Ziarah Kepayang
Cerpen Martin Aleida* | Kompas, 18 Februari 2018
Lima puluh tahun…! Rentang waktu sepanjang itu tak membawa perubahan di sini. Jembatan yang terbuat dari kayu besi, masih tegak seperti yang kukenal setengah abad lalu. Hitam legam. Penduduk yang akan membawa hasil bumi ke kota, sejauh tujuh kilo, di muara sungai, tetap harus mengalah. Menunggu air sungai surut supaya sampan yang sarat bisa melintas di kolong jembatan.
Jalan diapit sungai kecil, yang kami sebut bendar, tetap seperti ketika kulewati dulu. Jalan di mana orang-orang Tionghoa dari kota datang di musim berburu, dan pulang memanggul babi hutan yang masih berlumuran darah, hasil buruan yang ditinggalkan begitu saja oleh orang kampung yang mengharamkannya. Juga uangnya! Di jalan ini aku pernah terjerembab ditindih gerimis, mencium tanah, dalam perjalanan berkilo-kilo bersama Abang menuju pasar malam. Bau tanah liat di tapak kakiku masih seperti lima puluh tahun lalu.
Aku menyeberangi titian. Berhenti, merenung di depan gundukan tanah. Kata Emak, seminggu setelah aku lahir, pesawat tempur Jepang meraung-raung di langit. Untuk menyelamatkan diri, aku dia bopong dan sehari-semalam kami bersembunyi di rimbun pohon nibung di situ. Kini, pohon yang batangnya berduri itu sudah tiada.
Rumah di mana aku dilahirkan tak berbekas. Kuingat, dulu, di belakang rumah membentang lahan tempat ayah menjemur kopra. Dipagari batang-batang kayu untuk menghambat babi. Yang masuk melalui celah pagar itu malam hari, paginya ditemukan panik, tak bisa menyelusup keluar karena perut mereka buncit kekenyangan. Ayah dan Abang menemukan ladang perburuan yang mudah di situ. Mereka masuk bersenjatakan pentungan. Terdengarlah jerit kematian meringkik-ringkik menjemput datangnya pagi, bersipongang sampai jauh ke dalam hutan.
Beberapa ratus depa dari tanah di mana aku dilahirkan, yang menjadi tujuan ziarah ini, adalah rumah Atok yang ikut membesarkanku. Di sini pun tak ada yang tersisa. Juga tiga pohon durian yang mengelilingi rumah itu, dulu. Kecuali satu. Kolam tempat kami berkecipak-kecipung. Lama aku berdiri di tubirnya. Memungut dahan kering dan menyodokkannya berkeliling ke dasar kolam. Siapa tahu di situ aku akan menemukan sebuah beduk, yang juga terbuat dari kayu besi. Namun, ujung dahan tak menemukan artefak yang menjadi tanda yang tak bisa dilepaskan dari denyut kehidupan di hamparan kampung yang bernama Sungai Kepayang, di pesisir Sumatera Timur ini.
Aku tertanya-tanya bagaimana sepenggal kayu besi, keras seperti namanya itu, bisa dibolongi pinggangnya. Kalau dipukul suaranya yang bulat menggetarkan dan menggema jauh melampaui batas kampung. Aku juga tak tahu bagaimana beduk seberat itu digotong Atok menaiki anak tangga rumah panggungnya. Yang kuingat benar, beduk itulah yang jadi pusat peradaban kampung kami. Orang sekampung tidak lagi menduga-duga waktu dengan melihat jatuhnya bayangan pohon di tanah. Detak waktu berada di perut beduk itu. Atok memukulkan belantan kayu ke pinggang beduk sebagai penanda waktu. Jam-demi-jam. Tak kenal alpa! Mula-mula belantan dihantamkannya dengan cepat, tergesa-gesa, beruntun. Senyap beberapa detik. Lantas disusul dengan pukulan keras dalam jumlah ketukan sesuai dengan waktu yang mau dia kabarkan. Pedomannya ada pada jam swiss berbentuk bulat, berantai, yang terselip di saku ikat-pinggangnya. Jarumnya cuma satu, mengelilingi dua belas angka romawi.
