Pengetahuan Kecil dari Nusakambangan

Eka Kurniawan | Aug 11, 2016
ada umur empat belas tahun, saya dikeluarkan dari sekolah karena terlalu sering bolos. Setelah sekitar tiga bulan tinggal di rumah, ayah berhasil menemukan sekolah baru yang mau menerima saya tanpa harus mengulang kelas.
Kota tempat kami tinggal, Pangandaran, memang kecil dan membosankan. Satu-satunya hiburan kami adalah pergi ke pantai, belajar bahasa Inggris dengan turis-turis asing, atau sesekali mabuk secara sembunyi-sembunyi, karena bagaimanapun kami masih di bawah umur. Kadang saya bisa menghibur diri sendiri dengan membaca novel-novel silat, horor, atau roman dewasa, tapi seringkali itu tak cukup.
Gara-gara membaca novel-novel karangan Dr. Karl May, juga membaca edisi sederhana kisah Tom Sawyer dan Hucklebery Finn, saya jadi ingin melakukan petualangan seru. Hal pertama yang terlintas di pikiran adalah menjelajahi Citanduy, sungai panjang yang memisahkan Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang arusnya mengalir hingga pantai selatan. Saya pernah melewati sungai itu beberapa kali, tapi belum pernah menelusurinya.
Setelah membicarakan gagasan itu kepada teman-teman sekelas, saya memperoleh respon yang sangat baik. Seluruh anak lelaki di kelas memutuskan bolos beberapa hari untuk melakukan petualangan kecil ini. Soal apa yang akan terjadi jika nanti ketika kembali ke sekolah, kami akan pikirkan itu belakangan.
Awalnya saya berharap memperoleh pengalaman menaiki perahu, berjalan di rawa-rawa, mendirikan tenda di pinggiran sungai, menyalakan api unggun, bernyanyi riang di bawah bintang-bintang, dan bertemu dengan para petani dan nelayan yang tinggal di rasa-rawa tersebut. Untuk makanan, jika tak berhasil menemukan orang yang mau menjual nasi, kami berpikir akan menangkap ikan.
Tentu saja kami memperoleh semua itu, termasuk memperoleh pengalaman buruk ketika tenda kami diempas angin dan kami harus kehujanan sepanjang malam. Tapi satu hal yang paling mengesankan, atau paling membuat saya terteror, adalah melihat pulau itu. Pulau di mulut muara Citanduy, dan menghadap langsung ke Samudera Hindia yang ganas.
Saya pernah mendengar nama pulau itu, tentu saja: Nusa Kambangan. Di pulau itu terdapat kompleks penjara dengan keamanan maksimum. Pernah ada tahanan yang berhasil melarikan diri, dengan berenang melintasi muara yang luas, dan kisah pelarian itu kemudian menjadi film yang sangat sukses, Johny Indo. Si tahanan memerankan dirinya sendiri, dan dari film itulah saya mengenal Nusa Kambangan pertama kali.
Dibayangi imajinasi tentang pelarian di film itu, kami ingin mengetahui lebih dekat pulau tersebut. Kami mengitari pulau itu dengan sampan, sampan yang kecil dan tanpa penyeimbang. Ombak laut dan arus sungai yang bertemu dengan cepat menghantam sampan kami, dan sampan oleng gila-gilaan. Ditambah permukaan Sagara Anakan (nama muara sungai tersebut) yang sangat luas, membuat kami terpaksa berbalik kembali dan mendarat di satu rawa-rawa. Jelas bukan perkara yang mudah mencapai pulau itu mempergunakan sampan yang dikayuh dengan tangan anak-anak ingusan. Kami belum memperhitungkan para penjaga pulau itu, yang mungkin tidak dengan mudah memperbolehkan kami datang.
Dengan rasa horor dan takjub sekaligus, kami hanya memandanginya dari kejauhan. Saya bertanya-tanya bagaimana mungkin ada orang yang begitu jahat dan berbahaya, hingga harus dipenjara di tempat seperti itu.
Kemudian seseorang menceritakan bahwa tempat itu tak hanya diperuntukkan bagi para kriminal, baik pembunuh berdarah dingin maupun gembong narkotika, hingga para teroris. Bertahun-tahun lalu, bahkan sejak masa kolonial, pulau itu juga menjadi tempat pembuangan para tahanan politik. Dan di masa Orde Baru, setelah tragedi 1965, banyak anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia dikirim ke sana. Awalnya tentu saja saya tak tahu apa makna informasi tersebut, tapi bertahun-tahun setelahnya, itu mendorong saya untuk mengetahui lebih banyak mengenai apa yang terjadi di tahun 1965, tentang Partai Komunis Indonesia, dan terutama tentang orang-orang sebangsa sendiri, yang ditangkap, ditahan, dibunuh atau dibuang. Banyak di antaranya dibawa ke Nusakambangan, ditahan di sana atau sebagai transit sebelum ke Pulau Buru.
Pulau itu memberi saya pelajaran penting, bahwa penjara tak hanya memisahkan sekelompok manusia dari manusia lain. Tapi yang paling utama, bagaimana sekelompok manusia dicerabut kebebasannya, dengan beragam alasan.
Sekolah tak mengajari saya sisi gelap sejarah Indonesia ini, tapi bolos beberapa hari justru membuka banyak hal untuk kepala kecil kami. Ketika kembali dari perjalanan itu, tentu saja kami memperoleh hukuman dari Kepala Sekolah, tapi tentu saja saya tak menyesalinya.
Your comment?