Interogasi | 4
Ruang dan waktu, merupakan dimensi kepastian yang mutlak dalam kehidupan manusia. Sejemput “ruang-dalam” dari sempalan dunia hukuman negara yang berkuasa, kini adalah tempat kami semua terdampar. Di mana para tapol yang meringkuk dalam ketidakbebasan. Atau suatu keterbatasan lingkup gerak dan pandang. Semakin mengerucut secara massif lini demi lini. Bahkan, dipotong (crossing) dengan amat drastis tanpa ampun.
Sebenarnya ada hikmah yang dipetik. Di sini, adalah semacam “oase” hunian para mahluk manusia. Kembali merenungkan diri secara filosofis, tentang makna hakekat kehidupan. Setelah pulang dari pengembaraan hidup luaran yang liar. Tanpa pernah tersadar, bahwa siapapun orangnya ia pasti ditentukan oleh bioritme waktu. Dalam arti seperti bunyi pribasa “waktu beredar, manusia bertingkah”.
Betapapun juga, di ruang dalam ini, meski tertutup dari dunia bebas. Di sinilah kita bertemu makna hidup sesungguhnya. Berapa lama kita berbaring menengadah keatas. Menatap latar plapon di bawah atap gedung yang dianggap sebagai barak tahanan ini. Ketika jam-jam tertidur dalam malam yang panjang. Sebagian telah tersita oleh saat-saat melek terjaga. Tanpa kegiatan produktif yang berarti. Kecuali banyak merenung dan merenung. Tapi rasanya lebih bermanfaat ketimbang lamunan khayali yang sia-sia. Tak berguna lagi disini.
Setelah kami berada di sini. Betapa sangat berartinya kebebasan menghirup udara di alam terbuka, di luar sana. Dengan berjemur di bawah sinar matahari pagi sumber oksigen yang memancar. Penuh muatan spektrum warna yang digandrungi kaum impresionis. Semuanya terlimpah secara gratis. Tanpa sempat kita manfaatkan fungsinya dengan baik selama berada di luar.
Rindu atas kesegar-bugaran kesehatan seorang individu dalam memetik dan mengecap hak demokrasi warga negara secara normal. Kini begitu terasa bermakna manfaatnya. Ketika demam panas menyerang hampir diseluruh tubuh ini. Sentuhan tangan ajaib yang dibalurkan dengan polesan minyak beras-kencurnya dari petani tua yang berjenggot putih itu. Masih belum mempan menghilangkan sepenuhnya radang rasa sakit dan ngilu sampai ketulang, hanya dalam dua hari. Karena dampak “gojlokan” tim interogator sedemikian keras menggebuk tubuh saya hingga berdarah-darah. Ketika saya mendapat giliran diperiksa tim interogator pada masa babak akhir pemeriksaan tahanan
.
“Kamu, sebagai tokoh Lekra, di partai PKI,apa kedudukanmu?”, tanya kepala juru interogator. Menjadi pangkal krusial debatebel di antara si interogator dan sipesakitan yang tak seimbang. Sehingga pada ujung-ujungnya terjadilah penyiksaan yang parah sebagai pelanggaran hah azasi manusia.
“Tentu kamu kesini dari Banjarmasin dapat tugas PKI, bukan?”,tukas sang interogator yang tak bisa berlanjut lagi. Hanya karena tak keluar jawaban dari saya untuknya. Sedangkan saya jatuh pingsan oleh berondongan pukulan lewat “gojlokan “ yang hampir mematikan.
Jika ketika saya tertangkap dalam penggerebekan pada masa pelarian itu dulu. Saya sempat mengambil kiat trik untuk berpura-pura pingsan. Sebelum mereka memberondong pukulan lebih mematikan. Maka kali ini segala macam kiat trik tak mempan sama sekali untuk bisa saya lakukan. Di sini, musuh yang saya hadapi telah terlatih secara khusus terstruktur dan terprogram. Dalam mengkombinasi di antara pemeriksaan dan penyiksaan. Dengan target menggali alias memeras sumber informasi semaksimal mungkin, dengan memaksa sipesakitan melalui berbagai cara tekanan fisik dan mental yang sudah diatur secara baku.
Pemeriksaan terhenti, tanpa diteruskan dengan sengatan strom listrik manual terhadap saya. Yang telah mereka persiapkan sebagai alat perangkat “pemeras” pengakuan dari sipesakitan. Sebab saya dianggap selaku tokoh Lekra daerah Kalsel yang memungkinkan untuk diperas pengakuan sumber infonya secara optimum. Tapi kini sementara saya dipulangkan kembali ketempat tahanan. Sampai kemudian diulang lagi lebih dari satu kali saat saya dianggap sehat, bahkan untuk beberapa hari. Ketimbang dengan kebanyakan para tahanan lainnya yang dianggap relatif awam, rata-rata selesai dalam satu hari pemeriksaan.
Kontak komunikasi antar manusia dalam interogasi memang sangat dekat. Namun,melalui suatu pendekatan yang kontras. Saling bertolak belakang dan bermusuhan dalam posisi tak seimbang satu sama lain. Dialog terjadi lewat bahasa pertanyaan yang menekan bagai ancaman hunusan pedang. Dengan jawaban yang sulit tercabut dari sumber kata-katanya yang selalu terbungkam tanpa perisai apapun. Kecuali dihadang dengan mempertaruhkan ketahanan fisik yang terus didera penyiksaan tak manusiawi.Sedangkan situasi mental sipesakitan akibatnya pada hancur berantakan.
