Penolakan Audiensi oleh Menko Polhukam: Negara Tidak Serius Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965/1966
![FORUM 65: Suasana Diskusi Forum 65 yang digelar di Ruang PK Ojong (21/9) Lantai 1 Gedung LBH-YLBHI Jakarta [Foto: Humas YPKP'65]](https://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2016/09/DSCN0028c-655x360.jpg)
FORUM 65
Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat 10320 INDONESIA
Tel – (+6221) 392-9840
Fax – (+6221) 319-30140
_____________________________________________
Penolakan Audiensi oleh Menko Polhukam:
Negara Tidak Serius Tuntaskan
Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965/1966
Jakarta, 19 September 2016
Hingga dikeluarkannya rekomendasi hasil Simposium Nasional 65 yang diselenggarakan tanggal 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat berupa rehabilitasi umum bagi seluruh korban pelanggaran HAM berat 1965/1966 dan pembentukan Komite Kepresidenan, negara sama sekali belum menunjukkan keseriusan dalam menuntaskan kasus 1965/1966. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto terkait komitmennya dalam menuntaskan kasus 1965/1966 di depan awak media tertanggal 14 September 2016 sangat berbanding terbalik dengan sikap Menko Polhukam secara kelembagaan.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) sebagai salah satu anggota Forum 65 pada 13 September 2016 lalu telah menerima surat penolakan permohonan audiensi ke Menko Polhukam melalui surat nomor B-1643/Polhukam/De lll/HK.06.06.2/9/2016 dan audiensi ke Presiden Republik Indonesia melalui surat nomor B-1650/Polhukam/Delll/HK.06.06.2/9/2016 tertanda Jhoni Ginting, SH, MH selaku Deputi Bidang Koordinator Hukum dan HAM tertanggal 6 September 2016. Terkait subtansi yang terdapat dalam kedua surat tersebut, maka penting bagi kami Forum 65 yang merupakan forum bagi seluruh organisasi korban 65, untuk menyampaikan penegasan dan argumentasi mengenai kemendesakan upaya konkret pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya kasus 1965/1966.
Kuburan Massal
Dalam audiensi yang dilakukan oleh YPKP 65 dengan Menko Polhukam tertanggal 9 Mei 2016, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan adanya sebuah tim khusus guna memverifikasi kebenaran dan keberadaan kuburan massal korban 1965 di beberapa titik di Indonesia, yang bernama Tim Koordinasi Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam. Dalam kesempatan yang sama, Menko Polhukam juga menjamin adanya perlindungan korban dan titik-titik kuburan massal yang YPKP 65 laporan, serta dihapusnya tindak intimidasi aparat terhadap komunitas korban 1965/1966. Dengan adanya reshuffle kabinet, maka penting bagi kami untuk meminta transparansi hasil kinerja tim khusus tersebut—mengingat kemendesakan hasil verifikasi kuburan massal tersebut sangatlah tinggi sebagai bukti pendukung telah terjadinya pelanggaran HAM berat pada rentang tahun 1965-1966.
Keterangan dalam dua (2) surat Menko Polhukam tertanggal 6 September 2016 yang berbunyi “data tentang adanya kuburan massal di beberapa wilayah di Indonesia saat ini masih dibahas oleh Tim Koordinasi Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Kemenko Polhukam” sama sekali tidak mengandung informasi yang berharga, sekaligus bertentangan dengan pernyataan Menko Polhukam Wiranto tertanggal 14 September 2016 terkait pembahasan kasus 1965/1966 dalam Kemenko Polhukam yang komprehensif, adil dan menjunjung tinggi transparansi informasi. Permohonan audiensi dengan Menko Polhukam dalam hal ini juga hendak meminta klarifikasi atas rumor yang kami terima perihal telah dilakukannya proses verifikasi secara mandiri tanpa berkoordinasi dan/atau melibatkan organisasi korban yang telah melapor dan menyerahkan data perihal beberapa titik kuburan massal di Indonesia.