Beduk itu tidak hanya menunjukkan waktu. Dia pengingat spiritual akan kebesaran Sang Pencipta. Lima kali sehari-semalam. Kalau sudah tiba saatnya, Atok menyentakkan ingatan dan iman penduduk dengan rentetan ketukan yang cepat. Hening sesaat. Dengan gemulai dia letakkan kedua tapak tangannya ke kuping. Menarik nafas dalam-dalam dan menyerukan asma Allah, mengingatkan seisi alam.
Atok bukanlah penganjur agama. Cuma pengembara. Dari Siabu di pesisir barat Sumatera Utara dia berjalan kaki berminggu-minggu menuju Tanah Deli di pesisir timur. Menyeberangi belantara tak bertepi. Penjelajahan itu dia putuskan setelah mendengar kabar-angin bahwa Belanda sedang membangun jalur kereta api menghubungkan Medan dengan kota-kota di sekitarnya. Dia ingin mengadu peruntungan, menjual tenaga sebagai pencari kayu bantalan.
Ketika berangkat, dia berbekal sebenggol-dua-benggol uang Belanda. Tetapi, modal utamanya, yang tak terlihat, tersimpan di dalam ingatannya: sejumlah doa, sejumlah jampi. Dia punya jampi untuk meluluhkan hati harimau. Juga meredakan amukan hujan dan badai. Kalau malam turun, dan tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan, dia menghampiri rumah penduduk. Tak jauh dari kolong rumah, yang kami sebutkan tungkarang, dia mencabut selembar lalang. Melilitkannya di kelingking dan meniupkan jampi. Di dalam rumah, salah seorang penghuni kelabakan, lantaran perut sontak kejang-kejang. Dalam kebingungan, yang punya rumah turun mencari pertolongan. Nah, Atok menemukan pintu kesempatan.
“Mungkin saya bisa membantu. Boleh kutengok dulu?” begitu dia menawarkan jasa. Dia diundang naik ke rumah. Bersimpuh di samping si sakit, dia meminta disediakan segelas air putih. Merapal doa dan berkusip-kusip membacakan jampi. Diam-diam dia lepaskan ikatan lalang di kelingking. Si sakit dipersilakannya menghabiskan air segelas tadi. Orang itu pun pulih. Atok menolak imbalan, tetapi tidak menampik tawaran untuk tidur menunggu pagi di rumah itu. Begitulah dia menemukan penginapan.
Dari beberapa “ilmu” yang ingin dia wariskan kepada kami, sihir untuk membuat sakit dan menyembuhkannya lagi, diam-diam telah memicu hubungan tak nyaman di antara kami cucunya dengan Atok.
“Itu musyrik. Kejahatan,” kami memprotes.
Dia cuma nyengir. Pembangkangan, walau di dalam hati, membuat “ilmu” yang sudah kami terima akan luntur. Sakit hati kami mengingat berapa banyak yang jadi korban jampi-jampinya itu. Dan kami tak merasa kehilangan untuk menyerahkan kembali palias (merelakan), “ilmu” berserah diri terhadap serangan lawan, termasuk binatang buas. Sebrutal apa pun serangan akan lewat seperti angin.
Atok tetaplah sebuah pesona. Masih terang dalam ingatanku bagaimana kemampuannya berkomunikasi dengan harimau. Suatu malam aku dan Abang menginap di rumahnya. Gerimis sejak sore. Di luar, beberapa pohon durian menggoda dengan buah yang sudah matang, berat menggantung di dahan. Aku berharap sangat supaya angin menderas dan merontokkan durian yang sudah matang itu. Tambah larut malam, yang datang malah aum harimau. Suara alam yang tidak asing di kampung kami.
