Keterbatasan Anggaran Bukan Dalih [2]
![LPSK: Pertemuan LPSK-YPKP'65 yang digelar di markas LPSK Cijantung,(16/5) untuk meminta penjelasan dan klarifikasi berbagai kemunduran kualitas layanan medis-psikososial kepada para korban/ penyintas peristiwa 65 [Foto: Marsha Kaugekin]](https://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2017/05/17-05-20_16.34.43_lpsk-655x360.jpg)
Ekspektasi Para Korban dan Realitas Tak Responsif
Meski YPKP’65 telah mengajukan permohonan menemui LPSK di markas barunya di kawasan Cijantung, namun pada hari itu (16/5) tak ada satu pun komisioner dari LPSK yang menemui korban 65 yang datang dari berbagai daerah. Selain Mardiansyah yang merupakan staf dari LPSK yang menjelaskan bahwa seluruh komisioner sedang ada agenda rapat, maka hanya dengan didampingi beberapa staf LPSK lainnya; para korban 65 ini diterima.
Rupanya ekspektasi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang tinggi akan kinerja lembaga negara ini harus dihadapkan pada realitas berbeda, realitas yang minim respons atau bahkan berkebalikan dari seharusnya.
Tak ada satu komisioner pun dari LPSK menemui korban, hanya Mardiansyah didampingi staf lainnya Betty dari Bagian Keuangan LPSK, pun dalam responsnya lebih mengutarakan hal-hal normatif. Seperti landasan LPSK dalam memberikan bantuan medis-psikososial bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya para penyintas peristiwa 1965 ini.
“Layanan medis-psikososial itu memang harus melalui proses verifikasi Komnas HAM”, demikian Mardiansyah. Artinya dalam mengakses layanan ini dimulai prosesnya setelah para korban diverifikasi hingga mendapatkan SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) dari Komnas HAM.
Sumber Daya, Beban Kerja dan Keterbatasan Anggaran
Mardiansyah menambahkan mengenai mutasi dari layanan reguler LPSK ke BPJS yang dikeluhkan oleh para korban. Ketika para korban yang mengajukan permohonan semakin banyak jumlahnya, maka anggaran LPSK Rp. 70 miliar pertahun untuk para korban; tidak lah mencukupi. Karena menurut staf di LPSK, anggaran sejumlah itu sudah termasuk alokasi biaya pegawai dan lain-lainnya.
Nominal budgeting dari LPSK bagi bantuan medis-psokososial yang diberikan dalam satu tahun sekitar Rp 5 miliar. Masalah kemudian muncul karena terjadi tunggakan di Rumah Sakit yang ditunjuk. Kondisi seperti ini juga berekses pada uang kerohiman yang jadi haknya korban dan pendampingnya saat mengaplikasi layanan medis-psikososial ini.
“Dulunya memang melalui LPSK tetapi sekarang diserahkan kepada Komnas HAM”, terang Mardiansyah. Dia menambahkan bahwa sebenarnya bukannya LPSK melempar tanggung jawab. Di Komnas HAM ada juga dari LPSK beban pekerjaan juga banyak. Di Komnas HAM sendiri sudah muncul keluhan perihal sumber daya, karena hanya ada 2 staf -Firdi dan Melda- yang mengurus administrasi.
“Dua staf ini pun side-job (kerja sampingan_Red), mereka bukan tugas utama”. Jadinya kalau ada waktu senggang barulah berkas permohonan dari para korban dibongkar dari gudang untuk diperiksa.
“Saya meminta maaf, saya akan melacak posisi surat itu yang asli ada dimana”, imbuh Betty, Bagian Keuangan LPSK. Ditambahkan bahwa pihaknya berusaha keras merangkul Rumah Sakit yang ada di setiap kabupaten. Rujukannya agar dekat dengan kediaman masing-masing korban penyintas 65.
