Dikerjapaksakan Di Alam Terbuka | 5

1421 Viewed Redaksi 0 respond
“Kerja Paksa”, cat minyak, 120x180 cm, Tahun 2007, Karya: Sudiono SP (alm).
“Kerja Paksa”, cat minyak, 120x180 cm, Tahun 2007, Karya: Sudiono SP (alm).

Hampir tiga bulan kemudian, masa pemeriksaan telah berlalu. Berarti selama waktu itu pula, kami para tapol di gojlok dalam semacam bagaikan godokan“kawah candradimuka” ini. Untung saja di antara semua tapol yang berjumlah sekitar 120-an orang di dalam ruang tahanan ini. Tak seorangpun yang tewas dalam pemeriksaan. Padahal rata-rata semua mereka tanpa kecuali tersiksa setengah mati.

Cuma terdapat hal yang sedikit agak menggembirakan. Ada beberapa orang tahanan dibebaskan atas saringan hasil dari pemeriksaan. Kami perkirakan, mereka adalah yang dianggap tak ada sangkut pautnya untuk diperkarakan. Mereka kebanyakan sudah berumur lanjut. Dari semua tahanan yang kami tandai relatif awam, dalam arti tak tahu menahu atas kaitannya dengan peristiwa G30S. Ada sekitar tiga orang yamg masih dibilang remaja, dibawah usia tujuh belasan.

Dari pihak golongan mereka yang sebenarnya tak pantas diraup, digaruk dan dikuras oleh penguasa itu. Betapapun sebagiannya, katakan sekitar dua puluhan lebih yang telah dibebaskan. Namun masih banyak lagi, di antara mereka yang tersisa di dalam tahanan ini. Memang mereka benar-benar “wong cilik”, pekerja serabutan mencari nafkah sehari-hari untuk sesuap nasi demi hidup keluarganya. Hidup mereka rata-rata relatif miskin alias melarat.
Tapi celakanya bagi nasib mereka. Justeru karena kemelaratannya. Telah dicurigai oleh penguasa selaku sarang komunis. Punya mata pencarian sebagai tukang bakso, tukang tambal ban, servis sepeda dan lain-lain. Dapat dianggap merupakan kamuplase kader partai yang bisa jadi adalah otak “Gestapu” yang berbahaya. Begitulah tuduhan naïf intel penguasa.

Saya merasa amat kasihan terhadap mereka. Sebagai korban kekeliruan atas penterapan paradigma asumsi logika-formil. Dari petugas penguasa yang menafsirkan secara sangat subyektif atas fakta. Bahwa komunisme dapat bersarang dan berkembang ditengah kemiskinan masyarakat.

Juga selama dalam masa pemeriksaan. Justru karena awam dan buta hurufnya yang memang tak tahu menahu benaran atas kondisi dan situasi politik. Sering menjadi sasaran penyiksaan yang luar biasa tak terukur. Karena dianggap berbohong, pura-pura blo’on dan bodoh. Dituduh untuk menutupi kekaderan sebenarnya.

Baiklah, syukur juga mereka sebagian sudah bisa dibebaskan. Bahwa tim pemeriksa dari pihak penguasa, tidak tampak kentara bekerja secara sembarangan. Tidak asal garuk saja dengan kejam tanpa manusiawi. Buktinya, di balik pencitraan yang harus ditegakkan, yang tak bersalah dibebaskan. Begitulah kiat penguasa yang baru menang dalam perebutan kekuasaan. Sedangkan pihak yang kalah selaku pecundang yang terkapar. Pada gilirannya akan menjadi korban permanen. Langgeng dalam penganiayaan dan penderitaan yang entah sampai kapan berakhir.

Tadinya dari pada tinggal bangkai yang terbuang dipinggir got, masih lebih baik menjadi tapol. Tapi sekarang bagi mereka kembali pulang kemasyarakat. Tentu lebih baik ketimbang selaku tapol yang terkurung. Padahal, sebenarnya masih belum tentu bagi mereka yang kemudian keluar tahanan. Dengan terlanjur membawa ciri atau cap bahaya laten. Baik sebagai bekas (ex) tapol, maupun mantan Organisasi Terlarang (OT). Di mana dan kapanpun terus terbawa-bawa secara melekat. Sejak di dalam hingga di luar tahanan.