Transparansi dan tindak lanjut rekomendasi hasil Simposium Nasional 65
Pada audiensi di kantor Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres)—25 Agustus 2016 lalu—Sidarto Danusubroto anggota Wantimpres sekaligus penasihat panitia Simposium Nasional 65 menyatakan bahwa naskah rekomendasi hasil Simposium Nasional 65 telah diserahkan kepada pemerintah melalui Menko Polhukam. Kami memahami semangat pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan, sebagaimana tercantum dalam butir ke-4 Nawacita dan RPJMN 2015-2019, tentunya akan melibatkan banyak kalangan dan perspektif yang luas dalam melihat dan menuntaskan kasus 1965/1966. Namun, sebagai pihak yang terlibat secara khusus, maka komunitas korban dan secara umum masyarakat luas memiliki hak untuk memperoleh informasi mengenai rekomendasi hasil kegiatan bersama tersebut secara utuh.
Selanjutnya, perihal penggabungan rekomendasi hasil Simposium 65 dengan hasil Simposium Nasional Pengamanan Pancasila di Balai Kartini sebagai dasar pengambilan langkah strategis penuntasan 1965/1966 sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam dalam suratnya sama sekali tidak dapat kami terima. Penting melihat “Simposium Tandingan” tersebut sebagai sebuah proses yang bertentangan dengan amanat MPR RI [TAP MPR] Nomor V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang memandatkan adanya penegakan “kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau”, serta diselenggarakan untuk mendistorsi wacana dan upaya penuntasan kasus 1965/1966. Jelas bahwasanya proses dan hasil rekomendasi Simposium Nasional 65 yang dinyatakan oleh Sidarto Danusubroto pada 19 April 2016 yang salah satunya adalah menjamin adanya rehabilitasi umum bagi korban 1965/1966 didasarkan oleh pertimbangan berbagai aspek penting seperti sejarah, hukum, politik, sosial dan kemanusiaan—sama sekali terlepas dari perdebatan dan kepentingan yang bersifat ideologis. Maka dari itu, kami kembali menegaskan bahwasanya Menko Polhukam dibawah kepemimpinan Wiranto memiliki kewajiban untuk membuka rekomendasi hasil Simposium Nasional 65 dan segera menindaklanjutinya dengan menyerahkan rekomendasi tersebut kepada Presiden Joko Widodo.
Penolakan audiensi korban oleh Menko Polhukam: Bukti Negara unwilling and unable dalam menuntaskan kasus 1965/1966
Kami melihat bahwasanya penuntasan kasus 1965/1966 secara non-judicial secara khusus sesungguhnya telah memiliki keputusan hukum yang sangat menunjang diimplementasikannya sebuah rehabilitasi umum, yakni diantaranya berdasarkan Surat keputusan Mahkamah Agung No. KMA/403/VI/2003 tentang Permohonan Rehabilitasi Terhadap Korban Peristiwa 1965/1966 yang diperkuat oleh urat surat Komnas HAM No. 147/TUA/VIII/2003 dan DPR RI No. KS.02/3947/DPR-RI/2003 yang keduanya memuat rekomendasi untuk Presiden agar segera menindaklanjuti surat Mahkamah Agung dan memberikan rehabilitasi kepada korban peristiwa 1965/1966 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penting dipahami bahwa pemberian rehabilitasi umum tidak dapat dilepaskan dari konteks pemenuhan hak korban atas keadilan dan pemulihan.
Menko Polhukam, sebagaimana tercantum dalam surat penolakan audiensinya, telah menjelaskan perihal kesepakatan antar lintas lembaga terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965/1966 di Kemenko Polhukam tertanggal 15 Agustus 2016, yakni “sikap/keputusan Pemerintah tersebut (berbagai upaya penuntasan kasus) dibenarkan oleh hukum dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan”.
Kami menilai penolakan audiensi kami—sebagai komunitas korban—oleh Menko Polhukam merupakan sebuah upaya penundaan hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan yang merupakan sangat jelas dapat menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan. Secara lebih tinggi, sikap Menko Polhukam telah melanggar mandat negara mengenai perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang tercantum pada Pasal 28I ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Menko Polhukam sebagai representatif negara sama sekali tidak memiliki kemauan dan kemampuan (unwilling and unable) untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM 1965/1966.
Untuk itu, jika pemerintah terus menunda keadilan bagi korban 1965/1966 dengan menutup jalur penyelesaian kasus baik secara yudisial maupun non-yudisial, maka kami—Forum 65 bersama International’s People Tribunal 65 akan menempuh jalur internasional dalam hal ini melalui United Nation dan masyarakat internasional secara luas untuk mendesak negara bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang telah terabaikan penuntasannya selama 51 tahun ini
***
Your comment?