“Cobalah kau teriakkan ‘Morjuuuut …!’” katanya.
Aku berteriak sekuatnya: “Morjuuuut …!” Berdentam dadaku. Harimau tadi menyahut dengan aum yang lebih keras. Aku ketakutan, gemetaran, erat berpegangan pada tangan Abang. Tiang rumah terasa bergetar. Atok terkekeh-kekeh melihatku mengkret. “Sini,” bujuknya. “Ah .., jangan takut kau. Mengaum tak berarti marah.”
Dentum beduk dan azan subuh yang dikumandangkan Atok membangunkan kami berdua. Selesai shalat, kami bersiap-siap menuruni tangga.
“Eeee … Hendak kemana kalian? Memungut durian? Tunggu matahari terbit,” Atok menasihati. Dia bilang, berilah kesempatan Si Morjut makan lebih dulu. “Kecuali kalian berani mendekati dia sedang mengkubak durian,” katanya terkekeh.
Begitu pagi benderang, aku dan Abang menuruni tangga menuju pohon durian tak jauh dari kolam. Benar saja, di tanah yang lembab, di bawah pohon durian, berleret jejak kaki harimau. Juga kulit durian dengan bilik di mana dagingnya yang tergolek seperti tikus, licin bersih dijilatinya, melampaui kerapian manusia kalau makan.
Meskipun aku dan Abang berberat hati dengan ilmu hitam Atok, namun tak bisa disembunyikan kami bangga karenanya. Suatu masa, harimau mengganas di wilayah perkebunan karet, jauh dari kampung kami. Sejumlah penderes jadi mangsa. Diterkam harimau sebelum matahari terbit. Mereka menderes di pagi buta, karena saat itulah getah karet sedang deras-derasnya. Penduduk gelisah. Polisi cuma banyak cakap. Atok dipanggil. Kami tak tahu apa yang dia lakukan. Yang jelas setelah amukan harimau itu surut, beberapa kali polisi mendatangi Atok. Membujuknya supaya menerima beberapa stel kain pelekat dan teluk-belanga. Tapi Atok menampik.
Ilmunya itu membuat hidupnya tanpa pamrih. Begitulah, setelah beberapa lama membanting-tulang dalam pembuatan bantalan rel kereta-api di Deli, dulu, dengan uang yang dia tabung, Atok mengelana mencari lahan di mana dia akan menetap. Selain sebagai pengingat waktu dan saatnya shalat, dia juga memperkaya penduduk kampung dengan cara hidup yang baru. Selama ini, kalau memetik kelapa, mereka menggunakan bambu yang disambung-sambung sampai dua-tiga batang. Pengambil upahan, yaitu mereka yang bekerja berbagi hasil dengan yang empunya kebun, didesak keinginan untuk memetik lebih banyak, terkadang masih bekerja ketika matahari sudah di sumbu langit. Karena silau, kelapa yang jatuh jadi tak terlihat. Tak jarang menghantam kepala dan wajah mereka, mengakibatkan cedera parah.
Atok memperkenalkan budaya baru. Dia melatih beruk. Dengan seutas tali yang terhubungkan dengan pinggang hewan itu, Atok memberikan kendali dari bawah. Jika beruk itu sembarangan menjatuhkan kelapa muda, Atok akan menghardik, “Ah, janganlah begitu kau jang. Yang tua, yang tua …!” katanya. Dan, dengan beruntun seperti tak tertahankan jatuh bergedebamlah kelapa yang memang sudah waktunya dipetik. Sesilau bagaimana pun matahari tak ada halangan bagi penduduk untuk memanen kelapa.
