Dokumen AS soal 1965: Apakah Suharto terlibat dan enam hal lain yang harus Anda ketahui

1608 Viewed Redaksi 0 respond
Foto besar di Museum Soeharto di Yogyakarta, Indonesia. (GETTY IMAGES]
Foto besar di Museum Soeharto di Yogyakarta, Indonesia. (GETTY IMAGES]
20 Oktober 2017 

Setelah muncul beberapa laporan terkait sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 yang dibuka ke publik, kami mengundang pembaca untuk mengajukan pertanyaan tentang apa yang ingin diketahui lebih lanjut mengenai dokumen-dokumen tersebut.

Berikut jawaban dari beberapa pertanyaan yang paling banyak disampaikan pada kami.

Apakah dokumen rahasia yang ada pada Amerika itu fakta? Mengapa dokumen tersebut berada di AS?

Ada 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang dibuka ke publik oleh tiga lembaga AS, yaitu National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Dokumen tersebut berada di AS karena merupakan bagian dari catatan Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia dari 1964-1968.

Isi kabel diplomatik itu memang beragam, mulai dari operasional harian Kedutaan Besar sampai pengamatan tentang isu politik, ekonomi, kebijakan luar negeri, dan urusan militer di Indonesia.

Kedutaan Besar juga mencatat konflik yang memanas antara AS dan Presiden Sukarno, konflik antara Tentara Indonesia dan PKI, Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, serta hal-hal yang dilakukan untuk menguatkan rezim Suharto.

NSARCHIVE

NSARCHIVE

Sebagian besar dokumen ini memang menyangkut peristiwa seputar 30 September 1965 dan sesudahnya, namun tim yang terlibat dalam digitalisasi dan pembukaan dokumen tersebut ke publik juga menyertakan dokumen lain yang bisa memberi gambaran lengkap dan makna sejarah untuk pemaknaan yang lebih mendalam terhadap konsolidasi yang dilakukan rezim Suharto.

Situs National Security Archive menyebut bahwa materi-materi dan fakta baru ini membuktikan bahwa “diplomat di Kedutaan Besar di Jakarta menyimpan catatan akan pemimpin PKI mana yang dieksekusi, dan bahwa pejabat AS secara aktif mendukung upaya Tentara Indonesia untuk menghancurkan gerakan kiri buruh di Indonesia”.

Data dan fakta yang termuat dalam kabel diplomatik tersebut menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.

Apakah dokumen ini akan diterima secara resmi oleh pemerintah dan diklarifikasi?

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sudah mengatakan bahwa bagaimanapun, informasi dalam dokumen tersebut masih akan dipelajari lebih lanjut.

“Dari manapun (dokumen) yang muncul tentunya tidak serta-merta dokumen itu kemudian kita jadikan suatu bagian dari proses penyelidikan,” kata Wiranto.

Menkopolhukam Wiranto dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Juli 2015 di Istana Merdeka, Jakarta. [AFP/GETTY IMAGES[

Menkopolhukam Wiranto dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Juli 2015 di Istana Merdeka, Jakarta. [AFP/GETTY IMAGES]

Menurut Wiranto, pemerintah perlu mengkaji atau mempelajari dokumen diplomatik tersebut sebelum meyakini yang disebutkan di situ, “Tentu perlu suatu upaya untuk meyakini betul apakah informasi-informasi yang beredar di luar negeri itu layak untuk dijadikan suatu bagian pembuktian-pembuktian.”

Bagaimana peluang penyelesaian kasus kejahatan HAM masa lalu setelah dibeberkannya dokumen-dokumen rahasia terkait tragedi 1965?

Pembukaan dokumen terkait 1965 tersebut terjadi di tengah menguatnya retorika antikomunis dan mobilisasi oleh militer dan beberapa organisasi masyarakat yang dilihat sebagai pertanda bahwa mayarakat Indonesia masih belum bisa berdamai dengan masa lalu, menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.

Ini juga yang menurutnya, menjadi salah satu alasan mengapa proses rekonsiliasi nasional yang direkomendasikan sebagai hasil dari Simposium Tragedi 1965 ‘jalan di tempat’.

