komisi-komisi. Terdiri dari Komisi Ekonomi dan Politik, Komisi Sosial dan Budaya, serta Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia. Semua peserta workshop dibagi ke dalam tiga komisi itu. Tiap komisi dimoderatori oleh satu orang panitia bersama dengan notulen yang siap mencatat diskusi di tiap komisi. Hasilnya langsung bisa dipaparkan di forum dengan proyektor film sehingga semua peserta dapat memahami proses diskusi tiap komisi secara cepat.

Sidang komisi berjalan cukup lama. Pukul 12.00 WIB sidang komisi ditunda untuk makan siang dan sholat Jumat. Sidang dilanjutkan sampai pukul 15.00 WIB.

Sesi berikutnya, tiap komisi memaparkan perumusan masalah yang telah dibahas di dalam tiap sidang komisi dihadapan pleno. Pleno juga membuka masukan dari komisi lainnya. Sidang pleno perumusan masalah ini berjalan dengan dinamis dan tidak kaku. Sesi Perumusan Masalah berakhir pada pukul 18.30. Peserta melanjutkan dengan makan malam dan istirahat.

Masalah-masalah yang tadi berhasil dirumuskan, dikategorisasi oleh dua fasilitator, Ruth Indiah Rahayu dan Heru Suprapto saat jam makan malam untuk ditarik ke dalam rencana strategi advokasi ke depan. Kemudian kedua fasilitator langsung menarik ke rencana strategi yang memungkinkan dilaksanakan dengan kondisi saat ini untuk ditawarkan ke pleno dengan dibuka diskusi setelah makan malam. Hal itu dilakukan untuk efesiensi waktu agar Temu Nasional bisa berakhir pada hari itu juga.

Sesi berikutnya, pleno Rencana Strategi. Pada sesi itu, diskusi cukup panjang. Perdebatan cukup menyita waktu. Namun, rencana strategi ke depan berhasil ditetapkan untuk dijalankan. Kemudian rencana strategi diturunkan ke dalam program jangka pendek sebelum Kongres Nasional YPKP 65 berikutnya dilaksanakan pada 2012.

Program jangka pendek meliputi regenerasi dan revitalisasi organisasi, konsolidasi tiap cabang, propaganda massa, dan program-program jangka pendek lainnya.

Revitalisasi dilakukan setelah Temu Nasional berakhir dengan pertemuan lanjutan di Bandung pada 27 Desember 2009. Pertemuan itu menindaklanjuti hasil Temu Nasional. Termasuk soal revitalisasi organisasi. YPKP 65 memerlukan orang-orang muda yang selama ini membantu masuk ke dalam kepengurusan. Ada enam orang muda yang masuk ke dalam kepengurusan YPKP 65. Tujuannya untuk menggerakkan kembali roda organisasi. Orang-orang muda itu yang giat melakukan langkah-langkah keorganisasian dan advokasi di pusat.

Workshop berakhir pada pukul 22.00 WIB. Peserta menyanyikan salam perpisahan pada malam itu. Besok pagi peserta pulang ke tempat tinggal masing-masing.

  1. Strategi Konsolidasi

Temu Nasional diselenggarakan untuk mengonsolidasikan semua relawan atau anggota YPKP 65 secara nasional dengan strategi:

  1. Giatkan propaganda dan agitasi di tingkat internal organisasi
  2. Giatkan pertemuan korban terprogram sebagai bagian dari pemulihan trauma dan penguatan perjuangan
  3. Beri ruang berorganisasi bagi kaum muda, penerus perjuangan
  4. Perluas isu dan dukungan massa bagi isu tragedi 1965 dengan berbagai metode
  5. Buat program-program sesuai kemampuan tiap cabang
  6. Pemberdayaan ekonomi
  7. Regenerasi
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.

Pembantaian Massal Orde Baru Di Balik Strategi CIA

Temu Nasional Korban 1965

Related posts
Your comment?
Leave a Reply