Apakah mereka bisa kembali lagi menjadi benar-benar sebagai warga negara yang baik tanpa cacat?” Atau tak ada bedanya dengan kebanyakan warga lainnya yang terbebas dari sentuhan diskriminasi dan stigmanisasi? Sehingga mereka tak begitu mendapat kesulitan hidup berbaur di tengah masyarakat?
Banyak hal yang dipertanyakan bagi nasib mereka yang dianggap telah terlibat langsung atau tak langsung oleh peristiwa G30S ini. Yang jawabnya akan lebih terurai dalam rangkaian serial cerita demi cerita dari pengalaman seseorang tapol selama belasan tahun. Yang kini berada di batas tanda kilometer awal dari perjalanan nasib suka dukanya. Dalam suatu ikatan dan jalinan duka derita hidup yang panjang.

Setelah terasa begitu lama dalam penantian secara traumatis atas kelanjutan masa pemeriksaan yang kini mulai jarang terjadi. Sedangkan bunyi derum mobil truk disetiap malam sesudah sholat isa, tidak terdengar lagi sebagai tanda panggilan. Maka satu-satunya saat yang ditunggu selaku hiburan menyenangkan. Bagi mereka yang kebanyakan berstatus buruh Pertamina. Adalah menunggu kiriman makanan dari keluarganya di rumah.

Ransum makanan yang tersedia diberikan oleh penguasa di dalam tahanan. Dua kali sehari, relatif cukup bertahan menurut standar minimal. Seompreng nasi dengan lauk sepotong ikan asin atau telur dadar dan sayur asam dan bening kacang panjang. Itu sudah menjadi acuan rutin yang sudah baku. Kita bisa maklumi kemampuan ekonomis pemerintah baru yang baru merebut kekuasaan. Dari pemerintahan terdahulu dengan mewariskan krisis ekonomi yang parah. Akibat sengaja dikondisikan oleh mereka sendiri untuk memuluskan perebutan kekuasaan secara politis.

Di dalam ruang tahanan ini. Kesetia-kawanan (solidaritas) dan jiwa kegotongroyongan di antara sesama tapol memang merupakan ujian yang menantang. Tadinya terdapat di antara individu mereka yang melahab makanan kiriman keluarganya dengan bersendiri menghadap tembok. Tapi berkat peran nasehat orang tua yang berkumis dan berjenggot putih itu. Yang terkenal bijak dan berwibawa. Maka kemudian diatur, setiap kiriman makanan dari keluarga di rumah. Terutama lauknya, dikumpulkan semua untuk dibagi secara merata dalam kebersamaan. Meski masing-masing mendapatkan bagian serba sedikit. Tapi cukup sebagai penambah ransum makanan tapol yang sudah ada.

Satu hal yang kadang mereka terlupa. Bagaimana keluarga mereka di rumah, mengatur untuk menyisihkan kiriman makanan di samping untuk mereka sendiri bersama anak-anak. Ketika sang ibu sendirian menghadapi tantangan hidup, tanpa suami yang sedang ditahan. Masih cukup lumayan hanya bagi yang tetap menerima gajih suaminya dari perusahaan. Tapi jika sudah tidak lagi, bayangkan?
Demikianlah problema keluarga dari tantangan individual para tapol ikut menjadi pikiran saya. Tiba-tiba sekitar jam sembilan pagi, pintu utama ruang tahanan terbuka berderak. Dengan bergabung dalam suatu rombongan tingkat perwira militer setempat, komandan Kodim menyampaikan pengumuman secara langsung. Singkatnya, bahwa mulai besok para tapol akan diangkut kesuatu tempat untuk dipekerjakan.

Bagaimanapun, di balik rasa gembira akan menghirup udara bebas di luar. Tentu terselip juga kecurigaan prasangka politis, di antara kebutaan situasi selama ini. Jangan-jangan kita akan dibawa ke pelenyapan. Wajar rasa was-was semacam ini melintas dibenak para tapol. Yang telah membaca buku tentang nasib pengalaman tragis dibawah kekuasaan fasis dalam sejarah.