Serdadu mengawasi para tahanan yang diduga komunis di sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965 [GETTY IMAGES]

Serdadu mengawasi para tahanan yang diduga komunis di sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965 [GETTY IMAGES]

Tetapi bagi korban tragedi tersebut, Sri Sulistyawati, terbukanya dokumen-dokumen diplomatik ini membuatnya berharap pemerintah Amerika Serikat akan mengakui, meminta maaf, dan membayar ganti rugi bagi korban akibat keterlibatan mereka.

“Kami, para korban, menuntut Amerika meminta maaf dan memberikan ganti rugi atau kompensasi bagi korban,” kata dia. “Jika Belanda bisa di Rawagede, seharusnya mereka juga.”

Sri, mantan wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan ini menjadi tahanan politik dan mendekam di Bukit Duri hingga 1979, berharap fakta-fakta baru yang diungkap bisa menjadi pembanding bagi publik yang selama ini hanya dijejali narasi yang seragam dari penguasa.

Meski begitu, lagi-lagi, Menkopolhukam Wiranto sudah menyatakan bahwa “tidak serta-merta dokumen itu kemudian kita jadikan suatu bagian dari proses penyelidikan”.

Bagaimana proses dibukanya dokumen rahasia ini?

Dokumen kabel diplomatik yang sebelumnya dirahasiakan itu diproses untuk dibuka oleh National Declassification Center –sebuah badan yang dibentuk atas dasar Perintah Eksekutif dari Presiden Barack Obama pada 2009 untuk meningkatkan transparansi– karena semakin besarnya keingintahuan publik pada dokumen yang tersisa di AS terkait pembunuhan massal 1965-1966.

Pembukaan dokumen ini, menurut situs National Security Archive, terjadi terutama atas dorongan kelompok aktivis hak asasi dan kebebasan di Amerika dan Indonesia, pembuat film, dan sekelompok senator yang dipimpin oleh Tom Udall.

Tentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur, termasuk Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar. [DOKUMENTASI PUTMAINAH]

Tentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur, termasuk Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar. [DOKUMENTASI PUTMAINAH]

National Security Archive bekerja sama dengan National Declassification Center untuk menjadikan dokumen tersebut tersedia ke publik dengan memindai dan mendigitalkan koleksi, yang nantinya dimasukkan ke alat pencari digital milik National Archives and Records Administration.

Saat proses digitalisasi data tersebut selesai dilakukan, maka akademisi, wartawan dan peneliti akan bisa mencari tanggal, kata kunci atau nama, dan memberikan akses yang “tak terbayangkan sebelumnya, terutama bagi masyarakat Indonesia, terhadap kumpulan dokumen yang unik dan mencakup salah satu periode paling penting dalam sejarah Indonesia.”

Dari 30.000 halaman yang diproses oleh NDC, masih ada ratusan dokumen lain yang dirahasiakan dan tengah dievaluasi sebelum nantinya dijadwalkan akan diluncurkan ke publik pada awal 2018.

Bagaimana mengakses dokumen-dokumen tersebut?

Karena dokumen-dokumen tersebut sudah dibuka ke publik, maka semua orang bisa langsung melihat dan mengunduhnya di situs National Security Archive di sini.

Apakah Suharto terlibat?

Nama Suharto disebut beberapa kali dalam 39 dokumen yang dibuka ke publik.

Dalam Dokumen 29 dari 27 April 1966, kabel diplomatik tersebut mengutip seluruhnya berita yang diturunkan oleh harian Angkatan Bersenjata, media yang didukung oleh militer.

Koran tersebut menyatakan bahwa “Mao memerintahkan Aidit untuk melakukan Gerakan 30 September” dan “membunuh semua pejabat senior yang reaksioner seperti Nasution, Yani, dan Suharto”.

Presiden kedua Indonesia, Soeharto, beberapa kali disebut dalam dokumen rahasia AS terkait Peristiwa 1965. [GETTY IMAGES]

Presiden kedua Indonesia, Soeharto, beberapa kali disebut dalam dokumen rahasia AS terkait Peristiwa 1965. [GETTY IMAGES]

Menurut situs NSA, “catatan ini tampaknya ingin menjelaskan bahwa Suharto adalah target awal Gerakan 30 September. Fakta bahwa Suharto tidak disasar oleh gerakan tersebut dan malah bertindak sangat cepat untuk mengambil kendali akan militer sejak lama dilihat sebagai bukti bahwa Suharto terlibat dalam aksi gerakan.”

