Seputar Proklamasi Kemerdekaan Kita
- Kesaksian Soemarsono
“…Ada cerita tentang Proklamasi Kemerdekaan kita yang tidak tertulis dalam sejarah resmi. Waktu kawan-kawan pemuda Menteng 31 rapat mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan, mereka menetapkan syarat; calon proklamator harus orang yang menolak kerjasama dengan Jepang..
Kalau negara-negara luar tahu proklamator kita bekas kolaboratornya Jepang, pandangan mereka terhadap kita akan jelek. Indonesia kok dipimpin sama kolaborator Jepang? Artinya, pemerintahan Indonesia itu pengikut fasis. Buat apa diakui kemerdekaannya? Lagi pula, kita tidak mengharapkan hadiah kemerdekaan dari Jepang. Jepang sudah kalah. Mendapat hadiah kemerdekaan dari bangsa yang kalah perang sama artinya dengan golongan yang kalah perang.
Lalu dicarilah siapa tokoh yang menolak bekerjasama dengan Jepang. Yang ngasih usulan pertama kali itu Wikana. Bung Wikana mengacungkan tangannya:
“Saya ngasih usul. Yang cocok jadi proklamator itu Bung Amir. Dia pimpinan yang kongkrit melawan Jepang. Bagaimana tanggapan kawan-kawan?”
Hampir semua pemuda setuju sama usulan Wikana. Hanya Sukarni yang ragu. Sukarni menyampaikan pendapatnya:
“Bung Amir masih dalam penjara Jepang di Malang. Kita belum punya kekuatan buat mengambilnya. Belum punya waktu buat mengambilnya. Kalau Jepang tahu Bung Amir akan jadi Presiden kita, jangan-jangan nantinya dia dibunuh sama tentara Jepang.”
Benar juga alasan Sukarni. Karena terlalu bersemangat, kawan-kawan sampai lupa memikirkan keadaan Bung Amir. Keselamatan Bung Amir juga perlu dijaga. Yang penting, memproklamirkan kemerdekaan dulu. Kalau sudah merdeka, nanti diusahakan bagaimana cara mengambilnya dari penjara.
Bung Amir tidak jadi dipilih. Seorang pengikut Sjahrir ngasih usulan. Namanya Subadio. Subadio Sastrosatomo. Dia mengusulkan nama Sjahrir. Sjahrir memang menolak kerjasama dengan Jepang. Tapi dia ini ada bedanya sama Bung Amir. Bung Amir aktif melawan. Sampai dipenjara dan disiksa habis-habisan begitu. Sedangkan Sjahrir bersikap pasif. Tapi sikap pasif Sjahrir ini ndak jadi soal. Lalu pemuda-pemuda menemui Sjahrir. Waktu ditemui, dia sedang bermain tenis. Begitu mendengar namanya diusulkan jadi calon proklamator, Sjahrir menjawab ragu-ragu:
“Wah, saya ndak mungkin. Yang cocok itu Soekarno-Hatta. Kalian temui saja mereka.”
Pemuda-pemuda kurang terima sama jawaban Sjahrir. Soekarno-Hatta terbuka kerjasamanya dengan Jepang. Salah seorang pemuda memprotes Sjahrir:
“Lha, Soekarno-Hatta itu kan kolaboratornya Jepang. Kok harus mereka yang diusulkan? Kita butuh pengakuan internasional. Apa mungkin kita mendapat pengakuan kalau Presiden kita kolaboratornya Jepang?”
Sjahrir menjelaskan:
“Kita masih membutuhkan orang semacam Soekarno-Hatta. Keduanya masih punya pengaruh besar sama aparat-aparat pemerintahan pendudukan. Punya pengaruh besar sama bekas Keibodan yang masih memegang senjata. Kalau nantinya sulit mendapatkan pengakuan internasional, kita tinggal mengganti pemerintahan saja. Itu persoalan gampang. Yang penting, bagaimana memproklamasikan kemerdekaan secepatnya. Kita harus meyakinkan Soekarno-Hatta bahwa Jepang sudah kalah.”
Pemuda-pemuda akhirnya setuju sama alasan Sjahrir. Wikana dan Aidit memimpin pemuda-pemuda mendatangi Soekarno-Hatta. Begitu diberitahu tentang kekalahan Jepang dan diminta menjadi calon proklamator, Bung Karno malah menanggapi:
“Dari mana kalian tahu Jepang sudah kalah? Saya tidak mendengar kabar seperti itu. Kemarin saya dari Saigon. Jepang sudah berjanji mau memberikan kemerdekaan sama bangsa kita.”
Seorang pemuda menjawab:
“Kok Bung lebih percaya sama Jepang daripada sama kami? Jepang sudah kalah. Kita jangan sampai keduluan sama Jepang.”