Terkadang dialog didominasi sepenuhnya oleh sumpah serapah yang amat kasar dari dendam kesumat sang interogator. Lebih terasa menyakitkan ketimbang berondongan pukulan dengan menggunakan buntut ikan pari sekalipun. “Biar kamu mampus masuk neraka, jahanam kafir!”,bentak sang interogator. Tanpa peduli atas korbannya yang jatuh teler dalam erang rintihan setengah mati. Menahan rasa sakit yang tak terperikan oleh siksaan para tukang pukulnya.
Tapi cerita pengalaman para teman-teman tahanan awam lainnya, ternyata tak luput juga dari suatu kelucuan yang getir. Kadang muncul lewat obrolan dan gurauan yang membuat ruang tahanan berderai terhibur oleh gelak tawa mereka. Hanya karena petikan cerita tentang pengalaman mereka dalam pemeriksaan.
Ada yang mengenai seseorang ditanya interogator: “Kamu jadi apa, sebelum jadi guru silat?” Dengan lugunya siterperiksa menjawab lugas : “saya sebelum jadi guru, jadi murid!” Di dalam tahanan teman-temannya meledak tertawa. Padahal sipesakitan babak belur menanggung resiko atas jawabannya disaat diinterogasi. Tambahan lagi kisah tentang “ormas” cukup menggelitik.”Ormasmu ikut mana?”, tanya si pemeriksa. Si tapol menjawab: “Ormas sepupu saya itu, sudah pulang ke kampungnya.” Berderai tawa teman-teman yang bergerombol saling mendengarkan cerita di dalam ruang tahanan. Tapi, sebaliknya si pemeriksa tidak tertawa, malah marah sambil menggamparkan tinjunya kepada si tapol. Karena si tapol dianggap melecehkannya dengan pura-pura blo’on. Padahal si tapol memang tak tahu benaran, bahwa ormas adalah singkatan organisasi massa. Saking awam dan buta hurupnya.
Begitu pula teman lainnya punya kisah yang tak kurang lucunya. Ketika si pemeriksa bertanya : “Di kampung ini ada puluhan tuantanah. Ada Haji Adul, Haji Darham, Haji Latif dan banyak lagi. Kami lihat kamu gali lubang yaa?”. Sahut sipesakitan: “Tidak ada , pak! Si interogator sudah paham sekali dan hapal atas lakon korbannya. “Tidak tahu” dan “tidak ada”, adalah dua kata stereotif penyelamatan diri bagi si pesakitan yang harus ditukar dengan gebukan awal. “Bohong kamu yaa?, itu lubang dibelakang rumahmu , lubang apa? “ Jawaban si tapol mulai goyah oleh tendangan keras sepatu larsa. “Itu saya gali untuk buat sumur pak”.
Si interogator mulai naik pitam menghardik : “Tanahmu itu masih cukup luas untuk mengubur 7 orang tuan tanah. Nah, berapa lubang yang bakal kamu buat?” Menyebut dua kata stereotif itu sudah tak ada gunanya lagi. Gebukan mulai meraja-lela bertubi-tubi menerpa tubuh si tapol. Dari pada menahan lebih perih lagi rasa sakit menghadang pukulan berikutnya, terpaksa ia berdusta : “Dua buah, pak”
Lho,koq semakin garang terjangan sepatu larsanya. “Wah, terlalu sedikit, tolol! Si interogator semakin keras dan kuat pukulannya membuat si tapol bertambah kelenger. “Lima, sepuluh, dua puluh lima, aduh! Ampun Pak! Gebukan kian menjadi-jadi. “Terlalu banyak, bangsat! Tanah belakang rumahmu tak muat sebanyak itu,”teriak si pemeriksa dengan bengis. “Kalau begitu, terserah bapak saja, berapa jumlahnya”,raung si terperiksa, sebelum jatuh terkapar setengah pingsan. Lantas berderai tawa teman-teman memecah kelengangan di dalam ruang tahanan.
Begitulah ironi hidup kemanusiaan di dalam oase duka derita para tapol. Terkadang terselip juga suka dukanya. Tatkala lelucon yang getir dan naïf yang penuh ketidakadilan, singgah menggelimangi ruang tahanan di salah satu sudut tanah air kita ini. Dari segi pertimbangan hukum yang mana, kenapa mereka di sini harus menderita terkapar ikut kena getahnya, akibat perbuatan makar di pusat pemerintahan Jakarta sana?
Asal muasal peristiwa G30S yang mengorbankan 7 jenderal terjadi jauh disana. Tapi, di sini saya tahu siapa mereka sebenarnya, orang-orang awam buta huruf yang tak tahu menahu atas kaitannya dengan PKI dan ormasnya. Kenapa mereka turut dilibatkan, diraup dan digaruk masuk tahanan oleh suatu rezim baru yang telah berhasil merebut kekuasaan?
Pemeriksaan melalui berbagai interogasi yang naïf seperti lelucon getir dari kisah-kisah para tapol tersebut di atas, merupakan ulah rezim yang dipaksakan untuk suatu kepentingan pencitraan. Bahwa penguasa mencoba memenuhi aturan baku pengadilan para tapol, di hadapan mata dunia. Dengan mengklasfikasi secara hukum dalam golongan A, B, dan C menurut keterlibatan atau kesalahannya. Padahal betapa kontroversial dan paradoksnya langkah penyelesaian hukum semacam ini, penuh kerancuan yang mubazir dan sia-sia…
***
Your comment?