Solidaritas Asia untuk Pengungkapan Kebenaran, Pengembangan Demokrasi dan Perluasan HAM

Press-Release:
No: 20200328/YPKP65/2020
Solidaritas Asia untuk Pengungkapan Kebenaran, Pengembangan Demokrasi dan Perluasan HAM
Di kota Gwangju, Korea Selatan, pada Jumat, 20 Maret 2020 telah dipublikasikan penerima penghargaan Gwangju Prize for Human Rights (GPHR) dari The May 18 Memorial Foundation. Dalam pengumuman itu, Ketua Umum YPKP 65, Bedjo Untung dari Indonesia disebut sebagai yang terpilih menerima penghargaan.
Bagi The May 18 Memorial Foundation, pemberian penghargaan Asia ini merupakan agenda rutin tahunan sejak tahun 2000 yang diselenggarakan sebagai penghormatan dan apresiasi terhadap kerja-kerja bidang kemanusiaan, khususnya kerja-kerja di dalam tema besar hak asasi manusia di wilayah regional Asia.
Penyelenggara penganugerahan penghargaan ini, The May18 Memorial Foundation yang diketuai Cheol-woo Lee bersama komite yuri yang dipimpin oleh Kyoo-Hyun Moon, seorang relawan untuk perdamaian dan reunifikasi Korea; telah memutuskan Bedjo Untung dari Indonesia sebagai penerima penghargaan tahun 2020 ini.
Keputusan penganugerahan penghargaan ini telah melalui pertimbangan yang membuat komite yuri Gwangju Prize for Human Rights 2020 yakin bahwa apa yang dilakukan Bedjo Untung adalah juga merupakan ruh dari The May18 Memorial Foundation secara kelembagaan. Dan bahwa perjuangan tanpa henti untuk mengungkap kebenaran merupakan jalan menuju keadilan. Hal ini merupakan inspirasi bagi warga dunia yang mendambakan perdamaian dan demokrasi yang sesungguh-sungguhnya.
Kerja Pengungkapan Kebenaran
The May18 Memorial Foundation atau Yayasan Peringatan 18 Mei di Gwangju Korea Selatan percaya bahwa keputusan penganugerahan GPHR 2020 merupakan momentum untuk mengamankan keadilan transisi di Korea dan negara-negara Asia lainnya melalui pengungkapan kebenaran. Di Korea sendiri, peringatan “pemberontakan” demokratik pada 18-27 Mei 1980 dimaknai sebagai gerakan rakyat ke arah pengembangan demokrasi dan perluasan hak asasi manusia.
Pemberontakan Demokratik 18 Mei yang lebih dikenal sebagai Gerakan Demokratisasi Gwangju 18 Mei1 dimana selama periode 9 hari rakyat Gwangju mengangkat senjata ketika mahasiswa Universitas Connam yang berdemontrasi menentang pemerintah darurat militer ditembaki, dibunuh, diperkosa dan dipukuli oleh pasukan pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, dimana terjadi gelombang Genosida 65 sebagai “balasan atas tudingan” pemberontakan PKI melalui G30S (Gerakan 30 September) pada 1965. Diskursus wacana tentang peristiwa 1965, sejak itu, didominasi menurut versi penguasa, tetapi kebenaran atas semua yang terjadi belum terbuka seterang-terangnya; bahkan hingga hari ini. Meski banyak temuan fakta dan hasil penelitian, termasuk riset akademis menguatkan dugaan bahwa G30S dan rangkaian peristiwa setelahnya, lebih merupakan “kudeta merangkak” Soeharto ketimbang issue pemberontakan PKI.
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 (YPKP 65) tak berhenti melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran itu. Dengan membentuk tim investigasi dan menjalin kerjasama dengan para korban/penyintas serta keluarganya yang tersebar di berbagai daerah, di hampir semua provinsi dan pulau-pulau Indonesia. Diantara kerja pengungkapan kebenaran itu adalah pendataan dan pemetaan kuburan massal yang merupakan bukti jejak kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu2.
Solidaritas Asia
Solidaritas Asia untuk Pengembangan Demokrasi dan Perluasan HAM menjadi kerangka penting lanjutan yang harus digalang. Penganugerahan penghargaan Gwangju Prize for Human Rights (GPHR) tahun 20203 ini menjadi momentum solidaritas regional dan bahkan tingkat internasional, demikian harapan Bedjo Untung sebagai penerima penghargaan dalam kapasitas mewakili organisasi yang dipimpinnya.
“Penghargaan ini, meskipun ditujukan kepada saya, tetapi hakekatnya adalah pengakuan dan penghargaan masyarakat Asia atas kerja-kerja para korban dan penyintas Genosida 65 di Indonesia”, ungkap Ketua YPKP 65 di Jakarta.
Sejalan dengan itu, baik secara pribadi maupun sebagai Ketua YPKP 65, ia menyampaikan terimakasih yang tak terhingga, terlebih karena di dalam negeri Indonesia sendiri, Genosida 1965 dan kejahatan HAM berat yang terjadi setelahnya masih diingkari kebenaran peristiwanya.
Jakarta, 28 Maret 2020
___
1 Wikipedia, 2020; diakses pada 22 Maret 2020.
2 Hingga akhir 2019, jumlah temuan lokasi kuburan massal telah mencapai 356 titik lokasi. Jumlah ini akan terus bertambah seiring investigasi lanjut YPKP 65.
3 Daftar penerima penghargaan tahunan Gwangju Prize for Human Right:
2019: Joanna Cariño Philippines
2018: Fr. Nandana Manatunga Sri Lanka
2017: Jatupat Boonpattararaksa Thailand
2016: Nguyen Dan Que Vietnam Bersih Malaysia
2015: Latifah Anum Siregar Indonesia
2014: Adilur Rahman Khan Bangladesh Mothers of Khavaran Iran
2013: H.I.J.O.S Argentina
2012: Mun Jeong Hyeon South Korea
2011: Binayak Sen India
2010: Sushil Pyakurel Nepal
2009: Min Ko Naing Myanmar
2008: Muneer A. Malik Pakistan
2007: Irom Chanu Sharmila India Lenin Raghuvanshi India
2006: Malalai Joya Afghanistan Angkhana Neelaphaijit Thailand
2005: Wardah Hafidz Indonesia
2004: Aung San Suu Kyi (withdrawn) Myanmar
2003: Dandeniya Gamage Jayanthi Sri Lanka
2002: Korean Association of Bereaved Families for Democracy South Korea
2001: Basil Fernando Sri Lanka
2000: Xanana Gusmão East Timor
Your comment?