Ekspektasi Korban 65 dan Keluarganya
Absennya komisioner LPSK dalam pertemuan yang diketahui lembaganya ini sungguh sebuah ironi yang sama sekali mengecewakan. Beberapa peserta yang dihubungi terpisah setelah acara ini membenarkan sinyalemen tentang minimnya respons lembaga negara dalam proyeksi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu; terutama untuk jalan penyelesaian berkeadilan bagi korban Tragedi 1965-66 dan setelahnya.
Pada pertemuan di markas LPSK sendiri ada seorang korban yang pada saat peristiwa Gestok’65 meletus, masih tergolong anak-anak. Pambudi, anak dari korban masa itu harus merasakan langsung sebagai tapol Pulau Buru selama 9 tahun. Diprediksi anak-anak korban yang terpaksa ikut dikirim ke penjara di Pulau Buru masa itu ada sekitar 600 jumlahnya. Menurut LPSK, ini bukan lagi anak korban melainkan masuk kriteria sebagai korban langsung.
Masalahnya bukan pada terminologi korban langsung atau tak langsung, melainkan pada bagaimana negara menyikapi kejahatan kemanusiaan seperti fakta demikian ini. Dalam konteks kelembagaan secara spesifik LPSK menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yang harus memberikan bantuan medis-psikososial. Namun bagi Legimin dari LPRKROB yang sepulang dari Pulau Buru menguasai teknik penyembuhan akupunktur; hingga hari ini Legimin tak tersentuh layanan LPSK maupun mutasi BPJS.
Domain LPSK dan Optimalisasi Komnas HAM
Alih-alih menyusun rumusan strategis atau langkah terobosan mengatasi dalih beban kerja, keterbatasan sumber daya dan budgeting lembaga, Mardiansyah menyoroti aduan yang masuk LPSK mengenai “konflik internal” organ korban 65 atau pendampingnya. Meskipun benar bahwa tanpa organisasi pendamping, secara personal pun asal ada SKKPH dari Komnas HAM, LPSK akan memproses aplikasi layanan lembaganya.
Atas laporan daerah mengenai implementasi layanan medis-psikososial dimana dalam proses pemenuhan persyaratannya masih ada aparat pemerintah –misalnya pejabat Lurah- yang enggan membuat surat keterangan bagi korban; pihak LPSK memaklumi. Mardiansyah bahkan mensinyalir perlunya pemahaman persepsi di semua hierarki aparatus pemerintahan.
“Begini pak”, papar Mardiansyah. “Jangankan di tingkat kelurahan, beberapa waktu lalu pimpinan LPSK (Ketua dan Wakil Ketua_Red) diundang oleh Menko Polhukam itu hanya ditanya mengenai program ini”, sambungnya. Karena ada suara-suara yang masuk ke Menko Polhukam bahwa LPSK dianggap memberikan bantuan kepada para korban 65. Lalu Ketua dan Waka LPSK datang untuk jelaskan amanat UU No.13/2006 dan UU No. 31/2014.
“Coba bapak ibu bayangkan kalau selevel Menko Polhukam saja tidak paham apa yang menjadi fungsi dan tugasnya LPSK dan kewenangan berdasarkan Undang-Undang, apalagi seorang Lurah. Tetapi kita dengan terbatasnya sumber daya masuk ke beberapa wilayah untuk memenuhi hak-hak korban”, papar Mardiansyah panjang lebar.
Keanehan lain, menurut Mardiansyah, adalah apa yang diketahui dari hasil koordinasi dengan Komnas HAM, yakni kenapa berbicara korban 65 didominasi hanya Jawa dan Sumatera; kemana korban yang lain.
Terkait ini, dijelaskan dari Firdi dari administrasi komnas HAM yang menyampaikan kepada pihaknya bahwa sebenarnya sudah ada yang di BAP oleh Komnas HAM di berbagai kota yang di luar daripada Jawa dan Sumatera seperti Bali, NTB, NTT, Bali, Kalimantan, Ambon, dan lainnya.
“Itu sudah di BAP tapi tidak bisa ditindaklanjuti oleh Komnas HAM karena keterbatasan anggaran”, dalihnya.
[marsha]
Your comment?