Suatu ketika beruk itu betingkah. Gempar sekampung. Belantan pemukul beduk Atok dia larikan ke pucuk pohon durian. Ada yang memanjat pohon itu dan menghalaunya supaya turun. Beruk itu malah melompat ke pohon kelapa dengan belantan mendekap di dadanya. Sehari-semalam kampung tanpa penanda waktu. Ada azan, tapi tanpa beduk. Atok bilang beruk itu tersinggung karena pisang yang diumpankan kepadanya bukan pisang batu. Dia rupanya kehilangan keasyikan memilih biji pisang sebelum menyantapnya.
Hubungan Atok dengan penduduk sangat erat. Dan rasa hormat mereka kepadanya sedikit pun tak terganggu oleh perbedaan di kotak suara ketika pemilihan umum pertama berlangsung di republik ini. Cuma ada satu suara untuk gambar bulan-bintang. Dan itu pilihan Atok. Tak heran, pada masa kampanye, dia membujukku menempelkan poster partai rumahnya.
“Begitu banyak gambar, kenapa Atok memilih yang ini …?” desakku.
Seraya tertawa dia jawab: “Bulan dan bintang itu barang di langit. Yang lain buatan manusia. Palu-arit bikinan orang. Kerbau takkan bisa hidup hanya dengan kepala.”
Alkisah, hanyut oleh angan-angan, aku meninggalkan kedua orangtuaku di kota kabupaten awal 1960-an. Aku berkunjung ke kota itu 15 tahun kemudian untuk memastikan kepada Emak-Ayah, Atok-Nenek, dan sanak-saudara bahwa aku sehat walafiat setelah pengejaran berdarah terhadap ratusan ribu manusia menjelang akhir 1965.
Aku berhanyut-hanyut dalam sampan menemui Atok di hulu sungai. Usia menerbangkan semua giginya. Karena hanya akan mencederai kesyahduan, Atok memutuskan tidak mengumandangkan azan lagi. Beduk masih menggantung di ujung tangga, tetapi dibiarkan menganggur.
“Berapa cicit yang kau kasi aku?” tanyanya memelukku berlama-lama. Dia terkekeh ketika kuceritakan keadaan anak-istriku.
“Atok,” ucapku lembut. Dan kukeluh-kesahkan kepadanya, bahwa ketika terjadi pengejaran besar-besaran terhadap orang-orang komunis dan kiri lainnya akhir 1965, Kakak dan Abangku begitu khawatirnya, sehingga mereka membawa buku-bukuku ke seberang sungai. Dan menanamnya di kampung Cabang Kiri. Padahal, tak ada palu-arit di buku itu. Yang ada “Matinya Seorang Petani”, kumpulan puisi Agam Wispi. “Terowongan”, buku kecil berisi satu cerita pendek Gorki yang diterjemahkan begitu bagusnya oleh Iramani. Ada cerita pendek Guy de Maupassant, “Kalung”, yang kugunting dari majalah. Termasuk pula “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” Hamka.
“Kakak, Abang tak mau menunjukkan di mana buku itu mereka tanam.”
“Sudah dikubur bertahun-tahun, kertasnya sudah lumat. Untuk apa kau lagi itu? Bukankah buku itu sudah ikut mendewasakanmu. Kau diantarkannya ke banyak benua dan daratan. Konstantinopel kau singgahi. Patung di Praha kau raba. Menara kembar Amerika kau panjat. Tapi, Noor, ada yang kau lupa. Lain kali, singgahlah ke Mekah. Tunaikan ibadah haji, satu dari rukun iman lima perkara yang tak kesampaian bagiku. Manakala kau tawaf, nanti, meskipun hitam, belailah hajarul aswad. Cium, bisikkanlah nama Atok sebanyak angka yang ditunjukkan jam di tanganmu. Panggillah namaku baik-baik: Abdul Hakim. Bukan Lebai Salawat, julukan yang diberikan orang se-Sungai Kepayang padaku. Aku sudah takkan sampai. Semoga bagi Allah mendengar namaku itu sudah lebih dari cukup sebelum aku mati.”
_____
Your comment?