Kekeliruan PKI, Kehancuran Gerakan Rakyat

Tue, 23 Sep 1997
PKI tiga kali gagal melancarkan pukulan strategis. Akibatnya gerakan rakyat -kini dan mendatang- jadi lumpuh, dan sulit raih kepercayaan publik. Apa yang salah dengan partai yang sebetulnya banyak memiliki ide mulia itu?
Bulan September adalah bulan PKI. Bukan bulan untuk mengenang kejayaan partai yang pernah jadi kekuatan penting di masa lalu itu, tetapi bulan yang penuh maki-maki, hujatan dan peringatan akan bahaya atas partai yang kini dinyatakan terlarang itu. Apa sesungguhnya kesalahan PKI, sehingga gagal dalam setiap momen kritis yang menentukan nasib bangsa ini? Pertanyaan ini masih relevan, apalagi kegagalan PKI menjadi semacam hambatan untuk munculnya gerakan rakyat sekarang dan di masa mendatang. Ia menjadi cap untuk mematikan inisiatif rakyat.
“Karena kegagalan PKI, gerakan rakyat jadi sulit muncul kembali,” kata seorang analis sosial. Ia menjelaskan, pemerintah tampaknya telah sukses menggunakan kartu PKI itu untuk menakut-nakuti masyarakat.
Para ilmuwan sosial, telah banyak menulis karya ilmiah tentang fenomena kegagalan PKI. Ben Anderson, guru besar tentang Indone- sia di Cornell University, misalnya, termasuk yang rajin menga- mati PKI. Situasi politik menjelang Peristiwa 1965, adalah lahan riset favoritnya. Ia menyimpulkan PKI bertindak kontradiktif dalam menjalankan strategi memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan, memusuhi hampir setiap kekua- tan politik lain, dan terutama Angkatan Darat.
Politiknya dikembangkan dari dasar konflik, pertentangan kelas. Namun, partai yang mengaku Marxist-Leninist itu, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Yang paling gampang, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD.
“Semboyannya konflik, tapi persiapannya mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai lewat parlemen,” kata Ben.
Akibatnya, PKI sesungguhnya tidak siap untuk konfrontasi secara terbuka, dan langsung dengan AD sebagai saingan politiknya. Ketika Peristiwa 30 September 1965 pecah, PKI tidak bisa memobilisasi rakyat untuk bertarung, tapi berlindung di balik figur Soekarno, yang memerin- tahkan semua pihak untuk “menahan diri”. Tapi, musuh-musuh PKI yang terlanjur marah, tak bisa diam. Mereka membalas dendam, dan terjadilah pembunuhan massal seperti di Purwodadi, Kediri, Jom- bang dan Bali.
Otokritik juga dilakukan oleh Sudisman, tokoh PKI yang lolos ke Blitar, dan melanjutkan perlawanan di sana. Ia mengkritik para pemimpin partai lainnya, yang terlalu bergantung pada parlemen dan Soekarno. Sementara di desa-desa mereka menyerukan politik aksi sepihak, dan kampanye pengganyangan setan desa. Jauh sebelum kejadian, Mao Tse Tung, pemimpin revolusi China, pernah menegur Aidit, “Kapan melepas dasi dan pergi ke desa.”
Maksudnya, jelas, Mao melihat PKI dalam bahaya besar karena omong tentang konflik, tapi tidak menyiapkan sarana untuk pertarungan secara sistematis.
Kekeliruan strategi itu, juga disoroti seorang bekas Ketua Partai dari masa Orde Lama. Ia, bahkan, melihat kecenderungan salah fatal itu, sudah diidap PKI sejak mula. Dalam peristiwa Madiun 1948, misalnya, PKI dinilainya mengambil strategi yang tidak populer dengan menikam republik dari belakang. Saat semua potensi rakyat berdiri di belakang Soekarno, PKI justru mengobarkan konflik terhadap strategi Bung Karno. Akibatnya, PKI mudah digu- lung oleh pasukan lain.
Para pembela PKI sering mengatakan, Peristiwa Madiun, adalah hasil provokasi Hatta yang berkolaborasi dengan kekuatan asing.
“Masalahnya bukan ada atau tidak ada provokasi. Masalahnya kenapa PKI mau diprovokasi. Hatta kan jelas anti PKI. Sekolahnya saja dagang. Kalau PKI terprovokasi untuk berontak, ya itu salahnya sendiri,” kata bekas Ketua Partai itu.
Ia melihat kesalahan strategis juga dilakukan oleh PKI tahun 1926, yang memberontak terhadap Belanda, dalam keadaan sama sekali tidak siap.
“Akibat- nya gerakan nasional terpukul bertahun-tahun, karena banyak tokohnya dibuang ke Digul,” katanya.
Sejarah PKI, dengan semua kesalahan dan ide-ide besarnya, memang tinggal menjadi bahan pelajaran bagi generasi mendatang. “Teruta- ma untuk mereka yang ingin menghidupkan gerakan rakyat,” kata seorang sosiolog. Masalahnya, fenomenanya yang penuh teka-teki itu yang dimitoskan, termasuk oleh Pemerintah.
From: INDONESIA-L
Your comment?