Berita tentang kekalahan Jepang didapatkan dari orang-orang kita yang bekerja di sarang musuh. Yang bekerja di stasiun Domei. Bung Karno ini harus diingatkan. Sebagai negara yang kalah perang, Jepang akan menyerahkan Indonesia kepada Sekutu. Belanda kan ada di pihak Sekutu. Kalau kita terlambat, kita akan dijajah kembali sama Belanda. Dijelaskan begitu, Bung Karno tetap ragu. Pemuda-pemuda makin tidak senang. Sebagian terpancing emosinya. Wikana ndak tahan. Dia mendorong-dorong Bung Karno sambil berteriak-teriak:
“Tunggu apa lagi, Bung! Bung jangan jadi peragu begitu! Kita harus proklamasikan kemerdekaan secepatnya!”
Bung Karno tidak terima dirinya diperlakukan kasar dan didorong-dorong sama anak muda kayak Wikana. Bung Karno terpancing emosi dan balas membentak:
“Kalau cara kalian kasar kayak begini, seret saya ke pojok sana! Potong saja leher saya!”
Hatta juga sama kayak Bung Karno. Keduanya ternyata sudah terpengaruh janji hadiah kemerdekaan dari Jepang. Perasaan pemuda-pemuda makin panas. Soekarno-Hatta mesti diculik! Mesti dibawa ke suatu tempat buat dipaksa meneken Proklamasi Kemerdekaan.
Pagi-pagi buta tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diculik dari rumahnya. Dibawa ke Rengasdengklok. Waktu itu, biarpun tentara Jepang masih ada, kawan-kawan gerakan anti fasis di Rengasdengklok dan sekitarnya seperti Bekasi, Karawang, Subang, malah sampai ke Cirebon sudah bersiap-siap menyambut kemerdekaan. Di Rengasdengklok ada seorang Cina yang punya hubungan sama para Chudancho, Shodancho dan Budancho PETA yang ikut gerakan anti fasis. Soekarno-Hatta dibawa ke rumahnya. Di situ pemuda-pemuda sudah menyiapkan teks proklamasi. Tapi teksnya belum diketik.
Untuk mempengaruhi Soekarno-Hatta, pemuda-pemuda bersandiwara. Rumah tempat Soekarno-Hatta diculik dibuat seolah-olah markas pemuda. Di halaman, ada kelompok pemuda yang berbaris. Wikana pura-pura jadi pemimpinnya. Dia bolak-balik keluar masuk rumah. Datang pemuda ngasih laporan; di tempat ini terjadi pelucutan senjata. Pemimpinnya si anu. Di tempat ini bendera Hinomoru diturunkan, terjadi clash sama tentara Jepang. Kena tembak sekian, yang selamat sekian, senjata yang direbut sekian. Datang lagi pemuda lain. Ngasih laporan. Begitu berkali-kali. Disengaja supaya Soekarno-Hatta mendengarnya dari dalam rumah.
Sesudah menerima laporan-laporan pemuda, Wikana mendesak Bung Karno:
“Tunggu apa lagi Bung! Buat apa ditunda-tunda? Pemuda-pemuda sudah ada yang bertempur, tapi Bung masih ragu-ragu!”
Kalau sudah ditekan begini, Soekarno-Hatta terpaksa ikut maunya pemuda. Dibuat kesepakatan, Proklamasi Kemerdekaan nantinya dibacakan di Jakarta. Sesudah itu, Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Memang ada perasaan kuatir waktu itu. Jangan-jangan tentara Jepang yang di Jakarta bertindak kalau Proklamasi Kemerdekaan kita dibacakan. Jadi harus diusahakan bagaimana supaya tentara Jepang tidak mengganggu acara Proklamasi Kemerdekaan kita.
Diantara perwira Jepang ada yang baik. Tapi sedikit. Ada yang ikut gerakan kiri di bawah tanah. Umumnya mereka mengenal M-L waktu sekolah di Eropa sebelum perang. Sebagian diantaranya sudah menjadi Kristen. Tapi begitu perang, mereka tidak kuasa menolak wajib militer. Gerakan anti fasis membangun jaringan dengan perwira-perwira Jepang yang baik ini. Grupnya Wikana umpamanya, mereka punya jaringan di Kaigun.
Jaringannya malah mampu menarik perwira tinggi kayak Laksamana Maeda bersimpati sama perjuangan kita. Karena dianggap berpengaruh di lingkungan perwira tinggi Jepang, pemuda-pemuda minta bantuan supaya Maeda ngasih jaminan keamanan saat Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Buat Maeda, ini ndak jadi masalah. Dia berjanji akan menjamin keamanan. Perasaan kuatir hilang sesudah mendengar janji Maeda.
Tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan kita dibacakan. Dibacakan di rumahnya Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Begitulah sejarah Proklamasi Kemerdekaan yang saya dengar dari Wikana.
Your comment?