Tapi, mau tak mau, kita terpaksa berserah diri kepada yang di atas. Tatkala ketiga truk besar yang membawa kami meluncur boyongan kealam luar. Dengan dikawal ketat oleh puluhan tentara bersenjata. Dari tempat tahanan semula yang telah kami tinggalkan. Sebagai suatu permukiman tertutup yang kami lalui selama tiga bulan.

Masih terngiang dalam ingatan kami atas peringatan keras komandan Kodim :”Jangan sama sekali kalian mencoba untuk lari. Jika tidak ingin tewas oleh lontaran peluru penjaga kalian!”
Ternyata setelah kami tiba di permukiman baru, di mana kami akan tinggal. Adalah suatu daerah hutan gugusan pegunungan Meratus yang tidak terlalu jauh dengan wilayah pelarian kami tempo hari. Bagi saya ini suatu takdir kebetulan yang agak lucu juga.

Dari petunjuk yang kami baca dan dengar dari order para penjaga militer. Kami bersegera akan membangun barak tempat tinggal terlebih dahulu. Sebelum nanti kami akan dipekerjakan menjinamid gunung batu. Kemudian bongkahan batu besarnya dipecah lagi dengan amar. Menjadi keping-keping batu sekepal genggam tangan. Lantas nanti diangkut lewat keranjang rotan ke jalan raya buat pengerasan lapisan alas jalan.

Tentu rasa syukur pertama yang perlu dipanjatkan do’a keatas. Adalah bahwa kami benar-benar dipekerjakan. Bukan untuk dilenyapkan lewat pembantaian massal. Rasa syukur kedua, ialah menghirup seleluasanya udara bebas di tengah hutan belantara pegunungan Meratus yang indah.

Di sini, oksigen sebagai sumber untuk pernafasan hidup. Begitu kaya berlimpah, bisa dihirup dengan gratis. Sinar matahari pagi yang penuh spectrum warna buat kesegaran kesehatan manusia, selalu terbuka menganugerahkan manfaatnya kepada kami Ketimbang disekap di dalam gedung tertutup yang pengab.

Meskipun di kerja paksakan oleh penguasa di bawah moncong bedil penjaga yang cukup ketat. Bagaimanapun mau tak mau para tapol yang tengah dirundung penganiayaan atas hak azasi kemanusiaannya ini, dipaksa juga untuk berpikir positif. Mensyukuri kepada setiap hasil bioritme hidup yang masih ada terlimpahkan.

Peran kerja yang dimiliki manusia, membuat ia merupakan mahluk tertinggi. Lewat kerja ia dapat merubah keadaan. Jadi, sebenarnya kerja itu indah. Segi atau sisi inilah yang kita petik hikmah dan manfaatnya. Betapapun para tapol sekarang, barangkali akan diperlakukan seperti apa yang terjadi dalam legenda sejarah.

Mungkin saja seperti para budak yang secara tak manusiawi dikerahkan atas perintah sang raja membangun candi Borobudur. Atau seperti para kawula rakyat yang terjajah di zaman kolonial di manfaatkan oleh penguasa Deandels lewat kerja rodinya membangun jalan dari Anyer ke Panurakan yang banyak memakan korban itu. Dan boleh jadi juga diperlakukan layaknya “romusha” di zaman Jepang, yang kerja paksanya terkenal kejam itu.

Nantinya kita tak tahu pasti. Tapi dalam perkiraan berkat doktrin ajaran “Pancasila” Bung Karno yang mungkin masih melekat terwariskan kepada aparat penguasa yang telah memenangkan perebutan kekuasaan itu. Legenda kerja paksa yang telah meninggalkan tragedi yang mengenaskan dalam sejarah masa lalu itu, tak akan terulang kembali…….
***

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
tirto_kuncoro-hadi

Tragedi 65 Sebuah Ilusi Soliteris

PESERTA DISKUSI: Diskusi bertajuk "Ekonomi Politik Indonesia Paska Peristiwa Gestok 65" di UGM (4/10) diwarnai cecaran kelompok Elemen Merah Putih [Foto: Alih Aji Nugroho]

Diintimidasi, Diskusi “Gestok” di UGM Jalan Terus

Related posts
Your comment?
Leave a Reply