Sementara itu, dokumen lain menunjukkan bahwa Suharto tahu atau malah memerintahkan pembunuhan massal yang terjadi terhadap orang-orang yang dituduh pendukung PKI.

Dokumen 16, yang merupakan kabel diplomatik berisi laporan gabungan mingguan 30 November 1965, menjadi “pengakuan pertama akan pengetahuan dan dukungan atau perintah Suharto terhadap pembunuhan massal pendukung PKI”.

Keluarga korban pembunuhan massal 1965 mengunjungi hutan Plumbon yang diduga merupakan salah satu lokasi kuburan. [GETTY IMAGES]

Keluarga korban pembunuhan massal 1965 mengunjungi hutan Plumbon yang diduga merupakan salah satu lokasi kuburan. [GETTY IMAGES]

Kedutaan Besar Amerika Serikat melaporkan bahwa, “Dalam serangkaian pertemuan dengan pimpinan kelompok pemuda dari beberapa partai, Jenderal Nasution menyampaikan niatnya untuk melanjutkan kampanye menekan PKI, yang sudah sampai pada tahap eksekusi massal di beberapa provinsi di Indonesia, yang tampaknya merupakan perintah dari Jenderal Suharto, setidaknya di Jawa Tengah.”

Pada Dokumen 31 yang membahas soal ‘Keuangan Publik: Fragmentasi Valuta Asing’ dan tertanggal 22 Juni 1966, tertulis, “Setelah Oktober 1965, pejabat AS mengamati (dan menyetujui) pejabat militer Indonesia yang merupakan sekutu Jenderal Suharto untuk mendekati perusahaan asing dan meminta mereka menyimpan royalti dan sewa ke rekening bank yang dikendalikan oleh militer sebagai cara menggembosi rezim Sukarno dari valuta asing dan mempercepat runtuhnya Indonesia, supaya melegitimasi mereka mengambilalih kekuasaan.”

Dokumen 38 yang tertanggal 10 Mei 1967 juga mencatat soal upaya selanjutnya dari rezim Suharto untuk mendorong agar perusahaan asing kembali masuk ke Indonesia dengan menyusun undang-undang investasi asing baru, selain juga memberikan konsesi minyak bumi, tambang, dan kayu.

Bagaimana peran Amerika Serikat dalam pembantaian massal? Seberapa banyak peran AS dalam peristiwa 1965 tersebut?

Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa Amerika Serikat tahu akan skala pembunuhan massal yang terjadi dan membiarkannya.

Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambil alihan kekuasaan pada 30 September 1965.

Para anggota dan simpatisan PKI “kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.

Sri Muhayati memegang foto orang tuanya. Sri, yang saat itu pelajar, dipenjara lima tahun tanpa pengadilan karena dugaan keterlibatan dengan PKI. Ayah Sri, Muhadi, dipenjara dan kemudian dieksekusi karena dituduh mendukung PKI. [GETTY IMAGES]

Sri Muhayati memegang foto orang tuanya. Sri, yang saat itu pelajar, dipenjara lima tahun tanpa pengadilan karena dugaan keterlibatan dengan PKI. Ayah Sri, Muhadi, dipenjara dan kemudian dieksekusi karena dituduh mendukung PKI. [GETTY IMAGES]

Selain itu, kabel diplomatik tersebut juga memperlihatkan bahwa AS menyetujui militer Indonesia yang berpihak pada Suharto untuk mendapat pemasukan asing dan menunjukkan bahwa mereka membiarkan penggembosan terhadap rezim Sukarno agar memudahkan terjadinya perpindahan kekuasaan.

Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri AS di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu.”

Disebutkan, Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya dari negara-negara Barat.

Sumber: BBC.Com
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
cia

Dokumen CIA AS Tegaskan G30S 1965 Bukti Kudeta TNI AD

Konferensi pers beberapa lembaga swadaya masyarakat soal tragedi 1965 | BBC INDONESIA/TITO SIANIPAR

Dokumen rahasia Amerika dibuka, TNI disarankan melakukan hal yang sama

Related posts
Your comment?
Leave a Reply