Boven Digul

2197 Viewed Redaksi 0 respond
Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir bertemu dengan para ex-Digulis (bekas tananan politik pemerintah Hindia Belanda) di Cirebon, Maret 1946. Beberapa ex-Digulis menjadi sahabat sepenanggungan ketika Sutan Sjahrir dibuang ke Boven Digul tahun 1935-1936. Ketika Jepang menyerang pulau Papua, para tahanan Digul diungsikan oleh Belanda ke Australia selama hampir tiga tahun (pertengahan 1943 - Februari 1946). Setelah proses yan berliku dan berbelit, akhirnya mereka bisa diangkut ke Jawa. Di masa Revolusi Indonesia, Sutan Sjahrir banyak melakukan komunikasi dengan para tahanan komunis di Australia via radio gelap mengenai perkembangan Perang Dunia II. Informasi yang akurat inilah yang bisa mengantarkan Bangsa Indonesia akhirnya bisa memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1945 [Foto: Hasan Sobirin]

Oleh: Hasan Sobirin*


Boven Digul adalah tempat pembuangan dalam negeri (interneringskamp). Dibangun dan dibuka pada awal tahun 1927. Pengerjaan Boven Digul dipimpin oleh Kapten Infanteri L.Th. Becking yang pada tahun 1926 memimpin pemadaman pemberontakan di Banten. Landasan hukum pembangunan Boven Digul adalah peningkatan Administrasi Digul menjadi Onder-Afdeeling Boven Digul (Keresidenan Digul Hulu). Jadi awal Boven Digul adalah dibawah kekuasaaan militer Belanda.


Dengan pembangunan Boven Digul, maka dihentikanlah pembuangan tahanan politik ke luar negeri. Yang terakhir dibuang ke luar negeri oleh pemerintah Belanda adalah Semaun dan Darsono karena terbukti bersalah memimpin pemogokan buruh di tahun 1923. Sebelas tahun sebelumnya, tiga pemimpin partai politik dibuang ke Eropa yaitu E.F.E Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangunkusumo.


Boven Digul didirikan untuk mengasingkan mereka yang dianggap terlibat ataupun bersimpati pada pemberontakan 1926-1927 tanpa putusan pengadilan. Kewenangan penangkapan dan pengasingan ini berdasarkan exorbitante rechten (hak-hak istimewa Gubernur Jenderal) yang diturunkan kepada setiap Residen yang di wilayahnya terjadi pemberontakan.


Pemberontakan itu tercatat dalam sejarah nasional pertama di Indonesia. Penyebabnya adalah: 1) Pemberontakan yang terjadi di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan,Sulawesi ,Maluku itu digerakkan oleh tokoh-tokoh partai politik dan semangat keagamaan. 2) PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi motor penggerak utama dari pemberontakan tersebut dan belum pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang sedemikian luas tanpa membedakan suku maupun agama walau tanpa koordinasi nasional. Hal inilah yang ditentang oleh Tan Malaka (anggota Komitern Komunis Internasional) bahwa pemberontakan itu belum matang.


Pemerintah Belanda pun tanpa ampun dalam menyikapi pemberontakan ini. Semboyan mereka “lebih baik tangkap seribu orang daripada satu orang yang lolos”. Akhirnya ditangkaplah 13.000 orang, dengan perincian 5000 orang dihukum ringan, 1000 orang dipenjara, 823 dibuang ke Boven Digul, 6000 orang dibebaskan dari tuntutan dan sembilan orang dihukum mati dengan cara digantung, diantaranya adalah Egom, Dirja, dan Hasan Bakri dan beberapa orang dari Padalarang dan SawahLunto.
Dalam pelaksanaannya, Boven Digul berkembang menjadi concentratiekamp (kamp konsentrasi) bagi siapapun yang dianggap berbahaya terhadap Pemerintah Belanda.


Sebagai seorang yang pernah ditahan di Boven Digul dalam bilik panasnya yang terbuat dari seng, *Sutan Sjahrir* pun menulis dengan satire: “Pantaskah orang-orang Eropa ini memperlakukan aku dan bangsaku seperti ini? Sungguh tidak masuk akal perilaku orang-orang Eropa seperti ini dimana di tanah leluhur mereka pernah lahir dan hidup seorang Goethe, seorang Shakespeare, seorang Plato, seorang Dante bahkan seorang d’Annunzio”. (*Renungan Indonesia-Ind, Indonesische Overpeinzingen-Bld, Out of Exile-Ing*).


Orang yang pertama menulis tentang Digul adalah Mas Marco Kartodikromo yaitu “Sejarah Boven Digul” (1929). Mas Marco menuliskannya di saat Digul masih diperintah dengan keras oleh Kapten L.Th. Becking. Mas Marco berhasil menerbitkan tulisannya atas jasa besar istrinya yang bolak-balik Solo-Digul sebagai pedagang. Tulisan kedua adalah karangan L.J.A Shoonheyt, “Boven Digul” (1936). Dari isinya tergambar bahwa dr. Schoonheyt sangat setuju bahwa kamp pembuangan itu adalah hal yang baik dan Kapten Becking dijelaskan sebagai “Pionir Digul Hulu yang gagah berani”.


Bagi para buangan sendiri, tinggal di Digul adalah sebuah malapetaka. Selain mendapat perlakuan yang kasar, kerja paksa membabat hutan dan tugas membuka perladangan yang maha berat mereka harus menghadapi berbagai penyakit. Yang paling terkenal adalah disentri, beri-beri dan tiga jenis malaria. Di antara penyakit-penyakit tersebut penyakit yang paling berbahaya adalah malaria hitam. Bila air kencing sudah berwarna hitam pertanda sudah dekatlah ajal menjemput. Mandi, cuci, kakus adalah hal yang sulit. Para tahanan hanya mengandalkan air hujan. Pernah mereka melakukannya di sungai Digul, namun ketika ada seorang tahanan dimakan buaya, para tahanan tidak pergi lagi ke sungai Digul. Sementara itu, di luar kamp terdapat suku-suku asli Papua yang masih primitif pemenggal dan pemakan orang.


Melihat fenomena yang ada *Sutan Sjahrir* menulis: “hampir-hampir tidak dapat dipercaya namun suatu kenyataan bahwa orang-orang dalam kamp itu teraniaya tanpa disadari oleh mereka yang menganiaya dan menyiksanya, oleh karena mereka tidak ambil pusing pada penderitaan para buangan, bahkan punya perhatian pun tidak” (Renungan Indonesia-Ind, Indonesische Overpeinzingen-Bld, Out of Exile-Ing).
_______

*Hasan Sobirin, Penulis dan peminat sejarah, tinggal di Bandung

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10208865545143380&set=a.10206643530394400.1073741856.1457004676&type=3&theater

 

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.

Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM 1965 Segera Dilaporkan ke Presiden

Tragedi 1965 dan Transformasi Sejarahnya

Related posts
Your comment?
Leave a Reply