Langkah Komnas HAM kembali dipertanyakan
![Seminar hasil pengkajian seputar prakarsa komunitas untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Seminar digelar (23/2) di ruang pleno Komnas HAM di Jakarta [Foto: Humas YPKP'65]](https://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2017/02/1692_seminar-ls-655x360.jpg)
JAKARTA – Komnas HAM menggelar (23/2) Seminar hasil pengkajian seputar prakarsa komunitas untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Seminari yang awalnya lebih merupakan paparan searah executive-summary hasil riset peneliti Dian Andi Nur Aziz (Sub Komisi Pengkajian Penelitian) di 10 kota Indonesia; disorot tajam dan bahkan mendapat kritik dari kalangan korban/penyintas tragedi 1965 yang sengaja datang dari berbagai daerah.
Roichatul Aswidah, Plt Waket Bidang Eksternal Komnas HAM-RI dalam sambutannya menekankan posisi lembaga negara ini pada komitmen akan penghapusan impunitas. Secara prinsipiil upaya penghapusan impunitas pada kejahatan kemanusiaan dan genosida ini harus memenuhi hak-hak para korban, yang mencakup hak atas kebenaran (the rights to know), hak atas keadilan (the rights to justice), hak atas pemulihan/ jaminan ketidakberulangan (the rights to reparation/ guarantees of non-recurrence).
Hasil kajian riset di 10 kota seperti Palu, Kupang, Flores, Jember, Blitar, Solo, Yogyakarta, Batang, Jakarta dan Kebumen pada seminar ini diproyeksi bakal diterbitkan dalam bentuk buku. Dijelaskan Roichatul juga bahwa upaya ini dilakukan Komnas HAM bukan dengan meniadakan upaya lainnya dalam penyelesaian kasus pelanggaraan HAM berat, terutama upaya yudisial. Upaya (seminar) ini adalah sebagian dari mandat yang dimiliki Komnas HAM sesuai dengan UU No.39/1999, selain mandat UU No. 26/2000 yang memberi wewenang lembagai ini untuk melaksanakan penyelidikan projusticia; yang juga tak jelas “nasibnya”.
“Berbagai pelaksanaan mandat itu tidak saling menegasikan, tidak saling menghilangkan atau tidak saling men-substitusi”, kata Roi.
Tak signifikan secara hukum
Dari perspektif korban, seminar executive-summary penelitian ini dinilai tak signifikan sebagai upaya penuntasan kasus kejahatan HAM khususnya tragedi 65 dan pelanggaran HAM berat lainnya; ditengah desakan korban yang berpacu dengan ulur waktu. Seminar yang dihadiri berbagai pihak termasuk unsur pemerintah, kementrian Polhukam, Polri, Ombudsman RI, Komnas Perempuan, KontraS, LPSK, KKPK, YPKP’65, JSKK, Forum 65 dan dari kalangan korban penyintas tragedi 65 sendiri.
Beberapa cabang YPKP’65 dari daerah juga datang guna memberikan masukan berdasarkan realitas yang dialaminya. Bahkan juga kritik atas hasil penelitian yang dipandang bermanfaat bukan saja sebagai naskah akademik dan pergulatan wacana, tetapi bagi internal Komnas HAM untuk pertimbangannya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat.Menanggapi ini, Syamsul Hilal, penyintas 65 dari Medan justru mengajak semua untuk melihat apa pentingnya seminar seperti ini dalam kaitan penyelesaian kasus kejahatan HAM pada Tragedi 65. Seorang peserta lainnya bahkan mempertanyakan apakah seminar seperti ini hanya sebatas memanfaatkan dana program lembaga. Sementara Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro-justisia tetapi seluruh hasilnya tak ditindaklanjuti. Seminar ini dianggap sebagai kemunduran dalam langkah.
“Yang dibutuhkan dari Komnas HAM adalah action.. action.. Action. Tindakan nyata”, tegas Syamsul Hilal sembari berharap Komnas HAM dapat menghadapkan korban ke Jokowi.
Tak ada yang baru dalam paparan hasil penelitian Dian Andi Nur Aziz, selain bahwa memang penelitian serupa mengenai upaya rekonsiliasi kultural yang telah dilakukan komunitas akar rumput; memang telah terjadi. Beberapa masukan dari kalangan korban/penyintas tragedi 65 memang menguatkan itu. Tetapi dalam realitasnya, banyak kasus intimidasi dan stigmatisasi masih terjadi. Bicara rekonsiliasi, bagaimana pun formulasinya; pengungkapan kebenaran adalah mutlak diperlukan.
Ada pula proses hukum yang telah mencapai incracht tetapi tak pernah dieksekusi hingga hari ini, seperti kasus Kebumen dimana ada 188 eks Guru PNS yang telah memenangkan gugatan PTUN, PT-TUN dan MA; tetapi belum direhabilitasi. Satu hal, apa yang menimpa eks guru PNS di Kebumen, yang dipecat dan ditapolkan rezim Orba; juga terjadi dimana-mana dan tak pernah bisa dibuktikan kesalahannya. Bahkan pemecatan dan pemenjaraan itu semua dilakukan tanpa prosedur hukum.
“Jadi apa artinya kebenaran hukum. Kami menuntut pelurusan sejarah”, tegas Basuki Kartowardoyo (73) dari Kebumen. [hum]
Your comment?