Tahun Itu Memang Tak Pernah Berakhir Tuan?
Diah Wahyuningsih Naat
Oleh: Diah Wahyuningsih Naat*
Sehari usai pelantikan menteri hasil resuffle kabinet, nama-nama baru para menteri dengan wajah-wajah lama terpampang di setiap media. Muncul tanggapan beragam menyikapi menteri baru hasil perombakan pimpinan negeri ini. Dari sekian nama, aku tertarik dengan dua nama menteri yang kuanggap akan menumbuhkan pertanyaan besar, apakah benar bila Tahun itu memang tak pernah berakhir.
Sesungguhnya aku tidak ingin berburuk sangka atas sepak terjang dua nama menteri di masa silam mereka. Sebaliknya, aku ingin berbaik sangka sekurang-kurangnya menunggu bagaimana kinerja mereka di 100 hari kerja sebagai bentuk awal gambaran kerja selanjutnya. Namun, tetap saja tersirat kekhawatiran mendalam mengingat bagaimana rekam jejak mereka. Dua menteri yang kumaksud adalah menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta Menteri Pendidikan Nasional.
Tanpa perlu dituliskan nama lengkap mereka atau latar belakang, kita pastinya tahu siapa mereka. Sebenarnya, ketika kita coba menyikapi lebih bijak bahwa meski berkembang pro-kontra tentang persoalan pelanggaran HAM masa lalu khusus di Peristiwa 1965, masih dapat kita rasakan ada secerca harapan dari para menteri sebelumnya. Pelaksanaan Simposium Nasional pada bulan April lalu menandakan akan lahirnya gebrakan baru pemerintah menyelesaikan persoalan masa lalu yang tidak sekedar membahas kebencian bangsa Indonesia atas “Dosa” Golongan Kiri yang tertera dalam catatan narasi sejarah, melainkan niatan tulus yang dimulai dari keinginan menyingkap kembali tabir rahasia dibalik segala stigma negatif terhadap Golongan Kiri itu sendiri. Membedah Peristiwa 1965 dari sudut pandang sejarah, memberikan kehangatan jiwa karena kemauan untuk melihat ulang peristiwa yang telah mencabik-cabik sisi kemanusiaan bangsa Indonesia kepada keluarganya sendiri. Bukan untuk membuka luka lama akan tetapi dengan niatan ini, wacana pemerintah disepakati sebagai titik awal meluruskan jalannya satu peristiwa kontra-versi baik pra-saat terjadi-pasca terjadi satu peristiwa sejarah.
Lembaran-lembaran “usang” catatan sejarah peristiwa tersebut sudah selayaknya dibenahi melalui kajian-kajian terkini yang bisa dipertanggung-jawabkan. Tujuannya tidak lain untuk menarik benang kusut yang selama 50 tahun bercongkol dalam pemikiran buruk dan terdoktrinasi oleh kepentingan penguasa saat itu.
Janji sang menteri yang nota bene seorang Jenderal dan pernah diduga tersangkut pelanggaran HAM masa lalu, atau juga disebabkan latar belakang karier yang merupakan hasil cetakan Orde Baru, bisa saja kita buktikan apakah benar adanya keingingan untuk menuntaskan pelanggaran HAM terkhusus pasca peristiwa 1965 segera dituntaskan sesuai NAWACITA Presiden yang berkeadilan dan bermartabat. Atau kebalikannya menjadi alat yang dengan singkat memberhentikan kerja para penggiat HAM dan membungkam hasil-hasil kajian terkini sejarawan.
Andai memang semua janji terpenuhi seperti keinginan yang sebenarnya guna memberikan keadilan yang seadil-adilnya, mungkin Tahun itu akan berakhir seperti harapan semua orang. Keutuhan NKRI tak mungkin tergoyahkan hanya karena kerja keras menyelesaikan persoalan bangsa.
Dengan demikian maka tugas menteri Pendidikan bisa lebih ringan dikarenakan perumusan kembali narasi sejarah dapat mencerminkan tentang kecerdasan bangsa melihat satu peristiwa sejarah. Menteri Pendidikan tidak akan terintimidasi merumuskan kurikulum sejarah sekolah sehingga hakekat sejarah bangsa benar-benar menjadi bagian penting dalam membentuk karakter nasional.
Sejarah masa lalu tidak harus dikubur tanpa pengakuan kebenaran. Bagiku masa-bodoh dengan anggapan orang bila pengungkapan peristiwa di tahun 1965-66 cuma membangkitkan ideologi terlarang di negeri ini. Toh…ideologi itu jelas matinya. Hal terpenting dan paling utama adalah bangsa Indonesia wajib belajar bagaimana seyogyanya mendudukan persoalan kebangsaan yang bersumber dari peristiwa kelam masa lalu.
Kemungkinan juga baik Sang Jenderal maupun Sang Pemimpin Ormas Keagamaan lebih “Legowo” atas peristiwa sebenarnya. Tak perlu takut akan hal yang cuma memperburuk citra bangsa dan tak perlu ragu akan bukti-bukti kebenaran yang selama ini telah jelas disampaikan oleh para pejuang kemanusiaan. Mau tidak mau, putusan hakim pada sidang IPT dijadikan sandaran kemanusiaan guna meluruskan fakta sejarah.
Sudah saatnya kita belajar mengakui kebenaran sejarah atau kita ingin melangkah mundur seperti 50 tahun silam? atau Tahun itu memang tak pernah berakhir yang penuh kenistaanya dan kebohongan sejarah?
____
*Diah Wahyuningsih Naat, Pengajar Sejarah, tinggal di Batam
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Trackbacks/Pingbacks
[…] http://ypkp1965.org/blog/2016/07/28/tahun-itu-memang-tak-pernah-berakhir-tuan/ […]